Konten dari Pengguna

Menggugat Klaim Moral Hukum

Alfi Rahmadi
Peneliti independen dan Social entrepreneurship
12 Januari 2023 7:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfi Rahmadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Wajahnya pucat, tercekat sebuah kasus besar yang sudah berbulan-bulan namanya disebut-sebut. Ia bukan saja dianggap terlibat, tapi mesti bertanggung jawab karena jabatan yang melekat pada dirinya sebagai pimpinan bank sentral.
ADVERTISEMENT
Kepada pers ia mengunci rapat mulutnya. Ia seolah bersumpah tidak akan memberi keterangan secuilpun kecuali pada saat genting, misalnya besannya sudah tak sanggup lagi melindunginya.
Melalui lobi tak sengaja, ia akhirnya bersedia saya wawancara meskipun singkat. Tentu tidak ada detik yang terlewatkan untuk direkam, karena ‘barang’ ini ekslusif. Tetapi mendengar pembelaan dirinya, justru otak ini jadi mual.
Tidak ada argumentasi dijadikan pemberitaan yang bergizi karena isinya lebih banyak kuah. Dan, yang paling mencolok ialah ia beberapa kali mengungkit dirinya aktif pada pengajian, ia tengah keranjingan membaca buku-buku agama, dan sederet atribut keagamaan yang menunjukan kesalehannya beragama.
Tak perlu lama untuk mencerna tameng seperti itu. Cepat dan mudah disimpulkan: itulah kriminal berjubah agama. Ia menggambarkan dirinya bermoral, memegang teguh etika jabatan tetapi ia menelanjangi dirinya sendiri dengan sikap pengecut yang justru amoral.
ADVERTISEMENT
Ia menghardik siapapun yang menyentuh dirinya sebagai bentuk pembunuhan karakter karena ia anggap mengkriminalkan kebijakan yang tidak pernah ia buat yang menjadi inti kasus ini meskipun dia mengakui kebijakan itu tidak ia cabut. Yakin karena bukan salahnya, maka ia menggambarkan mereka yang menyudut dirinya sungguh tak bermoral.
Dengan lagak seperti pengacara, ia meminta kepada siapapun untuk tidak menghakiminya melalui ‘peradilan opini’ dengan mengedepankan asas “praduga tak bersalah”. Tetapi saban hari ia sangat cemas untuk menginjak kaki ke kantor penyidik.
Mungkin ia menyadari untuk kasus yang tengah membelitnya ini bisa diterapkan pembuktian terbalik. Padahal menghadapi pers adalah standar cara dan peluangnya untuk membela diri secara rasional, bukan irrasional bertameng agama.
ADVERTISEMENT
***
Ini adalah kisah lama, periode 2004-2009. Tetapi mungkin belum terlalu lama karena modusnya pengulangan saja yang masih mengakar dalam tubuh elit kita sampai hari ini. Moral menjadi klaim untuk melawan tuduhan amoral. Tetapi dalam konteks hukum jauh lebih parah: melebel orang mencuri untuk menepis dirinya bukanlah pencuri.
Ada banyak pejabat publik dan para pemodal kuat di luar gelanggang politik seperti dirinya. Bahkan mereka yang dibesarkan dan memang berlatarbelakang santri yang dulunya digadang-gadang sebagai pemimpin bersih karena melek dan sanggup mengamalkan ajaran agama, beberapa nasib diantaranya berakhir di penjara karena korupsi.
Philip Soper, profesor hukum kehormatan Universitas Michigan dan pakar filosofi moral hukum, mencatat bahwa moral hukum bukanlah klaim normatif tentang benar-salah atau suci-dosa, pembenaran tindakan “atas nama hukum” (apalagi hukum yang belum terkoreksi praktiknya), praktik normatif yang mapan dalam masyarakat, ataupun lawan dari perilaku yang menyimpang.
ADVERTISEMENT
Luasnya literatur teori yang menggambarkan moral hukum, menurut Soper, tidak memiliki pasangan yang tepat dalam menetapkan moralitas masyarakat. Sebab, masyarakat modern seringkali heterogen untuk dibiarkan percaya diri atas norma-norma yang mendasari atau memandu pola perilaku kelompoknya. Dan untuk perihal ini maka banyak teoretisi hukum yang muncul untuk menjelaskan klaim moral dan arahnya serta moral hukum tak lebih dari entitas abstrak.
Klaim menggiring pada distorsi, yang dalam ukuran terbatas moral justru sangat berbahaya karena begitu cepat air jernih menjadi keruh, yang pintar menjadi bodoh, yang berjiwa putih menjadi hitam pekat, dan begitu sebaliknya. Para filsuf biasa menyebut distorsi moralitas semacam itu sebagai “norma konvensional” karena objek yang paling menonjol dipelajari dalam norma hukum selalu berkutat pada tiga kasus.
ADVERTISEMENT
Pertama, ketika norma-norma kelompok masyarakat relatif homogen tetapi biasanya untuk mengkrucutkan plularitas dan multikultural dalam menarik kesimpulan atau menetapkan keputusan. Kedua, ketika norma diwujudkan dalam dokumen formal, seperti dalam kasus norma hukum tertentu. Ketiga, ketika normanya samar-samar sehingga dapat memerintahkan persetujuan untuk menghindari perselisihan tentang cara penerapan konsep dalam kasus-kasus konkrit.
Soper mengkritik karakteristik moral semacam itu yang seolah hukum menuntut orang semata untuk patuh hanya karena diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, terlepas dari kebaikan, atau kemanfatan peraturan tersebut.
Kritik Soper sangat relevan karena keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bukan ditentukan oleh klaim. Apalagi ternyata dibalik klaim terdeteksi otoritarianisme dan oligarkisme yang bersembunyi rapi dalam hukum; seperti tetesan haram menyusup ke barang halal sebagaimana yang banyak diduga dalam kasus terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Dalam dinamika esoterik, pada dasarnya memang tidak ada agama, hukum, atau sistem sosial memiliki klaim yang sah pada seseorang, kecuali ditentukan oleh penilaian yang independen dan matang. Sebab, prinsip universal yang kental dikandung dan tak terpisahkan dalam moral hukum hanya akan nampak pada independensi yang berlaku objektif. Dan untuk itulah Soper mengembangkan "prinsip otonomi" dalam moralitas hukum.
Menggambarkan moral hukum telah menjadi tujuan dari banyaknya teori hukum modern, khususnya cabang yurisprudensi yang mempertimbangkan sifat hukum dan penalaran hukum. Tetapi yang paling menonjol dipajang dalam literatur hukum—juga bising dikhutbahkan—ialah mengenai positivisme (legal positivism) dan hukum alam (natural law) yang terkadang atas nama Tuhan di tengah tipologi masyarakat yang tak tahan mengelilingi permasalahan 380 derajat.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja Soper benar dengan prinsip otonominya sebagai salah satu standar moral hukum. Sebab semakin banyak teori dan praktik moral hukum dibentangkan maka semakin sangat terasa bahwa universalitas nilai-nilai yang baik itu dapat dinilai dan dirasakan melalui kemerdekaan kita berpikir dan bernalar secara objektif—yang dalam istilah Soper disebut prinsip otonomi.
Dalam otonomi hadir kejernihan. Jernih menilai itu mengosongkan kecenderungan, kembali pada landasan, dan menimbang takaran. Klaim itu keruh, dan butuh waktu untuk kembali pada yang aseli sekalipun tak akan bisa difoto copy. Klaim itu jalan pintas, dan butuh energi besar yang terkuras. Klaim adalah jarak antara nash dan waras.
Dalam konteks hukum, otonomi atau kemerdekaan hakim memutuskan perkara menjadi diktum, kalau kita masih bersepakat bernegara hukum. Termasuk menyela dan menggugat perkara itu lagi; kemudian diputuskan lagi. Karena teks sesungguhnya tak akan terlepas dari konteks; seperti moralitas tak terpisahkan dari universalitas.[]
ADVERTISEMENT