Konten dari Pengguna

Cokelat Dubai: Lebih dari Sekedar Viral, Ini Dampaknya bagi Tren Kuliner Global

Alfiah Nur Sabrina
Mahasiswa Manajemen FEB UGM
12 Desember 2024 15:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfiah Nur Sabrina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cokelat Dubai Foto: pixabay.com/mjimages
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cokelat Dubai Foto: pixabay.com/mjimages
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan terakhir, cokelat Dubai menjadi sorotan di media sosial, terutama pada platform TikTok. Dengan kemasan elegan dan harga fantastis, cokelat ini lebih dari sekedar makanan manis – tetapi juga simbol kemewahan. Namun, apakah keviralan ini hanya soal gaya hidup atau ada dampak yang lebih besar di baliknya?
ADVERTISEMENT

Awal Mula Fenomena Cokelat Dubai

Cokelat Dubai pertama kali diperkenalkan oleh Sarah Hamouda, pendiri Fix Dessert Chocolatier di Dubai pada tahun 2021. Dengan varian rasa yang unik, seperti mind your own biscoff, hazelnut, pistachio kunafa dan menggunakan bahan baku yang premium membuat cokelat ini memiliki kualitas yang tinggi sehingga membuat harganya melambung tinggi. Di Indonesia, satu cokelat ini bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Entah siapa yang memulai dahulu untuk memviralkan. Namun, fenomena ini mulai meledak setelah banyak influencer, seperti Jennifer Coppen, Aliyah Kohl, dan Sibungbung membagikan video unboxing dan me-review cokelat Dubai di media sosial.
Dari fenomena ini memicu rasa FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan masyarakat. Karena banyak orang merasa terdorong untuk ikut membeli dan mencicipi cokelat Dubai agar tidak merasa tertinggal dari tren yang sedang viral. Video unboxing yang estetik, review mengenai rasanya, serta tampilan kemasan yang mewah membuat cokelat ini menjadi objek keinginan banyak orang. Hal ini menciptakan sensasi bahwa memiliki cokelat Dubai bukan hanya tentang menikmati rasa premium, tetapi juga menjadi bagian dari pengalaman sosial yang dapat dibagikan di media. FOMO ini memperkuat posisi cokelat Dubai sebagai simbol gaya hidup modern yang menarik perhatian berbagai kalangan. Tren cokelat Dubai ini membuktikan bahwa media sosial mampu membentuk persepsi masyarakat terhadap makanan tertentu.
ADVERTISEMENT

Lebih dari Sekadar Cokelat

Bagi banyak orang, cokelat Dubai bukan hanya sekedar rasa, melainkan simbol status sosial. Alasannya karena menggunakan bahan-bahan premium, memiliki rasa yang eksklusif, memiliki desain cokelat yang menarik, memiliki tekstur yang renyah, dan dibanderol dengan harga yang tinggi.Tren ini mencerminkan budaya konsumerisme modern, dimana produk yang terlihat mahal dan unik lebih menarik. Orang rela membayar lebih untuk memperoleh pengalaman yang bisa dipamerkan ke media sosial.
Dibalik keviralan cokelat ini, banyak industri makanan yang terdorong untuk melakukan inovasi dalam produk cokelat. Di Indonesia, misalnya, kini muncul beberapa toko yang menjual cokelat Dubai versi lokal dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Dikutip dari video TikTok dengan username @natashaalaurentinaa, produk cokelat Dubai asli dan produk cokelat versi lokal memiliki beberapa perbedaan selain dari segi harganya, yaitu dari segi kemasannya yang sedikit berbeda (versi lokal terdapat tulisan “fix now”), dari segi rasa cokelat dubai asli memiliki rasa cokelat dan pistachio yang kuat, memiliki perpaduan rasa asin, gurih, dan manis, dari segi bentuknya cokelat dubai asli memiliki ketebalan yang lebih dibandingkan dengan yang lokal.
ADVERTISEMENT
Meski terdapat beberapa elemen perbedaan pada cokelatnya, kehadiran produk lokal ini menjadi bukti bahwa tren global dapat mendorong kreativitas bagi para pengusaha lokal untuk ikut bersaing. Bagi produsen makanan, ini adalah momen untuk mengeksplorasi potensi inovasi dan memperluas pasar. Sementara itu, bagi konsumen, cokelat Dubai menjadi pengingat bahwa dibalik kemewahan sebuah produk, terdapat nilai-nilai budaya dan ekonomi yang saling terhubung. Fenomena cokelat Dubai tidak hanya mencerminkan kemewahan, tetapi juga adanya pengaruh globalisasi dalam pola konsumsi masyarakat. Sebagai produk yang lahir di Dubai, cokelat ini membawa elemen budaya Timur Tengah ke panggung dunia. Varian rasa seperti Pistachio kunafa yang merupakan makanan khas Timur Tengah menjadi simbol untuk memperkenalkan kekayaan kuliner daerah tersebut kepada pasar global.
ADVERTISEMENT

Tantangan dan Peluang Cokelat Dubai

Globalisasi juga menciptakan tantangan budaya. Produk-produk premium tersebut seringkali menjadi eksklusif dan hanya dinikmati oleh segelintir kalangan. Hal ini dapat memunculkan kesenjangan sosial dimana produk ini lebih dilihat sebagai simbol status daripada nilai budaya atau cita rasanya. Adanya cokelat Dubai versi lokal juga menjadi tantangan tersendiri bagi merek asli. Meskipun inovasi memberikan alternatif harga yang lebih terjangkau sehingga semua kalangan bisa membelinya, tetapi inovasi ini juga memiliki resiko mengaburkan identitas asli cokelat produk Dubai.
Di sisi lain, fenomena ini juga membuka peluang untuk mempererat hubungan antar budaya. Makanan seringkali menjadi jembatan yang efektif untuk mengenalkan nilai-nilai budaya suatu daerah ke masyarakat global. Dengan menggabungkan rasa yang otentik dan kemasan modern, cokelat Dubai telah berhasil menciptakan identitas yang relevan di pasar global. Bagi produsen lokal di negara lain, bisa menjadi inspirasi untuk mengangkat elemen budaya masing-masing ke pasar internasional. Contohnya, di Indonesia dengan kekayaan kuliner tradisionalnya dapat menciptakan produk serupa dengan mengadaptasi bahan atau rasa khas lokal, seperti gula aren atau kelapa.
ADVERTISEMENT
Fenomena cokelat Dubai ini merupakan contoh nyata bagaimana globalisasi tidak hanya menghubungkan pasar, tetapi juga menyatukan budaya melalui kuliner. Di tengah era digitalisasi, dimana media sosial memegang peranan penting, tren seperti ini dapat memberikan peluang besar untuk memperkenalkan budaya lokal ke dunia internasional. Harapan kedepannya, cokelat Dubai dan tren sejenisnya dapat menjadi peluang untuk mendorong inovasi lintas budaya yang lebih inklusif. Sebagai simbol globalisasi, cokelat ini bukan hanya tentang rasa atau kemewahan, tetapi juga tentang bagaimana budaya dan nilai-nilai lokal dapat dihargai di kancah internasional.