Konten dari Pengguna

Nilai-nilai Islam Sumbu Filosofis Yogyakarta

Alfifadli Uula Arif
Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
12 November 2024 19:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfifadli Uula Arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pengunjung mengunjungi Panggung Krapyak                                                                                         Sumber : dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjung mengunjungi Panggung Krapyak Sumber : dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Sri Sultan Hamengkubuwono, dengan gelar " Sayidin Panatagama Khalifatullah", mengitegritasikan konsep sumbu imajiner yang awalnya berakar pada filosofi Hindu menjadi filosofi Islam Jawa. Filosofi ini diwujudkan dalam konsep " Hamemayu Hayuning Bawana" dan"Manunggaling Kawula Gusti", yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan tuhan
ADVERTISEMENT
Sumbu filosofi Kraton Yogyakarta terbentuk dari garis lurus yang menghubungkan Tugu Golong-Gilig, Kraton, dan Panggung Krapyak. Tugu Golong-Gilig, atau Pal Putih, melambangkan Lingga, sedangkan Panggung Krapyak melambangkan Yoni, keduanya merepsentasikan kesuburan dan keseimbangan. Transformasi simbol-simbol ini mencerminkan perpaduan nilai-nilai lokal dan ajaran islam, di mana keselarasan spiritual dan duniawi menjadi pusat kehidupan.
Tugu Golong-Gilig
Tugu Golong-Gilig di Yogyakarta tidak hanya berfungsi sebagai penanda Fisik, tetapi juga memiliki Makna filosofis yang mendalam. Tugu ini melambangkan tekan Sultan untuk menyembah tuhan yang Maha Esa dengan tulus, seraya berkomitmen pada kesejahteraan rakyat (Golong-Gilig) dan kesuian hati (warna putih). Filosofi ini menjadi inti dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan spiritual Sultan. Tugu juga menjadi titik pandang utama bagi Sultan saat bermeditasi di Bangsal Manguntur Tangkil. Sitihinggil Utara.
ADVERTISEMENT
Sultan Hamengku buwono 1 kemudian mengubah filosofi Hindu-Jawa ini menjadi konsep Islam Jawa" Sangkan Paraning Dumadi" yang menggambarkan perjalanan manusia dari asal usulnya (sangkan) menuju sang pencipta (paraning dumadi). Perjalanan filosofis ini diwujudkan melalui sumbu imajiner dari Tugu Golong-Gilig ke arah selatan, melewati Malioboro (Margatama, jalan keutamaan), margamulya (jalan menuju kemuliaan). Jalur ini melambangkan perjalanan spiritual manusia, berpedoman pada ajaran para wali, menuju kesempurnaan hidup dan kedekatam dengan Tuhan.
Foto kraton Yogyakarta saat sore hari. Sumber : Dokumen Pribadi
Kraton
Alun-alun Utara dan Selatan Kraton Yogyakarta memiliki makna simbolis yang dalam. Alun-alun utara dihiasi 64 pohon beringin, mencerminkan usia Nabi Muhammad berdasarkan tahun jawa. Dua pohon beringin di tengah, Janadaru (timur) dan Dewadaru (barat), melambangkan konsep "manunggaling kawula lan gusti" serta hubungan vertikal dan horizontal manusia (Hablum min Allah wa Hablum min Annas). Dasar alun-alun yang berpasir mengajarkan bahwa hidup penuh dualitas-siang dan malam, baik dan buruk-dan manusia harus memilih jalan kebaikan.
ADVERTISEMENT
Alun-alun Selatan menggambarkan kedewasaan dan keberanian pemudia yang siap memasuki fase kehidupan baru. hal ini dilambangkan dengan pohon kweni dan pekel serta pagar ringin kurung berbentuk busur panah, menunjukkan visi masa depan. Di Sitihinggil Selatan, pohon pelem cempora berbunga putih dan pohon soka bungan berbunga merah melambangkan perpaduan benih laki-laki (putih) dan perempuan (merah), menandakan kelanjutan kehidupan manusia
Panggung Krapyak
Filosofi perjalanan hidup manusia tergambar dari panggung krapyak hingga Kraton Yogyakarta. Perjalanan ini melambangkan "sangkaning dumadi", yaiotu proses kehidupan sejak manusia lahir, tumbuh dewasa, menikah, hingga melahirkan keturunan. kampung mijen di utara Panggung Krapyak melambangkan benih kehidupan.
Pohon asem (Tamarindus Indica), khususnya daunya yang muda (Sinom), melambangkan gadis muda yang menarik hati (Nengsemaken). Keindahan dan daya tarik tersebut diperkuat dengan simbol pohon tanjung (Mimusops elengi), yang sering disanjung karena keharumannya. Filosofi ini mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah perjalanan bertahap yang penuh makna, menuju kedewasaan dan keberlanjutan generasi.
ADVERTISEMENT
Alfifadli Uula Arif, Muhammad Faris Fachreza, Zaidan Hakim Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.