Konten dari Pengguna

Di Balik Kegagalan Militer Afghanistan dalam Melawan Taliban

Alfin Febrian Basundoro
Sarjana Ilmu Politik dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, pengamat geopolitik internasional, fokus pada isu-isu politik Timur Tengah, Eropa, dan Asia-Pasifik.
13 Agustus 2021 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfin Febrian Basundoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Afghanistan tengah bergolak seiring dengan agresi Taliban. Kegagalan militer Afghanistan dalam menghadapi situasi ini berakar dari serangkaian mismanajemen akut. Dampaknya, moral tempur prajurit menurun, desersi kian meluas, dan bantuan militer miliaran Dolar menjadi sia-sia.

Pasukan militer Afghanistan berjaga di sebuah perkampungan. Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2012/10/10/17/06/army-60720_960_720.jpg
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan militer Afghanistan berjaga di sebuah perkampungan. Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2012/10/10/17/06/army-60720_960_720.jpg
ADVERTISEMENT
Pergerakan Taliban di Afghanistan kian agresif dalam seminggu belakangan. Kelompok teror bersenjata tersebut berhasil merebut sepuluh ibu kota provinsi negara tersebut dari tangan Angkatan Bersenjata Afghanistan. Dengan agresi yang mengganas ini, saya mengira bahwa prospek akan perdamaian di negara yang telah dilanda perang lebih dari empat dasawarsa tersebut kian pudar. Bayang-bayang kegagalan pemerintahan Ashraf Ghani—Presiden Afghanistan yang menjabat sejak tahun 2014—kian nyata, sementara para warganya terjepit dalam ketidakpastian keamanan.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan damai antara Amerika Serikat (AS) dengan Taliban terkait dengan penghentian aksi terorisme di Afghanistan yang diikuti dengan penarikan pasukan militer AS juga tidak berlangsung sesuai harapan. Buktinya, sejak kesepakatan tersebut ditetapkan pada tanggal 29 Februari 2020, Taliban masih saja melakukan penyerangan terhadap warga sipil, menewaskan ratusan di antaranya.
Kesepakatan yang seharusnya berakhir dengan penghentian kekerasan, diikuti dengan penyerahan Taliban kepada Pemerintah Afghanistan justru menjadi petaka dengan adanya agresi Taliban. Bahkan, pembebasan 5.000 pasukan Taliban oleh Pemerintah Afghanistan—alih-alih kembali kepada masyarakat sebagai warga sipil, malah kembali menjadi anggota Taliban dan terlibat dalam agresi.
Respons Angkatan Bersenjata Afghanistan dalam menghadapi agresi ini dapat dikatakan tidak banyak berdampak. Hingga 10 Agustus 2021, Taliban berhasil merebut sepuluh ibu kota provinsi dan menguasai 233 distrik atau lebih dari 60% wilayah Afghanistan. Tercatat terdapat lebih dari 1.500 pasukan yang tewas sejak awal bulan Mei 2021, menunjukkan inefektivitas tempur militer Afghanistan yang begitu besar. Padahal, selama 20 tahun operasi militernya di Afghanistan, AS sudah menganggarkan lebih dari US$80 miliar untuk membangun kembali sektor pertahanan Afghanistan, di mana sebagian besar di antaranya digunakan untuk menyuplai alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan perlengkapan tempur seperti rompi antipeluru.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, dengan mulai ditariknya pasukan internasional pada tahun 2014, Pemerintah Afghanistan mulai merumuskan strategi menghadapi ancaman internal dan eksternal secara mandiri. Maka, seiring dengan kegagalan pertahanan yang kian nyata tersebut, timbul pertanyaan besar: mengapa militer Afghanistan justru gagal mempertahankan negaranya di tengah melimpahnya dana bantuan dan sumbangan aneka peragat militer yang canggih itu?
Masalahnya tentu bukanlah kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Afghanistan memiliki lebih dari 150.000 pasukan militer yang seharusnya lebih dari cukup untuk mengawal negara dengan luas wilayah hampir setara Pulau Kalimantan itu. Ditambah lagi, masyarakat Afghanistan adalah petarung alami—mereka telah terlatih oleh kondisi medan yang ganas, bahkan berkali-kali merepotkan pasukan asing sebagaimana terjadi ketika invasi Uni Soviet tahun 1979 silam. Ditambah lagi, AS sudah menganggarkan ratusan juta Dolar untuk pelatihan militer dan membangun kembali akademi militer Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, praktik korupsi yang mengakar di segala lini pemerintahan menjadi penyebab utama mismanajemen militer Afghanistan. Pemerintahan Ashraf Ghani yang awalnya dianggap cukup terlegitimasi oleh rakyat Afghanistan karena telah mewakili seluruh etnis dan secara perlahan mampu menciptakan stabilitas ternyata amat korup. Kementerian Pertahanan Afghanistan bahkan telah digolongkan sebagai "lembaga pemerintahan paling berisiko korupsi tertinggi" oleh Transparency International, lembaga riset dan advokasi antikorupsi dunia.
Salah satu skandal korupsi terparah yang menyeret petinggi pertahanan Afghanistan adalah penyuapan sebesar US$200 juta kepada kontraktor bahan bakar untuk militer pada awal tahun 2015. Meskipun sang petinggi kemudian dipecat, korupsi di kementerian tersebut tidak lantas habis. Parahnya, situasi ini terjadi sejak era Presiden Hamid Karzai (2001-2014)—presiden pertama Afghanistan setelah menjadi Republik Islam—di mana Karzai menciptakan struktur birokrasi yang ramah bagi terbentuknya mafia dan relasi patron-klien. Legislasi Afghanistan yang masih menjunjung tinggi kesukuan dan sektarianisme juga memperparah praktik nepotisme berskala masif di seluruh segi birokrasi Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketiadaan catatan spesifik mengenai penggunaan dana subsidi militer yang dianggarkan Pemerintah AS oleh Kementerian Pertahanan Afghanistan juga menunjukkan kurangnya transparansi dari instansi tersebut. Anggaran US$20 miliar dari AS untuk pelatihan militer misalnya, tidak pernah terpantau penggunaannya seiring dengan ketiadaan aktor penegak hukum yang mengawasi penggunaan anggaran. Bahkan, ketika Presiden Hamid Karzai pada tahun 2010 menghentikan investigasi korupsi salah seorang pejabat pemerintahan Afghanistan, AS hampir tidak dapat berbuat apa-apa. Selain karena minimnya inisiatif penegakan hukum lokal, Pemerintahan Barack Obama kala itu menilai bahwa intervensi terhadap penegakan hukum lokal Afghanistan dapat menciptakan ketegangan dengan Hamid Karzai.
Korupsi yang berlarut-larut di sektor pertahanan Afghanistan mendorong terjadinya mismanajemen yang berdampak masif pada berbagai aspek, mulai dari perawatan alutsista, pembayaran gaji prajurit, pelatihan, hingga meningkatnya kasus penyelundupan. Dengan terkurasnya bantuan militer, alutsista canggih yang juga disuplai oleh AS menjadi sia-sia karena lekas mengalami kerusakan. Perawatan alutsista kian sulit dilakukan karena dana untuk pembelian suku cadang juga dikorupsi.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, isu minimnya suplai tempur dan pembayaran gaji prajurit. Telah banyak laporan yang menyatakan bahwa ribuan tentara Afghanistan berbulan-bulan tak digaji atau mengalami penyunatan gaji. Jangankan soal gaji, suplai perlengkapan tempur vital prajurit seperti amunisi, air minum, obat-obatan, dan ransum sehari-hari juga mengalami banyak kendala. Minimnya gaji yang diterima berimbas kepada menurunnya moral tempur, hingga membuat beberapa tentara mengambil "jalan pintas"—menyelundupkan senjata dan atribut mereka di pasar gelap demi uang penghidupan. Banyak di antara senjata dan perlengkapan militer yang dilego tersebut jatuh ke tangan Taliban—memperkuat kelompok milisi tersebut secara perlahan.
Cekaknya dana untuk pelatihan militer berimbas kepada kian rendahnya frekuensi latihan tempur dan kualitas pendidikan militer. Praktis, indoktrinasi prajurit juga kian melemah dan kapabilitas untuk menghadapi aneka strategi tempur inkonvensional Taliban berkurang. Situasi ini juga berdampak pada kemampuan kepemimpinan para perwira. Banyak perwira pasukan reguler yang tidak mampu secara solid memimpin pasukannya menghadapi Taliban, sehingga desersi pasukan kerap terjadi. Apalagi, tidak ada hukuman bagi tindak desersi bagi prajurit Afghanistan. Selain itu, dengan minimnya pendidikan militer tersebut, aneka infrastruktur militer peninggalan AS yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh prajurit Afghanistan menjadi sia-sia. Banyak markas yang mengalami kerusakan sana-sini, sementara stasiun-stasiun komunikasi tidak bisa digunakan kembali sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Pada tataran yang lebih tinggi, korupsi yang sudah mengakar tersebut membuat Angkatan Bersenjata Afghanistan kekurangan komandan satuan yang berintegritas dan berlandaskan meritokrasi. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan terlibat dalam aneka praktik penyelundupan, mulai dari senjata hingga opium. Posisi struktural mereka dahulu sebagai panglima perang (warlord) membuat mereka seringkali berlagak "sok kuasa" dan lebih mementingkan pertahanan kelompok masing-masing—menyebabkan tergerusnya semangat persatuan nasional untuk mempertahankan Afghanistan sebagai negara mereka.
Kegagalan struktural dan mismanajemen militer Afghanistan tidak akan terjadi apabila pemerintahan Afghanistan memiliki visi jelas untuk memberantas aneka praktik korupsi. Penegakan hukum dan transparansi seharusnya semakin menjadi perhatian, sementara pemerintahan Afghanistan perlu membuka diri kepada warganya untuk turut memantau proses-proses pemerintahan, termasuk manajemen militer. Selain itu, sejak awal Pemerintah Afghanistan tidak punya komitmen untuk membangun militer yang kompeten dan profesional.
ADVERTISEMENT
Komitmen AS untuk menarik mundur lebih dari 90% pasukannya pada bulan September tahun ini juga menciptakan keruntuhan moral tempur bagi prajurit Afghanistan. Dengan Taliban telah menguasai lebih dari 60% Afghanistan, militer Afghanistan perlu untuk melakukan apapun demi mempertahankan wilayah yang masih mampu mereka kuasai, terutama untuk melindungi warga sipil yang masih bertahan. Apabila tidak, cepat atau lambat Taliban akan merebut Kabul—sebagaimana terjadi pada tahun 1990-an. Korban dari warga sipil tentunya akan melonjak dan penderitaan mereka kian tak terperi.
Terakhir, hal yang dapat saya simpulkan adalah bahwa dunia internasional perlu merundingkan solusi terbaik demi stabilitas Afghanistan. Tidak hanya perlu menekan Taliban untuk menghentikan kekerasan, bantuan humaniter juga seharusnya segera dikirimkan guna membantu masyarakat dalam situasi darurat ini. AS misalnya, bisa kembali memainkan perannya dengan mengubah narasi intervensi yang militeristik menjadi intervensi humaniter—semata-mata untuk membantu masyarakat Afghanistan. Orientasi kepentingan internasional terhadap Afghanistan harus digeser dari yang awalnya "Kabul-sentris" menjadi lebih suportif kepada masyarakat Afghanistan. Lebih lanjut, situasi ini tidak hanya melindungi kehidupan masyarakat secara umum, namun berpeluang untuk mendorong legitimasi politik Joe Biden—Presiden AS yang bertanggung jawab terkait penarikan pasukan AS—sebagai pembela kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Alfin Febrian Basundoro adalah mahasiswa di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada