Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Tantangan Pemilu 2024: Sebuah Catatan Rekomendasi
6 Mei 2022 7:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Alfin Febrian Basundoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Berdasarkan pengumuman yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo setelah rapat terbatas tanggal 10 April 2022, pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Artinya, kurang lebih 22 bulan lagi, pemungutan suara tersebut akan diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Persiapan Pemilu 2024 juga telah dilaksanakan sedini mungkin, diawali dengan pelantikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dua hari setelah pengumuman tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di mana termaktub bahwa penyelenggaraan pemilu dimulai sejak 20 bulan sebelum pemungutan suara.
Pelaksanaan pemilu berikutnya dipandang banyak pihak kian kompleks. Kebutuhan akan teknologi juga meningkat, seiring dengan banyaknya suara yang harus dihitung, dipastikan, dan dipublikasikan. Apalagi, pemilu akan dilaksanakan secara serentak dan tentunya memerlukan sumber daya manusia yang masif, mengingat Indonesia sendiri adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Apabila bercermin pada pelaksanaan pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2019 dan Pilkada Serentak 2020, masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu dipertimbangkan dan menjadi acuan bagi berbagai pihak pelaksana untuk mengambil kebijakan. Kebijakan ini harus bersifat inovatif dan relevan, guna memastikan Pemilu 2024 yang akuntabel, efektif, dan selaras dengan pengembangan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, adalah isu terkait politik uang. Politik uang seolah menjadi permasalahan yang jamak terjadi dalam setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia, di mana calon legislatif atau partai tertentu melaksanakan mobilisasi dukungan konstituen dengan memberikan materi-uang, hadiah, atau barang tertentu. Muhtadi (2019) menjelaskan ba hwa politik uang menjadi upaya calon untuk "membeli" suara publik dalam pemilu.
Pada Pemilu 2019, prevalensi politik uang juga dinyatakan Muhtadi cukup tinggi. Sebanyak antara 19,31% dan 33% pemilih terlibat dalam proses politik uang berdasarkan survei pascapemilu oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Jumlah ini berfluktuasi antara bulan Desember 2018 hingga Mei 2019. Dengan jumlah pemilih yang mencapai 156 juta orang, diperkirakan antara 37 juta dan 65 juta pemilih terpapar oleh praktik politik uang dalam Pemilu 2019. Sementara itu, hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepanjang tahun 2018 hingga 2019 menyatakan bahwa sebanyak 42% responden calon pemilih menganggap politik uang dalam pemilu merupakan kewajaran.
ADVERTISEMENT
Maraknya politik uang menjadi pembuktian bahwa pemilu di Indonesia mengarah pada candidate-centric. Maksudnya, calon legislatif di Indonesia lebih mementingkan suara individu dibandingkan suara partai. Hal ini terbukti dalam survei LSI dalam Pemilu 2014, di mana sebanyak 44,5% responden memilih calon tertentu dibandingkan partai. Praktis, hal ini mengindikasikan bahwa faktor ketokohan masih sangat kental terjadi dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, kian mendorong calon untuk membeli suara publik via politik uang.
Pencegahan praktik ini dalam pemilu berikutnya sejatinya dapat dilakukan secara holistik dan komprehensif. Dari perspektif konstituen, pencegahan politik uang dapat dilakukan bertahap dengan pendidikan politik sedari dini dan memanfaatkan pranata-pranata pendidikan seperti sekolah, kampus, dan organisasi pelajar. Pemilih muda yang masih awam dalam memahami sistem politik di Indonesia dapat diarahkan untuk menjunjung nilai meritokrasi alih-alih memihak politikus yang menawarkan material demi membeli suara.
ADVERTISEMENT
Sosialisasi efektif juga dapat dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, utamanya dengan menyasar organisasi mahasiswa dan pendidikan dalam berbagai bentuk. Misalnya dengan seminar kebangsaan atau focus group discussion dengan kelompok pelajar tertentu. Di sisi lain, partai sebagai pranata politik juga perlu mempertegas kriteria calon legislatif yang akan bertarung dalam pemilu. Calon harus dipastikan merupakan tokoh yang akuntabel, memiliki kinerja yang baik, dan jauh dari unsur wanprestasi dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tantangan kedua yang juga jamak terjadi sejak pemilu silam adalah permasalahan terkait daftar pemilih tetap (DPT). Di antaranya, adalah data pemilih antara KPU pusat dan daerah yang tidak sesuai, tidak terdaftarnya data masyarakat yang telah memenuhi persyaratan pemilih, pemilih yang terdaftar ganda, hingga pemilih yang sudah meninggal namun masih tercatat sebagai pemilih.
ADVERTISEMENT
Apabila tidak diatasi, kondisi ini dapat menimbulkan masalah lanjutan, yakni kurangnya surat suara sehingga pemilih yang memenuhi syarat tidak dapat menggunakan hak suaranya, hingga perhitungan suara yang terhambat karena suara yang tercecer dan harus dilakukan penyesuaian ulang. Oknum-oknum tertentu juga dapat memanfaatkan kondisi ini untuk melakukan kecurangan demi mengunggulkan calon tertentu.
Praktis, pemutakhiran data pemilih harus dilakukan dengan pemanfaatan teknologi. Pelaksanaan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) yang menyinkronisasi antara data pencacatan sipil dalam Dinas Dukcapil, data pemilu terakhir yang tercatat dalam KPU, dan data lapangan yang diambil secara langsung menjadi kebijakan yang inovatif untuk mengurangi peluang keterceceran data tersebut.
Kebijakan PDPB juga dapat diintegrasikan dengan basis data yang terus-menerus diperbarui, misalnya dengan mengintegrasikan DPT dengan Satu Data Indonesia. Praktis, data pemilih antara pusat dan daerah juga akan selalu tersinkronisasi. Kemudian, kesadaran masyarakat untuk mengurus administrasi--semisal KTP, akte kelahiran, dan akte kematian--juga perlu diperkuat demi pemutakhiran data yang efektif. Peningkatan kualitas SDM yang melek teknologi juga menjadi bekal substantif dalam menghadapi Pemilu 2024 yang kian kompleks dan membutuhkan pemanfaatan teknologi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pemerintah dan KPU juga perlu mengantisipasi kemungkinan terburuk Pemilu 2024 masih terjadi pada masa pandemi. Memang, dalam Pilkada Serentak 2020 yang terjadi di tengah pandemi COVID-19, tidak terjadi penurunan signifikan terhadap angka partisipasi pemilih. Bahkan di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, angka partisipasi justru meningkat, mencapai 74,3%. Total, angka partisipasi pemilih dalam pilkada tersebut mencapai 76,09% menurut CSIS Indonesia.
Meski demikian, pencapain tersebut tidak lantas semata-mata menjamin angka partisipasi yang tinggi dalam Pemilu 2024 nantinya. Pemerintah perlu belajar pada respons yang efektif dalam menghadapi kondisi pandemi dalam Pilkada Serentak 2020 yang turut berkontribusi dalam meningkatnya partisipasi pemilih. Apabila strategi antisipasi situasi pandemi tidak berjalan efektif, bukan tidak mungkin apabila partisipasi pemilih akan menurun, begitu pula dengan kredibilitas Pemerintah dalam pelaksanaan pemilu.
ADVERTISEMENT
Aneka tantangan di atas perlu menjadi perhatian tersendiri bagi seluruh pihak penyelenggara pemilihan umum dalam menghadapi Pemilu 2024. Apalagi, pemilu di Indonesia tak ubahnya ajang nasional yang rutin diselenggarakan lima tahunan yang tentunya, menjadi perhatian khusus masyarakat Indonesia. Pemilu juga menjadi tolok ukur pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan sejauh mana masyarakat memahami pentingnya partisipasi dalam demokrasi.
Praktis, strategi dan inovasi yang sinergis dan efektif menjadi jaminan bahwa Pemilu 2024 akan berjalan lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Pertimbangan teknologi, sumber daya manusia, dan manajemen kebijakan publik perlu menjadi fokus dalam menghadapi Pemilu 2024 seiring dengan waktu yang tinggal menghitung bulan.