Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Ukraina Kembali Memanas, Bagaimana NATO Seharusnya Bersikap?
19 Desember 2021 13:39 WIB
Tulisan dari Alfin Febrian Basundoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi politik di Ukraina memanas kembali dalam sebulan belakangan setelah Rusia menerjunkan sejumlah besar pasukan di perbatasan Rusia-Ukraina. Situasi ini menjadi babak baru bagi konflik antara kedua negara yang telah berlangsung sejak tahun 2014. NATO sebagai pihak sekutu Ukraina dinilai banyak pihak juga akan mengambil sikap tegas untuk menghadapi situasi ini.

ADVERTISEMENT
Laman Foreign Affairs pada tanggal 10 Desember 2021 lalu memublikasikan analisis Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba. Pesannya cukup nyata: Rusia kian mengganas dan belakangan, kembali berupaya untuk menginvasi Ukraina. Ia juga menggarisbawahi meningkatnya risiko peperangan antara Rusia dan NATO yang terjadi di wilayah Ukraina dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Memang, konflik Rusia-Ukraina yang terjadi sejak tahun 2014 saat ini kembali berada pada titik tertingginya setelah sebelumnya, sejumlah gencatan senjata disepakati dan dilaksanakan. Serangan-serangan sporadis di kawasan yang diduduki pasukan militer Rusia seperti Luhansk dan Krimea mulai terjadi kembali, sementara Pemerintah Ukraina tengah memobilisasi warga sipil dalam program wajib militer dan mengerahkan relawan untuk bergabung dalam korps pasukan cadangan. Darurat militer juga ditegakkan di seluruh negeri tersebut.
Akar konflik antara kedua negara dapat dilacak dari peristiwa Euromaidan, yakni gerakan politik sipil Ukraina yang menuntut integrasi negara tersebut ke dalam forum Uni Eropa pada tahun 2013 hingga 2014. Krisis politik tersebut timbul setelah Presiden Ukraina kala itu, Viktor Yanukovych menolak menyepakati rencana tersebut dan memilih untuk memperkuat relasinya dengan Rusia. Keputusan tersebut membuat banyak rakyat Ukraina berang, membuat sang Presiden pada akhirnya dituntut mundur dan pada akhirnya mengasingkan diri ke Rusia pada bulan Februari 2014.
ADVERTISEMENT
Keadaan semakin runyam setelah Rusia menanggapi krisis politik tersebut dengan invasi ke sejumlah wilayah Ukraina bagian timur dan Semenanjung Krimea. Presiden Rusia, Vladimir Putin berdalih bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk “menjaga keamanan regional”, namun lambat laun, diketahui bahwa motif operasi militer tersebut adalah untuk mendukung berbagai kelompok separatis di wilayah Krimea, Donetsk, dan Luhansk. Bahkan, Rusia memberikan dukungan politik terhadap pembentukan negara boneka Novorossiya di timur Ukraina.
Disrupsi Kedaulatan Ukraina: Bentuk Iredentisme Rusia?
Di sini, nampak jelas ambisi iredentisme Rusia yang dilaksanakan dengan perluasan wilayah. Rusia memanfaatkan opini publik Ukraina Timur terhadap Rusia yang pada akhirnya berujung pada disrupsi terhadap kedaulatan Ukraina secara keseluruhan.
Misalnya, kehadiran tentara Rusia dalam referendum Krimea menjadi salah satu faktor yang membuat mayoritas—hampir 97%—penduduk Krimea memilih bergabung dengan Rusia. Belum lagi, dukungan senjata dan perlengkapan militer yang diberikan Rusia kepada kelompok separatis di Ukraina Timur yang membuat konflik kian berlarut-larut. Padahal, referendum tersebut telah diputuskan tidak sah oleh Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB dan karenanya, tidak dapat menjadi justifikasi aneksasi Krimea oleh Rusia.
ADVERTISEMENT
Putin sendiri menilai bahwa Euromaidan menjadi momentum bagi kekuatan militer Barat—dalam konteks ini NATO—untuk berekspansi ke timur, seiring dengan masuknya sejumlah negara Eropa Timur belakangan sebagai anggota baru NATO, semisal Kroasia, negara-negara Baltik, dan Romania. Padahal, Euromaidan sendiri adalah gerakan politik sipil yang mengadvokasikan relasi Ukraina yang lebih kuat dengan Uni Eropa, alih-alih NATO—dengan pertimbangan keuntungan dalam bidang ekonomi dan sosial-budaya.
Hingga kini, upaya Rusia untuk membendung Ukraina bergabung dengan “kekuatan Barat” dengan invasi militer justru telah membuat stabilitas di Eropa Timur semakin tidak menentu—bahkan amat mungkin akan menyulitkan posisi politik Rusia sendiri di masa mendatang. Apalagi, opini publik Ukraina terkait keberadaan NATO kian menunjukkan kesan positif pascatahun 2014.
ADVERTISEMENT
Sikap NATO terhadap Agresivitas Rusia
Negara-negara Barat sendiri relatif tidak bersikap drastis terhadap tindakan agresif Rusia tersebut. Misalnya, meskipun negara-negara anggota Group of 7 (G7) dan Uni Eropa (UE) telah menjatuhkan beragam sanksi kepada Rusia, belum ada usaha pembendungan ancaman terhadap agresi militer Rusia secara signifikan dari NATO.
Militer Ukraina bersama dengan para relawan nasionalis masih secara berdikari melakukan pengamanan di kawasan timur untuk mencegah masuknya pasukan Rusia dan separatis jauh ke dalam jantung Ukraina. Kabar terbaru dari intelijen AS menyebutkan bahwa Rusia tengah memobilisasi hingga 175.000 pasukan di perbatasan Rusia-Ukraina, memperkuat peluang invasi besar-besaran Ukraina oleh Rusia.
Ukraina yang kian terdesak pun tidak memiliki pilihan lain selain menjalin kemitraan yang lebih kuat dengan NATO sebagai organisasi keamanan. Bahkan, pada tahun 2020, Pemerintah Ukraina telah menerbitkan dokumen strategi keamanan nasional terbaru yang menggandeng NATO sebagai mitra utama, kendati Ukraina tidak lantas menjadi anggota organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Keputusan tersebut penting, sebab ketimpangan kekuatan militer antara Ukraina dan Rusia sangat signifikan. Ketimpangan tersebut juga berdampak pada lemahnya daya tawar Pemerintah Ukraina dalam merebut dan menyatukan kembali wilayahnya yang dikuasai oleh separatis pro-Rusia. Seiring dengan agresivitas Rusia yang meningkat, NATO sendiri pada akhirnya berkomitmen untuk melindungi Ukraina.
Praktis, NATO sebagai aktor politik-keamanan strategis di Eurasia perlu melakukan tindakan perimbangan untuk mencegah invasi skala penuh. Masuknya pasukan Rusia secara besar-besaran ke Ukraina akan secara masif mengancam penduduk Ukraina dan tentunya, menciptakan instabilitas terhadap politik di Eropa secara umum. Upaya NATO untuk memberikan asistensi kepada Ukraina antara tahun 2014 hingga 2021, seperti mengirim senjata, pelatihan militer terbatas, dan dukungan intelijen dianggap oleh Pemerintah Ukraina belum efektif, sehingga intervensi militer NATO di Ukraina dapat terlegitimasi.
ADVERTISEMENT
Apabila ingin mempertahankan komitmennya untuk melindungi Ukraina, NATO perlu berfokus untuk memberikan asistensi yang lebih intensif dan komprehensif. Pertama, kedudukan NATO di kawasan barat Ukraina harus diperkuat; mekanisme rotasi pasukan NATO di Eropa Timur yang telah dimulai pada tahun 2016 dapat ditingkatkan dari setingkat resimen menjadi divisi.
Posisi pasukan dapat dipindahkan mendekati perbatasan Ukraina di Romania dan Polandia. Hal ini bertujuan agar NATO dapat bereaksi dengan cepat manakala invasi dimulai dengan mobilisasi pasukan dalam jumlah seimbang dengan Rusia. Tidak hanya menjadi pendukung di garis depan, keberadaan pasukan reaksi cepat NATO ini dapat menjadi memberikan efek deterensi terhadap Rusia dengan mengadakan latihan bersama pasukan Ukraina, baik di sekitar perbatasan Ukraina maupun di Laut Hitam.
ADVERTISEMENT
Dukungan material kepada Ukraina juga menjadi poin penting, terutama dengan transfer alat utama sistem persenjataan (alutsista). Militer Ukraina kini hanya diperkuat dengan alutsista peninggalan Uni Soviet generasi Perang Dingin yang jelas kalah kualitas dalam menghadapi Rusia.
Maka, NATO perlu mengadakan program penjualan alutsista yang lebih signifikan kepada Ukraina, khususnya senjata-senjata taktis—tank, pesawat tempur, sistem penangkis serangan udara, dan bom. Penjualan tersebut dapat diperkuat dengan integrasi sistem pertahanan Ukraina dengan NATO. NATO juga dapat memberikan akses terhadap persenjataan A2/AD (anti-access/area denial) kepada Ukraina dengan tujuan menghalau pesawat tempur, tank, dan kendaraan tempur Rusia sebagai upaya pertahanan.
Lebih lanjut, setiap anggota NATO perlu untuk berkontribusi dalam mencegah dominasi kekuatan militer Rusia, di antaranya dengan memecah fokus negara tersebut. Turki misalnya, dapat memanfaatkan situasi ini untuk mendisrupsi posisi Rusia di front peperangan Suriah. Diketahui, sejak tahun 2015, Rusia juga mengirim sejumlah besar pasukan untuk mendukung Bashar Al-Assad di Suriah.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan Lanjutan
Meski demikian, sejumlah hal di bawah juga perlu menjadi pertimbangan bagi NATO dalam memberikan asistensinya kepada Ukraina. Seiring dengan posisi Ukraina sendiri sebagai subjek yang memperoleh ancaman langsung dari Rusia, NATO perlu memberikan ruang kepada Ukraina untuk mempertahankan diri dan memperjuangkan hak atas kedaulatan wilayahnya.
Maka, NATO tidak lantas perlu menerjunkan pasukan secara langsung ke garis depan, melainkan hanya memberikan dukungan, baik secara politik maupun material kepada Ukraina. Hal ini juga yang akan membuat intervensi NATO akan lebih terlegitimasi dan mencegah Rusia lebih jauh mempertanyakan posisi NATO dalam konflik ini.
Selain itu, anggota NATO sebaiknya tidak meninggalkan upaya politik dan diplomatik untuk mencegah invasi skala besar Rusia. Misalnya, adalah dengan membuka dialog dengan Rusia agar mau menarik mundur pasukannya dari perbatasan Ukraina, tentunya dengan melibatkan pihak Ukraina sendiri. Pendekatan ini juga dapat diikuti dengan sanksi yang lebih keras, khususnya untuk membendung sektor-sektor strategis Rusia—semisal energi.
ADVERTISEMENT
Tentunya, kombinasi dari strategi di atas akan lebih komprehensif dan efektif untuk mendorong Rusia mempertimbangkan kembali agresivitasnya, mengingat ekonomi Rusia sendiri telah terdampak secara masif akibat sanksi internasional terdahulu akibat aneksasi Krimea, pandemi COVID-19, hingga fluktuasi harga gas alam yang menjadi tulang punggung perekonomian negara tersebut.
Singkatnya, kendati agresivitas Rusia kian meningkat dan dalam waktu dekat berpotensi menginvasi Ukraina dalam skala besar, NATO tidak boleh semata-mata menggunakan kekuatan militer untuk menghadapi Rusia. Selain akan membuat konflik kian berlarut, penggunaan kekuatan militer secara berlebihan akan sangat membebani ekonomi pertahanan NATO sendiri.
Posisi ekonomi-politik Rusia di Eropa juga masih demikian kuat, seiring dengan ketergantungan negara-negara Eropa Barat akan gas alam. Hal tersebut jelas akan menjadi kartu truf Rusia dalam percaturan politik Ukraina. Kemitraan yang lebih kuat dengan Ukraina perlu menjadi jawaban untuk mendorong legitimasi dan memperkuat daya tawar Ukraina sendiri dalam menghadapi Rusia.
ADVERTISEMENT
Alfin Febrian Basundoro adalah mahasiswa di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada