Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menelusuri Keindahan Coban Parang Cilik yang Belum Terjamah
13 Mei 2025 13:02 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari alfina maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah ramainya destinasi wisata alam di Malang, ada satu nama yang mungkin tak pernah terdengar di kalangan wisatawan mainstream: Coban Parang Cilik. Tak sepopuler Tumpak Sewu, tak seterkenal Coban Rondo, namun justru dari ketidakterkenalannya itu, Coban Parang Cilik memancarkan pesona yang berbeda—sunyi, alami, dan nyaris tak terjamah.
ADVERTISEMENT
Terletak di kawasan Dau, Kabupaten Malang, akses menuju Coban Parang Cilik memang tak semudah destinasi wisata lain yang sudah mapan. Dari pusat kota, saya harus menempuh perjalanan sekitar kurang lebih 40 menit. Jalan aspal mulus perlahan berubah menjadi bebatuan dan tanah merah. Lalu lintas pun perlahan hilang—yang tersisa hanyalah deretan kebun warga, suara serangga, dan langit yang terbuka luas.
Dari titik parkir, saya berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang dihimpit semak dan ilalang. Tak ada papan petunjuk, tak ada loket tiket. Hanya petunjuk dari warga sekitar dan naluri eksplorasi yang mengantar saya. Setelah sekitar 20 menit berjalan, suara air mulai terdengar, pelan, lalu menguat. Dan di situlah ia berdiri—Coban Parang Cilik, dengan aliran air jernih yang jatuh dari ketinggian sedang, dikelilingi dinding batu dan vegetasi hijau yang lebat.
Yang membuat Coban Parang Cilik istimewa bukan hanya keindahannya, tapi suasananya. Di sana, tak ada riuh wisatawan, tak ada suara musik dari speaker portabel, tak ada antrean swafoto. Hanya ada suara alam dan keleluasaan untuk diam, merenung, atau sekadar menikmati udara segar yang tak tercemar.
ADVERTISEMENT
Airnya sangat jernih, membentuk kolam alami yang dangkal di bawahnya. Anak-anak dari desa terdekat kadang datang untuk bermain air. Tak jarang juga terlihat burung-burung kecil bertengger di ranting yang menjorok ke aliran air.
Tempat ini masih perawan. Belum ada infrastruktur wisata. Tak ada warung, tempat sampah, atau toilet umum. Tapi justru di sanalah nilai autentiknya.
Melihat keindahan dan ketenangannya, saya tak bisa tidak berpikir: kenapa tempat ini belum dikenal luas? Jawabannya bisa jadi karena akses yang terbatas, promosi yang nyaris nihil, atau mungkin karena memang belum ada yang benar-benar menaruh perhatian.
Namun Coban Parang Cilik menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai wisata alam berbasis komunitas. Dengan pendekatan ekowisata, tempat ini bisa menjadi alternatif baru yang menawarkan pengalaman jauh dari hiruk-pikuk, namun tetap ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Perjalanan ke Coban Parang Cilik mungkin tidak akan mengantarmu ke foto-foto Instagramable yang penuh warna. Tapi ia akan membawamu pada keheningan yang jujur. Di sana, saya belajar bahwa tidak semua keindahan harus ramai. Tidak semua tempat indah harus viral. Ada kalanya, sebuah keajaiban justru ingin tetap sederhana—cukup diketahui oleh mereka yang benar-benar ingin menemukan.
Dan semoga, jika suatu saat kamu sampai di sana, kamu akan paham: alam tidak selalu butuh sorotan—kadang, ia hanya ingin didengar.