Konten dari Pengguna

Analisis Peta Dukungan Partai Politik dalam Pembahasan Sistem Pemilu di DPR

Alfitra Akbar
Public Policy Analist - Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
12 Februari 2021 6:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfitra Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilihan Umum (pic via :Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilihan Umum (pic via :Kumparan)
ADVERTISEMENT
Revisi Rancangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR-RI yang direncanakan akan dibahas pada tahun 2021 ini.
ADVERTISEMENT
Dalam tiap pembahasannya RUU Pemilu selalu memperlihatkan perdebatan panjang pada tiap isu strategis yang dibahas.
Hal ini dikarenakan RUU Pemilu merupakan salah satu RUU Krusial yang menentukan perjalanan pemilihan umum ke depannya.
Tiap pasal yang diperbincangkan akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan para peserta pemilu (termasuk para anggota DPR dan partai politik peserta pemilu)
Dari beberapa isu krusial dalam RUU Pemilu ada tiga isu yang selalu melahirkan perdebatan panjang dalam tiap pembahasanya di antaranya adalah mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas presiden (presidential threshold), dan sistem pemilu.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sianipar (2018) menjelaskan alasan mengapa isu-isu di atas selalu menjadi isu krusial dalam tiap pembahasan RUU Pemilu di parlemen.
ADVERTISEMENT
Pertama isu-isu tersebut sangat spesifik dan teknis, produk yang dihasilkan dari isu tersebut sangat memegaruhi eksistensi parpol dalam penyelenggaraan pemilu selanjutnya.
Kedua, isu-isu tersebut tidak menyangkut kepentingan rakyat secara langsung melainkan lebih kepada kepentingan elektoral partai. Dalam tulisan ini penulis memfokuskan bahasan kepada salah satu isu strategis di atas yaitu sistem pemilu dikarenakan pembahasan mengenai dua isu lainya yaitu ambang batas sudah ramai diperbincangkan sebelumnya. Pada dasarnya pembahasan terkait sistem pemilu hanya berkutat pada dua pilihan yaitu sistem proporsional terbuka/tertutup.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba membahas mengenai sejarah sistem pemilu sampai dengan kelebihan dan kekurangan sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini.
Definisi Sistem Pemilu
Blaiss dan Massicote mendefinisikan sistem pemilu sebagai “bagaimana suara diberikan dan kursi dialokasikan” pendapat yang sama disampaikan sarjana lain yaitu Reynolds,Relly,Ellis,et.al. yang menjelaskan bahwa “sistem pemilu mengkonversi perolehan suara dalam sebuah pemilu menjadi kursi-kursi yang dimenangkan oleh para parpol dan para calon".
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan dalam teori ilmu politik prinsip dasar pengertian tentang sistem pemilu adalah sekumpulan aturan yang menstruktur bagaimana suara diberikan pada pemilu untuk wakil rakyat dan bagaimana suara ini kemudian dikonversi menjadi kursi ke dalam lembaga perwakilan.
Pada dasarnya berbagai negara yang menjalankan pemilu secara demokratis mempunyai sistem pemilu yang berbeda antar satu negara dan negara lain akan tetapi setelah melihat definisi sistem pemilu di atas kita dapat mempelajari bahwa walaupun tiap negara memiliki sistem pemilu berbeda namun pada prinsipnya adalah mengkonversi suara dalam pemilu ke dalam lembaga perwakilan.
Ilustrasi pemilihan umum Foto: Pixabay

Sejarah Sistem Pemilu di Indonesia

Dalam konteks pemilu di Indonesia sudah mengalami berbagai macam sistem pemilu sejak pemilu pertama diberlakukan yaitu pada pemilu 1955. Pada pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama ini, Indonesia menggunakan sistem perwakilan berimbang (proportional representation) dengan sistem daerah pemilihan (dapil) proporsional.
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaanya pemilu dibagi menjadi 16 daerah pemilihan (dapil) yang mana pembagian dapil pada masa itu menyediakan kursi yang jumlahnya menyesuaikan dengan jumlah penduduk di daerah (dapil) masing-masing.
Pada dasarnya sistem pemilu ini relatif lebih simple, sistem pemilu dengan model seperti ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara perolehan suara sah dan calon atau parpol yang mendapatkan suara sah tersebut.
Artinya apabila seorang calon atau parpol mendapat suara sebanyak 50 persen maka secara persis calon atau parpol tersebut juga akan mendapatkan total 50 persen kursi dari jumlah total kursi yang ada di lembaga legislatif.
Sistem proportional representation dengan metode pemberian suara terbuka ini cukup berhasil dilaksanakan pada saat itu.
Sistem perwakilan berimbang (proportional representation) juga tetap digunakan dalam pemilu-pemilu selanjutnya terutama pada pemilu-pemilu pada masa orde baru yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
ADVERTISEMENT
Akan tetapi pada saat pemilihan umum periode tersebut hanya untuk pemilu legislative sedangkan pemilihan presiden tidak dipilih secara langsung.
Pada masa reformasi sistem pemilu Indonesia masih menggunakan sistem perwakilan berimbang (proportional representation) setidaknya pada pemilu pertama pada masa reformasi tahun 1999 namun dalam perjalananya terjadi transformasi sistem pemilu.
Jika pemilu 1999 menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar tertutup maka pada pemilu pasca-reformasi kedua tahun 2004 menggunakan sistem daftar setengah terbuka, sedangkan pemilu 2009 dan pemilu 2014 menggunakan sistem terbuka murni.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Banyak perdebatan mengenai keberadaan sistem pemilu terbuka,walaupun sebenarnya di setiap sistem pemilu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dari sisi kelebihan sistem pemilu proporsional terbuka ini lebih demokratis karena tiap-tiap calon anggota legislatif mempunyai kesempatan yang sama dalam pemilu dalam hal ini masyarakat pun lebih leluasa dalam menentukan pilihan.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem terbuka ini rakyat benar-benar memastikan bahwa para wakil rakyatnya nanti adalah murni pilihan rakyat bukan pilihan partai.
Ruang untuk partisipasi publik dalam pemilu pun meningkat,kondisi ini merupakan kondisi yang ideal jika kita berkaca pada salah satu prinsip dalam demokrasi yaitu semakin tinggi partisipasi masyarakat maka semakin demokratis.
Akan tetapi konsekuensi dari sistem pemilu yang terbuka ini adalah praktek politik uang yang secara terang-terangan terjadi oleh para calon anggota legislatif bahkan dalam satu partai pun kerap kali jadi persaingan yang tidak sehat antar calon anggota legislatif.
Imbas dari hal tersebut partai pun pada akhirnya mengambil sikap pragmatis dalam menentukan calon anggota legislatif.
Sehingga di beberapa partai sangat jelas terlihat calon-calon populis mendapat prioritas untuk dicalonkan partai dalam kontestasi disbanding kader internal partai.
ADVERTISEMENT
Calon populis disini merujuk pada public figure,artis dll yang terkadang mereka dicalonkan tanpa memperhatikan kapasitas dari sang calon tersebut karena disatu sisi partai pun harus pragmatis mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dari calon populis tersebut.
Terakhir peneliti ilmu politik dari Universitas Leiden Ward Berenschot mengungkapkan pasca-diterapkanya sistem pemilu proporsional terbuka proses demokrasi di Indonesia dinilai sudah berjalan baik terutama dalam hal perwakilan berbagai kelompok etnis dan agama.
Namun, dari sisi kelas sosial, demokrasi masih belum representatif lantaran dominasi pelaku bisnis dan elite ekonomi yang menduduki posisi anggota parlemen, gubernur, hingga bupati.

Peta Politik Partai di DPR

Sampai dengan saat ini sikap sementara partai terkait pembahasan sistem pemilu ini masih terpecah.
Dua fraksi terbesar di DPR yaitu Fraksi PDIP dan Fraksi Golkar cenderung mengusulkan sistem proporsional tertutup sementara Fraksi Nasdem, PKS, PAN, PPP, PKB dan Demokrat memilih tetap pada sistem proporsional terbuka.
ADVERTISEMENT
Jika kita analisis terkait peta politik di atas, parpol besar cenderung menginginkan sistem proporsional tertutup karena secara kepartaian mereka jauh lebih siap dan memiliki kader-kader yang mumpuni untuk dicalonkan.
Di samping itu dalam sistem proporsional tertutup ini seperti yang dijelaskan di atas masyarakat cenderung memilih partai, partai besar jelas memiliki loyalis dan basis suara yang jelas. Sementara parpol menengah dan kecil mungkin akan lebih nyaman dengan sistem proporsional terbuka.
Berbanding terbalik dengan parpol besar mereka tidak mempunyai ideologi partai yang kuat, loyalis dan basis yang besar seperti parpol besar sehingga ketika sistem tertutup dengan mekanisme memilih partai mereka khawatir partai mereka tidak banyak mendapat suara.
Selama ini mereka cenderung nyaman dengan sistem proporsional terbuka dikarenakan mereka mengandalkan calon-calon populis di masyarakat seperti public figure, artis dll untuk menggaet suara partai.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Blaiss, Andre and Louis Massicotte.2002. Comparing Democracies : 2 New Challenges in The Study of Election and Voting. London : SAGE Publication
Gallagher,Michell and Paul Mitchell(Eds.). 2005. The Politics of Electoral System.Oxford University Press
Lestari Sianipar,Kartika.2018. Politik Pembahasan Legislasi di Indonesia : Studi Kasus Kemenangan Paket A Pada Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemlu Tahun 2017. Tesis Program PascaSarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia