news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kegagalan Birokrasi dalam Mengatasi Permasalahan Manajemen Data Penerima BLT

Alfitra Akbar
Public Policy Analist - Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
11 Februari 2021 12:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfitra Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ayo Kawal Dana Desa by belitungtimurkab.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ayo Kawal Dana Desa by belitungtimurkab.go.id
ADVERTISEMENT
Alur birokrasi dalam penanganan COVID-19 dinilai belum berhasil untuk menangani permasalahan penyaluran bantuan yang ada di lapangan,dalam implementasinya pelaksanaan pemberian bantuan tersebut berupa bantuan langsung tunai desa tidak memenuhi target dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Permasalahan birokrasi dalam manajemen data penerima bantuan diyakini sebagai kendala utama dalam permasalahan penyaluran bantuan tersebut ke masyarakat.
Dalam rangka penanganan dan pencegahan penularan COVID-19 di desa Presiden Republik Indonesia memberikan arahan untuk memberi prioritas penggunaan dana desa untuk memperkuat sendi-sendi ekonomi melalui Padat Karya Tunai Desa (PKTD) berupa pemberian bantuan langsung tunai desa.
Maka menindaklanjuti arahan Presiden tersebut Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengeluarkan SE Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap COVID-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa yang berupa penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) desa.
Akan tetapi dalam implementasinya pelaksanaan pemberian bantuan tersebut berupa bantuan langsung tunai desa tidak memenuhi target dan sasaran.

Tidak Memenuhi Target dan Sasaran

Berdasarkan data Kementerian Desa hingga Minggu, 8 November 2020, realisasi dana desa yang digunakan untuk penanganan dan pencegahan pandemi COVID-19 berupa BLT Desa sebesar Rp 37 triliun yang artinya hanya terserap sebanyak 52% (persen) dari alokasi total dana desa sebesar 71 triliun. Capaian ini jelas di luar target yang ditetapkan pemerintah pada awal masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan permasalahan utama yang menyebabkan dana tidak terserap maksimal ada pada manajemen data penerima BLT desa.
Permasalahan data yang terjadi adalah pertama data yang masih tumpang tindih, data sebagai sumber paling krusial dalam proses penyaluran bantuan ini sering kali tidak sinkron antara data yang dimiliki pusat,daerah dan desa hal ini dikarenakan data yang tidak diperbarui dan tidak tervalidasi antara pusat, daerah, dan desa.
Data yang tidak dimutakhirkan ini berpotensi membuka ruang penyimpangan, di antaranya tumpang tindih nama penerima BLT desa dan bantuan dari kementerian lain padahal salah satu syarat calon penerima BLT desa adalah mereka yang tidak pernah tercatat sebagai penerima bantuan lain.
Artinya apabila ada warga desa yang terdampak pandemi namun sudah menerima bantuan seperti Program Keluarga Harapan,dan Kartu Pra Kerja,maka mereka tak berhak menerima BLT desa.
ADVERTISEMENT
Permasalahan kedua adalah birokrasi dalam proses penyusunan dan perbaikan data.
Pihak desa sebagai garda terdepan penyaluran bantuan dan yang paling mengetahui kondisi real di lapangan kesulitan untuk membenahi data yang tumpang tindih dan tidak tepat sasaran ini secara cepat
Karena sesuai alur administratif pemerintah desa yaitu kepala desa, sekretaris desa dan jajarannya tidak diberi peran lebih oleh pemerintah dalam proses penyusunan dan perbaikan data.
Selama ini basis data BLT desa didapat dari tiga orang relawan desa yang ditugaskan oleh Kementerian Desa mencari siapa saja keluarga di desa yang terdampak COVID-19 dan belum menerima bantuan apa pun dari pemerintah pusat.
Dalam proses ini birokrasi desa yang merujuk pada kepala desa sekretaris desa dan BPD hanya sebatas menyelenggarakan musyawarah desa dan menerima usulan nama akan tetapi nama yang diusulkan pada musyawarah desa tersebut tidak bisa langsung menerima bantuan karena harus di verifikasi ulang di tingkat kabupaten/kota sebelum data tersebut kembali turun ke desa.
ADVERTISEMENT
Artinya jika ada warga miskin yang masuk kriteria penerima bantuan tidak terdaftar dalam data penerima bantuan pihak desa harus melakukan musyawarah khusus desa untuk melakukan verifikasi ulang penerima dana BLT desa.
Data penerima bantuan yang sudah divalidasi melalui musyawarah khusus desa tidak bisa langsung dimasukkan ke dalam data penerima bantuan akan tetapi masih harus diverifikasi ulang oleh pemda.
Hal ini lah yang menjadi ganjalan karena beberapa pemda terkesan lambat dalam memverifikasi ulang data sampai mencairkan dana sehingga ditemukan fakta di lapangan bahwa ada jeda yang panjang antara proses musyawarah khusus desa hingga pencairan dana.
Birokrasi dengan model seperti ini dinilai masih sentralistik karena data yang telah disusun oleh desa secara alur administratif harus di kembalikan lagi ke pusat.
ADVERTISEMENT
Salah satu risiko pemerintahan dan birokrasi yang sentralistik di antaranya adalah jika menghadapi persoalan berskala besar seperti dalam penyaluran bantuan langsung dana saat ini dipastikan akan menemui kelambanan dalam mengambil keputusan.
Padahal keluarga miskin dan tidak mampu terdampak COVID-19 di desa tak boleh menunggu lebih lama untuk mendapat bantuan.Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Abdullah Azwar Anas, meminta pemerintah pusat menyederhanakan berbagai mekanisme penyaluran bantuan sosial terkait COVID-19
Ia membenarkan jika masalah utama adalah data yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sebagai dampak dari penyaluran bantuan tersebut, terjadi kecemburuan sosial di tingkat masyarakat, karena adanya kesenjangan antara manajemen data dengan persepsi masyarakat.
Protes keras dan pernyataan sikap aparat desa di Kabupaten Sukabumi yang menolak bantuan karena tidak tepat waktu,hingga aksi demonstrasi yang terjadi di Desa Sumber Agung dan Desa Air Batu Kabupaten Merangin yang memprotes BLT Desa karena dinilai tidak tepat sasaran semakin melegitimasi bahwa koordinasi distribusi bantuan pada masyarakat terdampak pandemi tidak berjalan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Forum Kepala Desa Nusantara pun sudah seringkali menyerukan otonomi penyaluran bantuan, untuk memangkas birokrasi, memastikan efisiensi dan ketepatan sasaran melalui pemutakhiran dan verifikasi data secara langsung oleh desa.

Memangkas Alur Birokrasi

Dalam menghadapi situasi bencana alam COVID-19 ini dukungan birokrasi pemerintah dianggap belum berhasil untuk mengatasi permasalahan yang ada di lapangan.
Justru persoalan birokrasi sendiri malah jadi penghambat dalam mengatasi permasalahan yang ada hal inilah yang menyebabkan implementasi pemberian bantuan langsung oleh pemerintah ke desa tidak memenuhi target dan sasaran.
Dengan adanya otonomi daerah, saat menghadapi bencana nasional seperti saat ini seharusnya pemerintah memanfaatkan efek positif desentralisasi untuk memangkas kendala birokrasi yang ada dengan cara memangkas alur administrasi pembagian BLT desa ini.
ADVERTISEMENT
Desa sebagai garda terdepan harus diberi kewenangan lebih dalam proses ini untuk melakukan verifikasi dan pemutakhiran data sendiri sehingga BLT desa seharusnya dapat langsung dibagikan tanpa harus melalui verifikasi di level kabupaten/kota.
Artinya, seluruh data yang telah disepakati melalui musyawarah khusus desa sudah bisa langsung menerima BLT desa.

Referensi:

https://investor.id/business/kemendes-pdtt-penggunaan-dana-desa-untuk-penanganan-covid-19-capai-rp-37-triliun