Konten dari Pengguna

Kereta Cepat dan Ancaman Debt Trap Tiongkok

Alfitra Akbar
Public Policy Analist - Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
3 Agustus 2022 21:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfitra Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja berjalan di tengah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Foto: Raisan Al Farisi/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja berjalan di tengah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Foto: Raisan Al Farisi/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Polemik serta permasalahan yang menyertai proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) nampak tak kunjung reda. Terbaru, biaya pembangunan proyek KCJB diketahui membengkak dari rencana awal. Diberitakan, proyek tersebut mengalami cost overrun 1,176 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 16,8 triliunm. Tak hanya itu, China Development Bank (CBD) sebagai salah satu pemegang proyek ini pun meminta pemerintah Indonesia untuk turun tangan ikut menanggung pembengkakan biaya tersebut.
ADVERTISEMENT
Bermasalah Sejak Awal?
Pengerjaan proyek yang masuk dalam kategori proyek strategis nasional (PSN) ini dinilai telah bermasalah sejak awal, setidaknya hal ini diungkap oleh Ekonom Faisal Basri. Dari segi ekonomi dan bisnis misalnya, Faisal mengungkap bahwa sulit bagi proyek yang dinilai ambisius ini akan balik modal.
Bahkan, Menteri Perhubungan yang saat itu menjabat Ignasius Jonan sempat secara simbolis “menolak” keberadaan proyek ini, Jonan bahkan tak hadir saat peletakan batu pertama proyek ini yang dihadiri Presiden Jokowi.
Kala itu Jonan melihat ada beberapa potensi permasalahan fundamental yang akan terjadi jadi dalam pembangunan proyek ini seperti soal pembiayaan proyek bahkan permasalahan teknis seperti soal studi kelayakan serta analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya soal perencanaan teknis dan pembiayaan proyek yang dipermasalahkan, sejak awal dipilihnya Tiongkok sebagai mitra utama dalam pengerjaan proyek ini pun menurut Faisal patut untuk dipertanyakan.
Seperti yang diketahui, sejatinya, pemerintah terlebih dahulu merencanakan pengerjaan proyek ini dengan Jepang sebelum pada akhirnya pemerintah memilih Tiongkok sebagai mitra utama dalam mengerjakan proyek ini
Terkait dipilihnya Tiongkok dalam proyek ini Wilmar Salim dan Siwage Dharma Negara dalam tulisannya yang berjudul Why is the High-Speed Rail Project so Important to Indonesia menyebutkan bahwa diberikannya proyek tersebut ke Tiongkok adalah untuk memikat negeri Tirai Bambu agar meningkatkan investasi dan partisipasinya dalam berbagai pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Ekonom senior Emil Salim juga menyebutkan kesimpulan serupa, Ia bahkan secara terang-terangan menyebut pemerintah merencanakan proyek ini tanpa studi kelayakan serta analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Hal ini semata-mata dinilai demi memuluskan proyek dengan Tiongkok ini. Lebih lanjut, Emil menyampaikan berbagai permasalahan yang terjadi saat ini seperti membengkaknya biaya proyek atau cost overrun sudah terprediksi sejak awal.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Emil Salim bahkan secara tidak langsung juga diakui oleh Wakil Menteri (Wamen) BUMN Kartika Wirjoatmodjo yang memaparkan bahwa rentetan permasalahan yang menimpa proyek kereta cepat ini disebabkan karena adanya kesalahan perhitungan ekuitas di awal pembentukan konsorsium dan juga analisis perencanaan yang terlalu optimis.
Jebakan Debt Trap?
Beberapa pihak mengungkapkan dalam kasus proyek kereta cepat ini, Indonesia berpotensi terjebak ke dalam jebakan debt-trap yang kerap dilakukan Tiongkok.
Pada dasarnya debt trap diplomacy (diplomasi jebakan utang) adalah jenis diplomasi yang didasari oleh utang-piutang dalam sebuah hubungan bilateral antarnegara. Diplomasi ini melibatkan suatu negara pemberi utang yang secara sengaja memperpanjang kredit berlebihan ke negara penerima utang.
Terkait hal ini, hasil riset yang dikeluarkan lembaga think tank asal Amerika Serikat (AS), C4ADS menyimpulkan bahwa proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok hampir di semua negara, tidak didorong oleh kesepakatan ekonomi saling menguntungkan bagi rakyat di negara penerima proyek.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara Barat bahkan menuduh proyek infrastuktur Tiongkok dibawah BRI sebagai upaya neo-kolonial karena praktik diplomasi jebakan utang yang digunakan Tiongkok untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur tersebut.
Salah satu negara yang dinilai sudah masuk kedalam perangkap debt trap adalah Sri Lanka. Seperti yang diketahui negara tersebut gagal dalam membayar pinjamannya terhadap Tiongkok dalam pembangunan proyek Pelabuhan Hambantita senilai $1,3 miliar. Alhasil, mereka harus merelakan pengelolaan pelabuhan terbesar milik negara selama 99 tahun kepada Tiongkok sebagai kompensasi pelunasan utang.
Tidak hanya Sri Lanka, dikutip dari laporan Foreign Policy ada belasan negara lain yang juga telah terperangkap jebakan debt trap dari negara tirai bambu ini diantaranya seperti, Kenya, Maladewa dan Uganda dengan skema yang nyaris sama.
ADVERTISEMENT
Belajar dari beberapa kasus diatas, pemerintah seharusnya bisa lebih waspada terkait kemungkinan ini, Terlebih beberapa pengamat mengungkapkan dalam kasus proyek kereta cepat ini, Indonesia berpotensi terjebak ke dalam debt-trap diplomacy yang kerap dilakukan Tiongkok.
Keputusan pemerintah baru-baru ini dengan mengeluarkan Perpres Nomor 93 tahun 2021 yang mengatur bahwa proyek kereta cepat ini akan mendapat suntikan dana dari APBN dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) ditambah penjaminan utang kepada BUMN yang memimpin konsorsium.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan apa yang diatur dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015 pada mulanya proyek ini dijanjikan akan sepenuhnya berorientasi pada skema business to business atau tidak melibatkan pembiayaan dari negara sama sekali.
Ditambah laporan dari lembaga riset AidData menyebutkan bahwa Indonesia menerima pinjaman sebesar US$4,42 miliar dari China melalui skema Bantuan Pembangunan Resmi, dan US$29,96 miliar melalui skema aliran resmi lainnya. Melihat adanya laporan ini tentu tidak dapat menyangkal bahwa terdapat kekhawatiran bahwa Indonesia akan jatuh ke dalam lubang debt trap Tiongkok
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana langkah kedepannya?
Kedepannya pemerintah Indonesia harus lebih tegas dalam melakukan kesepakatan negosiasi dengan Tiongkok. Dan banyak belajar dari negara lain. Penguatan dalam proses diplomasi dan perencanaan proyek secara matang bisa menjadi kunci untuk meminimalisir hal terburuk seperti ini terjadi.
Dalam proyek kereta cepat ini, jika kedepannya dianggap akan lebih banyak menimbulkan kerugian bagi Indonesia, pemerintah harus mengikuti langkah dari Malaysia yang bisa melakukan perjanjian ulang dengan Tiongkok. Hal ini dilakukan oleh Malaysia untuk menghindari penalti dari Tiongkok sebesar US$ 5 miliar dari biaya penghentian proyek serupa.
Pada akhirnya, pemerintah harus mempunyai standing position yang jelas dalam proyek ini, jika tidak, bukan tak mungkin kekhawatiran akan jatuhnya Indonesia ke dalam perangkap debt trap Tiongkok bukan tidak mungkin akan terjadi.
ADVERTISEMENT