Meminimalisir Peran DPR dalam Rekrutmen Anggota KPU

Alfitra Akbar
Public Policy Analist - Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
8 Februari 2021 6:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfitra Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kendaraan melintas di dekat papan sosialisasi pemilu 2019. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan melintas di dekat papan sosialisasi pemilu 2019. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembahasan mengenai revisi Rancangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR-RI pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Dalam draft rancangan RUU Pemilu yang sedang dibahas oleh DPR saat ini, terdapat salah satu pasal kontroversial yang memungkinkan anggota partai politik (parpol) bisa menjadi komisioner KPU.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 16 ayat 7. Pasal itu menyebutkan bahwa komposisi anggota KPU, KPU provinsi, hingga kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan partai politik.
Berikut isi Pasal 16 ayat 7 Draft Usulan RUU Pemilu:
(7) “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan Partai Politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.”
Draft usulan pasal tersebut jelas bertentangan dengan aturan dalam RUU Pemilu yang berlaku saat ini, yaitu:
“Calon Anggota KPU harus memenuhi berbagai syarat yang telah tertulis dalam Undang-undang di antaranya telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik paling singkat 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon.”
ADVERTISEMENT
Perubahan pasal terkait keterwakilan parpol dalam keanggotaan KPU dinilai sangat mencederai proses independensi dari sistem kelembagaan penyelenggaraan pemilu. Hal ini juga akan membuat demokrasi di Indonesia mundur beberapa langkah ke belakang.
Keberadaan pasal tersebut dinilai problematis. Pertama, pasal ini berpotensi melanggar konstitusi. Kedua, pasal ini bertentangan dengan prinsip independensi dan kemandirian KPU.
Terkait dengan poin pertama, keberadaan pasal ini jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 81/PUU-IX/2011. Putusan MK yang telah ada saat ini sudah memberi batasan yang jelas mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi anggota KPU.
Putusan ini menutup kesempatan anggota parpol untuk menjadi calon anggota KPU atau anggota Bawaslu. Jika hendak menjadi penyelenggara pemilu, mereka diharuskan mundur dari parpol sekurang-kurangnya lima tahun saat pendaftaran.
ADVERTISEMENT
Kedua bahwa keberadaan unsur parpol bisa mengganggu independensi KPU dalam menyelenggarakan pemilu.

Peraturan mengenai rekrutmen anggota KPU yang berlaku saat ini

Anggota KPU sendiri dipilih melalui proses seleksi terbuka untuk publik. Rekrutmen atau seleksi anggota KPU dilakukan oleh sebuah tim seleksi independen yang dibentuk oleh Presiden yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat
Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan.
Tim seleksi bertugas membantu Presiden untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR. Tim seleksi sendiri terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.
Tim seleksi dalam melaksanakan tugasnya secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Tim seleksi juga dapat dibantu oleh atau berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kompetensi pada bidang yang diperlukan.
ADVERTISEMENT
Tim seleksi sendiri melaksanakan sejumlah tahapan seleksi yakni pengumuman seleksi, seleksi administrasi, seleksi psikologis, seleksi wawancara, dan sebagainya, yang berpedoman pada UU Pemilu yang berlaku. Dalam proses ini, tim seleksi juga menerima tanggapan dan masukan dari masyarakat.
Sebanyak 14 calon anggota KPU yang dihasilkan tim seleksi selanjutnya diajukan kepada Presiden untuk kemudian diteruskan kepada DPR yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit n proper test) untuk kemudian dipilih 7 orang anggota KPU,ketujuh orang anggota KPU yang dipilih oleh DPR ini kemudian disahkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden.

Lalu, apa yang harus diperbaiki?

Kembali ke soal rekrutmen calon anggota KPU, aturan yang ada selama ini sebenarnya telah mengarah pada penyelenggaraan pemilu yang independen dan sesuai dengan prinsip dasar pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (5) UUD RI.
ADVERTISEMENT
Jikalau ada yang perlu direvisi dari peraturan ini, pun lebih ke arah penyempurnaan dari pasal tersebut saja tanpa harus mengubah substansi bahwa anggota KPU tidak harus independen dan boleh berasal dari partai politik (seperti dalam wacana saat ini).
Harus diakui bahwa pasal yang ada mengenai rekrutmen anggota KPU saat ini, meskipun telah sesuai dengan prinsip penyelenggara pemilu yang independen, namun masih terdapat sedikit celah dalam implementasi pelaksanaanya, seperti kewenangan DPR dalam memilih komisioner KPU melalui skema fit and proper test.
Seharusnya dalam melakukan seleksi rekrutmen calon anggota KPU, Tim Panitia Seleksi yang bersifat independen-lah yang berhak menyeleksi dan memilih secara utuh para calon anggota KPU tanpa harus melibatkan peran dari DPR-RI dalam proses fit and proper test dan proses voting.
ADVERTISEMENT
Idealnya proses rekrutmen tidak dilakukan langsung oleh para anggota DPR. Dikhawatirkan jika pemilihan dilakukan oleh DPR, akan terjadi beberapa kepentingan politik karena para anggota DPR di sana merupakan kepanjangan tangan dari partai politik masing-masing.
Hal tersebut bakal membuka celah tawar-menawar antara kandidat dengan para politisi dan partai yang jadi kontestan dalam pemilu.
Panitia seleksi independen lah yang berhak menyeleksi dan memilih secara utuh para calon anggota KPU ini karena para calon anggota komisioner KPU ini nantinya haruslah memegang prinsip independensi dalam bertugas.
Pemilihan akhir calon komisioner anggota KPU yang dilakukan oleh para anggota DPR yang notabene berasal dari partai politik diyakini akan mencederai prinsip independensi dari lembaga KPU itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Jimly Asshidqie dalam acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas (dilansir dari website resmi MKRI) menilai keterlibatan DPR dalam rekrutmen pejabat publik sebenarnya hanya varian dari fungsi pengawasan yang ditentukan dalam konstitusi.
Hal ini yang menyebabkan DPR tidak fokus melaksanakan tugas pokoknya, legislasi, pengawasan, dan anggaran. Karena itu, keterlibatan DPR dalam rekrutmen jabatan publik juga harus dievaluasi secara menyeluruh, cukup dibatasi hak untuk mengkonfirmasi saja
Seperti yang kita ketahui setiap undang-undang yang memperkenalkan lembaga atau komisi negara baru selalu dikaitkan dengan kewenangan DPR untuk melakukan pemilihan (fit and proper test).
Jimly menjelaskan model praktik di Amerika yakni hak untuk mengkonfirmasi (right to confirm) atas pengangkatan jabatan publik. Namun, di Indonesia, praktik tersebut cenderung berubah menjadi hak untuk memilih (right to select), sehingga cenderung bersifat politik dan teknis.
ADVERTISEMENT