Menyusuri Lautan-Menjelajahi Ndana, Pulau Terluar Paling Selatan Indonesia

Alfonsina Melsasail
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya, menulis dengan gaya penulisan non formal, menceritakan pengalaman yang dialami
Konten dari Pengguna
30 Juli 2023 18:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfonsina Melsasail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar dari galleri pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Gambar dari galleri pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siapa sangka kali pertama aku menginjakkan kaki di NTT (Nusa Tenggara Timur), destinasi pertama yang aku kunjungi adalah pulau terluar dan terselatan Indonesia. Pulau Ndana namanya.
ADVERTISEMENT
Aku yakin teman-teman pasti pernah mendengar tentang pulau-pulau terluar di Indonesia yang tidak berpenduduk. Aku pun pernah mendengarnya. Setahuku ada banyak sekali pulau tak berpenghuni yang ada di negara kita ini.
Namun, untuk mengunjungi dan menjelajahinya, Pulau Ndana adalah pulau terluar pertama yang aku datangi. Pulau ini dijaga marinir TNI Angkata Laut, agar tidak diklaim sebagai pulau milik negara Australia.
Well, awalnya sedikit kaget mendengar cerita dari penduduk lokal yang tinggal di kampung Merah Putih, Oeseli, Pulau Rote—kampung yang letaknya persis di seberang pulau Ndana yang menyediakan akomodasi untuk penyeberangan ke Pulau Ndana.
Foto: Dok. pribadi
Dari judulnya saja, aku yakin teman-teman pasti sudah bisa menebak bagaimana perjalanan menuju ke Pulau Ndana. Teman-teman pasti menebaknya melewati lautan lepas yang susah dan bergelombang kan? Well, tidak salah sama sekali.
ADVERTISEMENT
Menuju Pulau Ndana tentunya melewati beberapa proses penting. Salah satunya kita harus koordinasi dengan satgas penjaga pulau terluar yang pos jaganya terletak persis di kampung Merah Putih, Oeseli.
Tujuannya adalah untuk mendapat rekomendasi waktu yang baik untuk melakukan penyeberangan. Sebab, laut menuju pulau Ndana tidak bisa diprediksi menggunakan alat deteksi waktu, hehehe...
Lalu, kenapa harus berkoordinasi dengan satgas penjaga? Sebab, bapak-bapak tentara ini sudah terbiasa pulang-pergi Pulau Ndana dan Rote. Jadi, sudah lebih mengenal keadaan laut di sana.
Setelah berkoordinasi dan mendapat rekomendasi waktu yang baik untuk pergi, saatnya bertemu dengan ombak, angin, terik matahari, dan air laut. Yups, di sinilah penyusuran lautan di mulai.
Penyeberangan ke Pulau Ndana kurang-lebih 30 menit dari kampung Merah Putih, Oeseli, menggunakan kapal kecil milik nelayan setempat. Selama 30 menit ini merupakan waktu yang cukup untuk menyusuri lautan bergelombang. Untuk teman-teman yang mabuk laut, alangkah baiknya bisa minum obat dulu sebelum naik kapal.
ADVERTISEMENT

Pesona Keindahan Alam Pulau Ndana

Foto dari gallery pribadi
Kalau kata pepatah lama: “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”. Siapa sih yang gak tahu soal pepatah itu? Well, mungkin realisasinya bisa dirasakan saat ke Pulau Ndana bagi yang mabuk laut.
Tenang-tenang walaupun menyusuri lautan berombak dan terombang-ambing kayak hilang harapan gitu, masih bisa dinikmati kok: airnya yang biru, langitnya yang cerah, dan bisa nostalgia ke wahana kora-kora yang ada di dufan. Tapi ini versi nyatanya, hehehe...
Tenang aja teman-teman, pemandangannya sangat luar biasa indah. Jadi akan terbayarkan semua perjuangan menyusuri lautan tadi dengan rasa baru.
Pun setelah mendarat, seperti berjalan di tengah padang pasir namun pasirnya diganti dengan alang-alang dan dilengkapi dengan bunga-bunga ungu muda (sejujurnya akupun tak tau namanya bunga apa) yang bermekaran setiap sekitar 1 meter. Plus kita bisa melihat patung tertinggi Jenderal Sudirman yang biasanya hanya dilihat di internet.
ADVERTISEMENT
Selain menemukan rasa baru, siap-siap dibuat kaget oleh pantainya luar biasa bersih. Air lautnya yang bergradasi, aku sungguh terpesona waktu tiba di sana.
“Waw, ini adalah surga dunia,” seperti itulah jika ekspresiku waktu itu jika diartikan dalam bahasa tulis.

Pulau Tanpa Penduduk

Foto: Dok. Pribadi
“Pulau Ndana itu keramat banget, Kak Foni. Gimana ya, kalau menurut sejarah yang ditutur turun-temurun, awalnya sekitar abad ke-17 yang tinggal pertama kali di Pulau Ndana itu suku Aborogin, orang Australia,” kata Bapak Stefanus, salah satu warga lokal kampung Merah Putih, Oeseli.
“Terus ada dua kali pembantaian. Semua penduduknya dibantai dan akhirnya pulaunya kosong tak penghuni,” lanjutnya.
Pembantaian yang diceritakan oleh Bapak Stefanus rupanya cerita-turun-temurun dari nenek moyang warga lokal setempat tentang awal mula keramatnya Pulau Ndana. Menurut kepercayaan dan budaya masyarakat setempat, hal inilah yang membuat orang tidak mau tinggal di sana.
ADVERTISEMENT
Namun jika dilihat dari beberapa faktor, memang agak susah jika Pulau Ndana ditinggali penduduk. Faktor yang pertama, di Pulau Ndana tidak mudah untuk mendapatkan air bersih. Di sana sangat panas dan kering. Jadi air bersih susah untuk temukan.
Yang kedua, Pulau Ndana berhadapan langsung dengan laut lepas yang mungkin berbahaya jika terjadi stunami dan sebagainya. Ketiga, merupakan pulau terluar yang isu-isunya menjadi pulau rebutan antara Indonesia dan Australia. Hal ini sangat berbahaya jika pulau ini berpenduduk karena akan sangat sulit evakuasinya jika terjadi perang dan semacamnya.

Keunikan dan Mitos Lokal Harus Kita Hormati

Seperti halnya tempat lain di Indonesia, Pulau Ndana mempunyai cerita lokal dan keunikannya sendiri. Menurut pendapatku, apa pun alasan lokal mengenai pulau tidak berpenduduk ini, kita sebagai pendatang sudah sepatutnya menghormati setiap cerita yang ada, menjadikannya bahan belajar, dan tetap menjaga tata laku kita pada saat mengunjunginya
ADVERTISEMENT
Dengan keindahan alam yang menakjubkan, ketengan yang menyelimuti, cerita-cerita yang membuat kaget, Pulau Ndana adalah surga tersembunyi di ujung selatan Indonesia. Memang sedikit membutuhkan perjuangan untuk sampai ke pulau ini. Tetapi keindahan dan pengalaman yang aku dapatkan di sana akan menjadi kenangan seumur hidup.
Aku sangat menikmati keajaiban di Pulau Ndana. Dan aku bersyukur sudah mendapat kesempatan untuk berkunjung, menjelajahi, mendengar ceritanya, dan menyusuri lautan lepas untuk bertemu dengan pulau ini.