Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Marthen Indey, Nasionalis Dari Tanah Papua
11 Januari 2018 12:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Alfredo kway tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu pejuang dari Papua itu bernama Marthen Indey. Mulanya dia merupakan anggota polisi Hindia Belanda yang bertugas untuk mengawasi para pejuang Indonesia yang diasingkan Belanda di Tanah Merah (Digul), Irian Barat.
ADVERTISEMENT
Karena kerap berhubungan dengan para pejuang, rasa nasionalismenya tumbuh. Adalah Soegoro Atmoprasodjo, bekas pemuka Taman Siswa yang menjadi sosok yang cukup memengaruhi Indey dan sejumlah pemuda Papua lainnya, seperti Frans Kaisiepo, Corinus Krey, Lukas Rumkorem, dan Silas Papare.
Tindakan mempekerjakan para pejuang Indonesia yang sebelumnya sempat melarikan diri ke Australia pada masa kependudukan Jepang, jadi keputusan keliru bagi Belanda. Maksud hati ingin meraih kepercayaan rakyat Irian Barat pasca kemerdekaan Indonesia, pemberontakan terhadap mereka malah makin tinggi.
Sebabnya sederhana, Soegoro yang dipercayakan untuk memimpin sebuah Sekolah Bestuur (Pamong Praja) di Kampung Harapan, kenyataannya sering diadakan pertemuan diam-diam dengan para pejuang lokal. Dia menanamkan tentang kemerdekaan dan patriotisme dalam rangka Indonesia merdeka. Soegoro juga melatih para pemuda itu lagu Indonesia Raya.
ADVERTISEMENT
Dari momen inilah Indey berupaya agar tanah kelahirannya itu menjadi bagian dari Indonesia merdeka. Kabar kemerdekaan Indonesia memang didengar Irian Barat belakangan. Mengutip buku berjudul Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare, atas inisiatif dan usaha orang-orang Indonesia dengan mengandalkan pamflet-pamflet yang disebarkan oleh para pejuang yang sudah berada di Australia, informasi itu akhirnya sampai ke kota Merauke. Dari Merauke inilah, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diketahui oleh Indey dan rekan sejawatnya di Irian Barat.
Semenjak menyerap pengetahuan dari Soegoro itulah Indey dikenal sebagai salah satu eksponen yang memperjuangkan Papua untuk merdeka bersama Indonesia. Dia bersama sejumlah pemuda Papua menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap pergolakan yang ada pada masa itu di tanah Papua. Mereka menyebarkan semangat kemerdekaan kepada seluruh masyarakat Irian Barat.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan Terhadap Belanda
Para pejuang di tanah Papua, termasuk Indey, melakukan kontak dan pertemuan. Keberadaan mereka mempengaruhi Batalion Papua yang dibentuk sekutu ketika pendaratan di Papua pada tahun 1944 untuk melawan Jepang. Akhirnya mereka bersama penduduk asli Papua dan Batalion Papua sepakat untuk melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda mulai tanggal 25 Desember 1945.
Ironisnya, pada tanggal 14 Desember 1945, pemerintah kolonial mengendus niat pemberontakan ini. Efeknya terjadi penangkapan di Jayapura terhadap ratusan orang. Sebanyak 250 orang ditangkap, termasuk Indey, Soegoro, dan Silas Papare. Karena dianggap berbahaya ketiganya dijatuhi hukuman penjara.
Penjara tidaklah membuat ketiganya kapok. Mengutip buku yang sama, dari balik jeruji ketiganya kembali merancang pemberontakan pada tanggal 17 Juli 1946, meski lagi-lagi kepergok Belanda sebelum terlaksana. Akibat perbuatan yang berulang dan dianggap dalang, Belanda akhirnya memutuskan untuk memindahkan Indey ke penjara di Serui.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan selanjutnya, Indey dipercaya sebagai Ketua Komite Indonesia Merdeka. Di tempat lain, di Biak, pergolakan juga meningkat. Partai Indonesia Merdeka (PIM) juga didirikan dengan Kaisiepo yang masih jadi Kepala Distrik Buak Utara sebagai salah satu pencetusnya. Baik Komite Indonesia Merdeka ataupun PIM di Biak punya tujuan sama, yakni memberikan penerangan kepada masyarakat tentang tujuan Indonesia merdeka.
Pada tanggal 12 Desember 1946, Indey bersama Corinus Crey, dan Nicolas Youwe mengirimkan telegram kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, HJ Van Mook. Isi telegram menyatakan supaya Irian Barat tidak dipisahkan dari wilayah Indonesia.
Pengiriman telegram ini memang merupakan reaksi Indey atas usaha Belanda untuk memisahkan Irian Barat dari Indonesia lewat Konferensi Denpasar tanggal 20—24 Desember 1946 silam. Tanda-tanda itu karena permintaan para pejuang agar ada wakil dari Irian Barat ditolak Belanda.
ADVERTISEMENT
Peran serta Indey dalam perjuangan menyatukan Irian Barat dengan Indonesia juga terjadi lewat sikapnya yang menentang keras pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) lantaran wilayah Irian Barat tidak dimasukkan di dalamnya. Sebagai kelanjutan atas sikap ini, Indey pergi ke Ambon.
Berdasarkan buku berjudul Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel, diceritakan kalau kepergian Indey ke Ambon adalah untuk melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Maluku yang pro Indonesia. Pada tanggal 25 Februari 1947, dia bertemu dengan Presiden NIT Tjokorde Gde Rake Sukawati yang berkunjung ke Ambon bersama empat menteri. Indey mendesak para pejabat NIT untuk tetap mempertahankan Irian Barat dan menolak kemauan Belanda untuk memisahkan Irian Barat dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
ADVERTISEMENT
Namun malang nasib Indey dan teman seperjuangannya waktu itu. Lagi-lagi mereka ditangkap oleh polisi Belanda dengan alasan yang sama, berbahaya. Dengan kurungan penjara pada Indey ini pemerintah kolonial berharap agar semangat pejuang Papua kendur, tapi itu tak terjadi.
Selamatkan Anggota RPKAD
Lepas dari penjara, perjuangan Indey makin menggila, terutama setelah dirinya tahu pihak Belanda mengingkari perjanjian Komisi Indonesia-Belanda (KMB). Menyambut kedatangan tentara Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) dalam rangka Operasi Trikora, awal tahun 1962 Indey melakukan gerakan bawah tanah bersama para pejuang lainnya.
Walhasil, pada masa Trikora, Indey turut berperan membantu pendaratan pasukan RPKAD di Teluk Tanah Merah pada tanggal 15—16 Agustus 1962 dan melakukan penyelamatan terhadap 9 pasukan dari 15 anggota RPKAD yang terkepung saat melakukan pendaratan. Indey menyembunyikan pasukan RPKAD yang diselamatkan itu ke rumahnya di Dosay dari pertengah Agustus hingga September 1962.
ADVERTISEMENT
Tekanan besar kemudian dihadapi Indey lantaran menyembunyikan pasukan RPKAD itu di rumahnya. Dalam buku Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel yang disusun Soewarsono dkk, dikisahkan pada tanggal 23 Agustus 1962, dua orang inspektur polisi Belanda lengkap dengan kawalan sejumlah agen polisi mendatangi Indey. Tujuannya jelas menangkap tentara Indonesia.
Karena sebelumnya telah mendengar dari siaran radio kalau Perjanjian New York sudah ditandatangani perwakilan Indonesia dan Belanda pada tanggal 15 Agustus 1962, tuntutan perwira polisi Belanda itu ditolak mentah-mentah oleh Indey. Dia menyebut, Belanda sudah tak lagi berkuasa lagi atas Irian Barat. Dia yakin pemerintahan sudah ditangani PBB untuk sementara waktu.
Atas jasa Indey ini, sejumlah anggota pasukan RPKAD akhirnya dapat dipulangkan ke Jakarta, kecuali Tukiman yang tetap ingin bertahan di hutan Sabron-Dosay.
ADVERTISEMENT
Pada bulan September 1962, Indey juga melakukan tugas dari Menteri Luar Negeri Soebandrio untuk mengeluarkan para pejuang yang jadi tahanan, termasuk Sujarwo Tjondronegoro dan KJ Teppy.
Bersama sejumlah pejuang Papua lainnya seperti EY Bonay, Indey juga sempat berangkat ke New York menemui pihak PBB pada bulan Desember 1962. Mereka meminta PBB memperpendek masa kerja UNTEA sehingga Irian Barat dapat segera menjadi bagian dari Republik Indonesia. Setelahnya, mereka juga menyampaikan piagam berisikan ketegasan penduduk Irian Barat ke Jakarta.
Singkat cerita, Papua pun jadi bagian Indonesia. Indey kemudian sempat dipercaya menjadi Residen Kotabaru dan pembantu Gubernur untuk wilayah Kotabaru dua tahun lamanya. Dia juga sempat menjadi anggota MPRS mewakili Irian Barat pada tahun 1963 hingga 1968.
ADVERTISEMENT
Indey meninggal dunia pada 17 Juli 1986. Namun atas jasa-jasanya kepada negara, Marthen Indey dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993 bersama Frans Kaisiepo dan Silas Papare. (*)