Konten dari Pengguna

Pelajaran yang Tak Pernah Diajarkan

ali achmadi
Saat ini sebagai praktisi pendidikan dan Kabid Humas dan Usaha Yayasan Ar Raudloh di Desa Pakis Kec. Tayu Kab. Pati Jateng. Saya juga sebagai staff pengajar di Madrasah Raudlatut Tholibin Pakis Kab. Pati. Saya lulusan S1 Teknik Industri
14 April 2025 15:36 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ali achmadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kegiatan pembelajaran di MTs Raudlatut Tholibin Pakis yang memberi ruang siswa untuk berfikir kritis dengan bertanya nara sumber (foto : dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan pembelajaran di MTs Raudlatut Tholibin Pakis yang memberi ruang siswa untuk berfikir kritis dengan bertanya nara sumber (foto : dokumen pribadi)
"Selama pendidikan belum memerdekakan, maka mimpi seorang tertindas adalah menjadi penindas." Ungkapan Paulo Freire ini menggugah nurani, menyentil wajah pendidikan yang selama ini dibanggakan. Ia mengajak kita bercermin, bukan hanya pada kurikulum dan metode ajar, tetapi pada tujuan sejatinya: apakah pendidikan sungguh membebaskan, atau justru memperpanjang rantai penindasan dalam bentuk yang lebih halus?
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang tidak memerdekakan adalah pendidikan yang melulu menjejali kepala dengan hafalan, angka, dan pengulangan. Ia menjadikan siswa wadah kosong yang harus diisi, bukan manusia merdeka yang layak diajak berpikir. Dalam sistem seperti ini, yang dihargai adalah kepatuhan, bukan keingintahuan; keseragaman, bukan keberagaman pikiran.
Freire menyebutnya sebagai banking education—pendidikan perbankan—di mana guru menjadi pemilik mutlak pengetahuan dan murid hanya penerima pasif. Dalam sistem semacam ini, relasi kuasa sangat kental: yang tahu menguasai yang tidak tahu. Maka wajar bila mereka yang tumbuh dalam sistem seperti itu, saat memiliki kesempatan, memilih menjadi ‘penindas’ berikutnya: guru yang memaksakan, pejabat yang otoriter, atau pengusaha yang menghisap. Karena yang mereka tahu, itulah satu-satunya bentuk kuasa yang pernah mereka alami.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang membebaskan, sebaliknya, adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis, yaitu kesadaran akan posisi diri dalam struktur sosial, dan kemampuan untuk mengubahnya. Murid tidak diajak untuk tunduk, tapi untuk bertanya. Tidak diarahkan untuk berlomba mengalahkan teman, tapi untuk memahami realitas bersama. Pendidikan semacam ini tidak hanya melahirkan lulusan, tapi manusia merdeka.
Di banyak ruang kelas kita hari ini, masih terasa betapa nilai akademik lebih penting dari nilai kemanusiaan. Di ruang-ruang kelas yang sunyi dari tanya, anak-anak duduk dengan punggung tegak dan lidah terjaga. Mereka disuapi angka, rumus, dan dogma, tapi tak pernah diberi ruang untuk bertanya: "Siapa aku? Untuk apa aku belajar semua ini?." Anak dianggap "bodoh" bila tak mampu menghafal, meski ia bisa memecahkan konflik antar teman dengan empati. Sistem ini, diam-diam, memupuk angan untuk jadi "yang berkuasa", bukan karena ingin melayani, tapi karena lelah ditindas. Maka mimpi tertindas pun berubah: bukan untuk mengakhiri penindasan, melainkan untuk bergiliran duduk di kursi penindas.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sejatinya harus menjadi jalan pembebasan. Bukan sekadar alat mobilitas sosial, tetapi proses pemanusiaan manusia. Ia harus menghidupkan kesadaran, bukan sekadar memberikan pekerjaan. Sebab hanya manusia yang sadar, yang tak akan bermimpi menjadi penindas—melainkan menjadi pembebas.
ALI ACHMADI, Kabid Humas dan Usaha Yayasan Ar Raudloh, Perguruan Islam Raudlatut Tholibin Pakis-Pati