Konten dari Pengguna

Pendidikan yang Tak Pernah Selesai: Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025

ali achmadi
Saat ini sebagai praktisi pendidikan dan Kabid Humas dan Usaha Yayasan Ar Raudloh di Desa Pakis Kec. Tayu Kab. Pati Jateng. Saya juga sebagai staff pengajar di Madrasah Raudlatut Tholibin Pakis Kab. Pati. Saya lulusan S1 Teknik Industri
2 Mei 2025 16:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ali achmadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan Pembelajaran di MA Raudlatut Tholibin Pakis-Pati (Sumber : dokemen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Pembelajaran di MA Raudlatut Tholibin Pakis-Pati (Sumber : dokemen pribadi)
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini kembali merenung: ke mana arah pendidikan kita? Pertanyaan itu terus bergema, semakin nyaring ketika kita menengok kembali sejarah panjang perubahan kurikulum yang seolah tiada henti. Dari Kurikulum 1975 hingga Kurikulum Merdeka yang belum tuntas, kini akan dijalankan dengan pendekatan sistem pembelajaran baru yakni deep learning. Setiap generasi siswa seolah menjadi kelinci percobaan dari ambisi-ambisi perubahan yang belum matang, tergesa, atau bahkan sekadar politis.
ADVERTISEMENT
Hari Pendidikan Nasional, adalah sebuah momentum yang semestinya menjadi ruang refleksi, bukan sekadar seremoni. Di tengah segala gegap gempita ucapan selamat, upacara dan lomba-lomba bernuansa akademik, terselip satu pertanyaan penting yang terus bergema di kepala para pendidik, siswa, dan orang tua: ke mana sebenarnya arah pendidikan kita?
Jika kita jujur melihat ke belakang, sejarah pendidikan nasional ibarat buku yang terus diubah judulnya sebelum babnya selesai ditulis. Dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, lalu ke CBSA, KBK 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka, hingga kini Kurikulum Merdeka ++, semuanya datang silih berganti, menyisakan kegamangan lebih dari kejelasan. Dalam rentang waktu 50 tahun, Indonesia telah mengganti sistem kurikulum lebih dari delapan kali. Ironisnya, sebagian besar pergantian tersebut sepertinya tidak melalui evaluasi menyeluruh terhadap implementasi sistem sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sering kali, perubahan kurikulum tampak seperti agenda politis, bukan hasil refleksi pedagogis. Setiap menteri ingin meninggalkan "warisan", setiap periode pemerintahan ingin terlihat membawa "pembaruan". Akibatnya, pendidikan kehilangan arah yang konsisten. Guru dan murid dipaksa beradaptasi dengan metode yang berubah-ubah, sementara pelatihan yang diberikan sering kali terburu-buru dan tak tuntas. Siswa menjadi generasi yang tak pernah menyelesaikan satu sistem, karena sistem itu sendiri tak pernah menyelesaikan dirinya.
Pendidikan adalah proses jangka panjang—ia menanam nilai, membentuk karakter, dan menumbuhkan cara berpikir kritis yang tidak bisa dibentuk dalam sekejap atau satu periode jabatan. Ketika sistem pendidikan terlalu sering dirombak, yang rusak bukan hanya strukturnya, tapi juga semangat dan kestabilan mereka yang ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Kurikulum Merdeka + deep learning, yang saat ini menjadi bintang baru di langit pendidikan Indonesia, membawa harapan akan pendekatan yang lebih fleksibel, berpusat pada siswa, kontekstual dan materi Pelajaran akan disajikan lebih mendalam. Namun harapan itu tidak akan bermakna jika implementasinya terburu-buru, tanpa dukungan nyata terhadap guru, fasilitas, dan kebijakan yang konsisten. Merdeka Belajar bukan hanya slogan—ia menuntut kemerdekaan berpikir, bukan hanya di kalangan siswa, tapi juga dalam cara negara merancang pendidikan.
Di Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, mari kita berhenti sejenak dari euforia perayaan, dan bertanya lebih dalam: apakah kita benar-benar sedang membangun sistem pendidikan, atau sekadar terus mengganti nama dan metode tanpa sempat memahami apa yang sedang kita kerjakan? Apakah kita sedang membentuk manusia yang utuh, atau sekadar menyesuaikan diri dengan tren global tanpa mempertimbangkan jati diri bangsa?
ADVERTISEMENT
Pendidikan tidak butuh perubahan yang terus-menerus tanpa arah. Ia butuh keberlanjutan, evaluasi yang jujur, dan kepercayaan terhadap mereka yang menjalankannya di lapangan: guru dan siswa. Karena pendidikan sejati bukan tentang cepat berubah, tetapi tentang sabar membangun fondasi dan menanam nilai, menyiram, dan memanen hasilnya di waktu yang tepat.
ALI ACHMADI, Kabid Humas & Usaha Yayasan Ar Raudloh, Perguruan Islam Raudlatut Tholibin Pakis-Pati