Konten dari Pengguna

Mengenang Konflik Berdarah Syi'ah Sampang

Ali Fikry
Penulis Lepas dan Pendidik di Satuan Pendidikan Yayasan Al Falah
30 Desember 2022 16:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Fikry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Unjuk Rasa. Foto: Ink Drop/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Unjuk Rasa. Foto: Ink Drop/Shutterstock
ADVERTISEMENT

Prolog

Perselisihan antara kelompok agama di belahan dunia mana pun hingga saat ini masih banyak terjadi dan memicu perdebatan panjang. Dalam Islam sendiri, ada dikotomi perselisihan yang masyhur antara dua kelompok besar, yakni Suni dan Syi’ah. Sejarah menunjukkan bahwa konflik antara keduanya telah memakan banyak korban.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di luar negeri, celakanya konflik berdarah antara dua kelompok itu juga terjadi pada masyarakat kita sendiri. 11 tahun silam tepatnya, di tanah tandus nan gersang yang terkenal dengan julukan “Pulau Garam”, telah terjadi tragedi berdarah dengan banyak korban berjatuhan dari kelompok Syi’ah Sampang.
Sekitar 500 orang melakukan penyerangan terhadap perkampungan Muslim Syi’ah dan membakar rumah ustaz Tajul Muluk. Pesantren beserta seluruh isinya (Al-Qur’an, kitab-kitab pelajaran agama, dan fasilitas belajar santri), dan rumah ibu ustaz Tajul Muluk mengalami perusakan dan pembakaran.
Ini bukan peperangan, ini penindasan. Sebab sejak awal memang tidak ada perlawanan. Syi’ah Sampang sebagai kelompok marginal dan minoritas di tengah kelompok mayoritas Suni Madura yang merasa superior dengan watak keras, memang sangat rentan untuk menerima perlakuan tidak menyenangkan. Ironinya, tidak hanya intimidasi dan kekerasan fisik yang diterima, melainkan ketidakadilan hukum juga dirasakan oleh kelompok Syi’ah Sampang.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, ustaz Tajul Muluk yang semestinya diposisikan sebagai korban atas tragedi tersebut justru dilaporkan atas tuduhan penodaan agama sehingga pada tanggal 12 April 2012, ustaz Tajul ditetapkan sebagai tersangka dan resmi menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Sampang. Dan akhirnya beliau diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampang atas tuduhan Penodaan Agama dengan hukuman dua tahun penjara dan tuduhan memiliki Al-Quran berbeda tanpa bukti di pengadilan.
Terbaru, muncul kabar tentang langkah rekonsiliasi konflik berdarah ini yang menemui titik terang. Kelompok Syi’ah Sampang yang telah diungsikan selama bertahun-tahun ke Rusun Sidoarjo mendapatkan haknya untuk kembali ke kampung halaman secara aman. Tapi alangkah mengejutkan, hak tersebut didapati dengan syarat bersedia baiat menjadi pemeluk Suni.
ADVERTISEMENT
Alangkah ironi dan menyedihkan, negara yang menjunjung tinggi asas keadilan sosial dalam sila ke 5 Pancasila tidak memberikan ruang yang layak bagi keberagaman terutama terhadap minoritas terpinggirkan. Negara melalui institusi pemerintah Kabupaten Sampang justru hadir sebagai fasilitator atas pembaiatan ini. Sungguh solusi yang tidak solutif.

Mayoritas yang Tidak Mengayomi

Tidak dapat dipungkiri wajah toleransi kita saat ini pada praktiknya banyak diwarnai problematika kepentingan sehingga yang awalnya berangkat dari semangat perdamaian, kemudian berubah menjadi kepentingan subjektif individu atau kelompok. Kasus konflik Suni-Syi’ah di Sampang adalah bukti nyata dari hal tersebut. Suni diwakili oleh kelompok ormas Islam terbesar dan ternama di tanah air. Sepak terjangnya sudah sangat banyak dalam merawat kebangsaan dan kerukunan antara umat beragama.
ADVERTISEMENT
Suni sebagai satu dari sekian banyak denominasi yang ada dalam Islam, didapuk sebagai aliran dengan pengikut terbanyak di dunia. Secara umum kelompok Suni—khususnya di Indonesia—terkenal gemar berkampanye dan menjunjung tinggi paham moderat terutama toleransi antara agama. Tapi di kasus ini, sekelompok orang yang mengatasnamakan kelompok Suni justru menampakkan wajah dan sikap intoleran, intimidatif, serta kriminalis ketika dihadapkan dengan kelompok Syi’ah yang pada dasarnya masih merupakan saudara seiman.
Jika pun dianggap menyimpang karena berbeda pandangan, barangkali mereka perlu merujuk kembali banyak ayat tentang cara mengingatkan saudara seiman dan adab berbeda pendapat. Bukan malah memanfaatkan dalil agama apalagi undang-undang negara untuk melegitimasi kekerasan yang dilakukan. Tak ayal, tokoh agama dan negara yang semestinya hadir sebagai penengah justru menampakkan keberpihakan terhadap perusakan dan memberi tambahan luka mendalam melalui persekusi di ruang pengadilan.
ADVERTISEMENT
Dampaknya? Islam yang secara harfiah artinya keselamatan dan kedamaian, malah terlihat semakin mengerikan terutama bagi orang-orang dari agama lain. Islam sebagai agama yang mendominasi di bumi Nusantara ini, hukum dan ajarannya justru seringkali dianggap kejam karena ulah kotor pemeluk agamanya yang selalu merasa superior. Bukannya mengayomi yang minoritas, tapi malah menindas.

Epilog

Kasus konflik berdarah yang melibatkan Syi’ah Sampang memberi kita sudut pandang baru, bahwa ternyata kelompok mayoritas yang gemar menyuarakan tentang moderasi beragama, bisa berbalik menjadi kelompok anarki dan kriminal ketika dihadapkan pada sesama kelompok internal Islam lainnya yang berbeda pandangan. Toleransi yang sering digaung-gaungkan hanya dimanifestasikan pada ritus-ritus ibadah agama lain. Sederhananya, mereka lunak terhadap orang asing, tapi arogan terhadap saudara seiman.
ADVERTISEMENT
Inilah wujud nyata toleransi yang tidak konsisten. Toleransick namanya. Toleransi yang hanya dilakukan atas dasar suka-suka, toleransi yang dikampanyekan dengan kepentingan dan kecenderungan emosional saja. Toleransi kok pilah-pilih. Macam anak kecil saja yang gemar memilah dan memilih teman atau musuh seenaknya.
Sudah selayaknya mental anak bangsa diarahkan agar jauh dari kecenderungan berlaku keras dan kasar. Hal ini bisa diwujudkan jika ditanamkan rasa empati dalam diri setiap orang. Hasilnya, siapa pun akan berpikir dua kali untuk melakukan perundungan apalagi kekerasan.
Sebab dengan kebiasaan berempati, sebelum bertindak dia akan terbiasa membayangkan terlebih dahulu bagaimana jika yang merasakan kekerasan itu adalah dirinya sendiri. Akhirnya, segala bentuk diskriminasi apalagi yang berujung pada hilangnya nyawa seseorang akan lenyap dan tidak lagi kita temukan dalam headline pemberitaan media mana pun. Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT