Konten dari Pengguna

Kritik Tegas terhadap Pemilu 2024 dalam Film 'Dirty Vote'

Muhammad Ali Ashhabul Kahfi
Master Of Politics and International Relations, School of Strategic and Global Studies, University Of Indonesia.
13 Februari 2024 11:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ali Ashhabul Kahfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Film Kontroversial Ungkap Politik Bansos dan Kecurangan Pemilu 2024

Film Dirty Vote. Foto: Dirty Vote
zoom-in-whitePerbesar
Film Dirty Vote. Foto: Dirty Vote
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film dokumenter yang kontroversial berjudul "Dirty Vote" baru-baru ini diluncurkan di saluran YouTube Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia. Film ini, yang disutradarai oleh jurnalis investigatif terkenal Dandhy Dwi Laksono, menghadirkan kritik tajam terhadap proses pemilu di Indonesia pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Dalam durasi hampir dua jam, "Dirty Vote" memperlihatkan pandangan dari tiga ahli hukum tata negara Indonesia: Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Mereka secara terbuka mengungkapkan desain kecurangan yang mereka temui selama pemilu, termasuk ketidaknetralan pejabat publik, potensi kecurangan kepala desa, penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan politik, dan pelanggaran etik oleh lembaga-lembaga negara.
Menurut Zainal Arifin Mochtar, kecurangan dalam pemilu tidak terjadi begitu saja, melainkan hasil dari perencanaan yang terstruktur dan masif oleh pihak-pihak yang berkuasa selama satu dekade terakhir. Bivitri Susanti menambahkan bahwa desain kecurangan pemilu bukanlah hal baru, dan sering kali dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di berbagai negara.
"Dirty Vote" juga mengungkapkan berbagai praktik kecurangan yang dilakukan oleh politisi untuk memenangkan pemilu, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai aksi kecurangan yang tidak pernah ditindak.
ADVERTISEMENT
Dandhy Dwi Laksono, sang sutradara, sebelumnya telah merilis beberapa film yang juga mengkritik proses politik di Indonesia, seperti "Ketujuh" pada 2014, "Jakarta Unfair" menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, dan "Sexy Killers" menjelang Pemilu 2019.
"Dirty Vote" bukan hanya sebuah film dokumenter, namun juga menjadi catatan sejarah tentang tantangan demokrasi di Indonesia. Film ini mengingatkan bahwa pemilu bukan hanya tentang proses demokratis, tetapi juga tentang transparansi, integritas, dan keadilan.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang film "Dirty Vote" dan pandangan para ahli hukum tata negara, Anda dapat menontonnya langsung di saluran YouTube PSHK Indonesia.
Film dokumenter "Dirty Vote" yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono menjadi sorotan karena mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Dalam siaran tertulisnya, Dandhy menyampaikan bahwa film tersebut merupakan upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024. Produksi film ini melibatkan 20 lembaga, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Indonesia Corruption Watch, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Film ini digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis.
ADVERTISEMENT
Dalam film tersebut, ditampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari, yang mengulas desain kecurangan yang mereka temui selama pemilu. Mereka membahas berbagai isu terkait, seperti ketidaknetralan pejabat publik, potensi kecurangan kepala desa, penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan politik, dan pelanggaran etik oleh lembaga-lembaga negara.
Bivitri Susanti, salah satu narasumber dalam film, menjelaskan tentang konsep "politik gentong babi" yang merupakan cara berpolitik yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politik. Dia menyoroti politisasi bantuan sosial (Bansos) menjelang Pemilu 2024, yang menurutnya merupakan upaya untuk mendapatkan dukungan politik.
Sementara itu, respon dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menyebutkan bahwa film "Dirty Vote" bertujuan untuk menurunkan martabat Pemilu 2024. Wakil Ketua TKN Habiburokhman menganggap sebagian besar isi film tersebut berisi asumsi dan narasi kebencian yang tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
Secara analisis, film "Dirty Vote" menjadi salah satu media yang memberikan pandangan kritis terhadap proses pemilu di Indonesia. Dengan menghadirkan pakar hukum tata negara, film ini mengajak masyarakat untuk memahami potensi kecurangan yang mungkin terjadi dalam proses demokrasi. Namun, respon dari TKN Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa film ini juga menjadi bahan perdebatan tentang keberpihakan dan objektivitas penyajian informasi dalam konteks politik.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK) bersama Capres nomor urut 01, Anies Baswedan. Foto: Dok. Istimewa
Dalam konteks yang lebih luas, film "Dirty Vote" menggambarkan pentingnya transparansi, integritas, dan keadilan dalam proses demokrasi. Film ini juga menyoroti peran masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi proses politik agar tetap berjalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.
Pemaparan oleh Bivitri Susanti tentang politik gentong babi memberikan gambaran tentang bagaimana kekuasaan dan uang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi.
ADVERTISEMENT
Namun, respon dari TKN Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa film ini juga menjadi bahan perdebatan politik, di mana pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi politik cenderung melihat film tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini menggarisbawahi pentingnya berbagai perspektif dalam menganalisis suatu informasi, serta kebutuhan untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap informasi yang diterima.
Analisis kritik terhadap Pemilu 2024 berdasarkan film "Dirty Vote" dapat dibagi menjadi beberapa aspek:
1. Politik Bansos: Film ini mengkritik politik Bansos yang dianggap sebagai bentuk politik gentong babi, yaitu penggunaan uang negara untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan anggaran publik untuk kepentingan politik tertentu, yang dapat merugikan demokrasi.
2. Kecurangan Sistematis: Film mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 secara sistematis. Ini menunjukkan bahwa masih ada kelemahan dalam sistem pemilu yang memungkinkan terjadinya manipulasi dan kecurangan. Hal ini menggarisbawahi perlunya reformasi sistem pemilu untuk meningkatkan transparansi dan integritasnya.
ADVERTISEMENT
3. Pemaknaan Demokrasi: Film ini juga mengajak penonton untuk merenungkan makna sebenarnya dari demokrasi. Apakah demokrasi hanya sebatas memilih pemimpin atau lebih dari itu, yaitu sebuah sistem yang berlandaskan pada keadilan, transparansi, dan partisipasi aktif masyarakat.
4. Pendekatan Partisan: Namun, kritik juga mengarahkan bahwa film ini dapat dipandang sebagai alat propaganda politik yang bersifat partisan. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi masyarakat dan mengurangi kepercayaan terhadap proses demokrasi secara keseluruhan.
Dengan demikian, film "Dirty Vote" memberikan kontribusi dalam memunculkan kritik terhadap proses pemilu di Indonesia, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang obyektivitas dan tujuan sebenarnya dari pembuatan film tersebut. Penting bagi masyarakat untuk mengambil sikap kritis terhadap informasi yang disajikan dalam film ini dan untuk mendorong reformasi yang lebih baik dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, film "Dirty Vote" memberikan kontribusi dalam membangun kesadaran politik dan kritisisme terhadap proses demokrasi di Indonesia. Film ini juga mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi dan berpartisipasi dalam proses politik, demi terwujudnya pemilu yang bersih, adil, dan demokratis.