Diaspora dan Politik Kewarganegaraan Kita

Ali Murtado
Warga, tinggal di Doha.
Konten dari Pengguna
1 November 2020 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diaspora dan Politik Kewarganegaraan Kita
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
I am 20 years old and now I am at the point where I am forced to choose my citizenship between Indonesia and German. How is this fair that I am forced to choose whilst I would like to be Indonesian and Germany too? It feels like I am forced to strip the identity I love and proudly say, furthermore it also feels like I have to choose between my parent’s nationality.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan di atas berasal dari Nadia (bukan nama sebenarnya), seorang blasteran Indonesia-Jerman dan sekarang tinggal di salah satu negara Eropa. Dia mengungkapkan kegelisahannya dalam sebuah Webinar untuk memperingati Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh KBRI Doha, Persatuan Masyarakat Indonesia di Qatar (PERMIQA) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Qatar (PPIQ).
Nadia bukan satu-satunya. Ia hanya satu dari mungkin ribuan anak-anak diaspora Indonesia yang tengah menunggu deadline untuk memilih antara mengikuti kewarganegaraan ibunya atau ayahnya. Kita tidak tahu ke mana Nadia akhirnya akan memilih, tapi sebagai informasi setiap tahun, Indonesia harus rela kehilangan ratusan atau mungkin ribuan Nadia-Nadia lain, yang karena pertimbangan satu dan lain hal, akhirnya memilih melepaskan kewarganegaraan Indonesia-nya. Kerugiankah dari sisi human capital? Bisa jadi.
ADVERTISEMENT

Diaspora Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah diaspora terbesar di dunia. Indonesian Diaspora Network (IDN) memperkirakan ada sekitar 8-9 juta diaspora Indonesia yang tersebar di lebih dari 40 negara. Potensi diaspora Indonesia juga sangat besar. Dari sisi bisnis remitansi saja, ada sekurangnya US$40 milliar dana ditransfer masuk ke Indonesia setiap tahun oleh para diaspora Indonesia di luar negeri (2013). Jumlah yang sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat banyak diaspora Indonesia di luar negeri adalah para pekerja profesional.
Diaspora Indonesia di Qatar misalnya, dari sekitar 16 ribu orang Indonesia di Qatar, hampir 11 ribu di antaranya adalah pekerja atau anggota keluarga dari pekerja profesional. Selama puluhan tahun mereka bekerja di perusahaan-perusahaan besar termasuk BUMN di Qatar. Jadi tidak mengherankan jika kontribusi para diaspora Indonesia dalam menggerakkan perekonomian di tanah air cukup besar.
ADVERTISEMENT
Pemerintah bukannya tinggal diam melihat potensi ini. Untuk memberikan kemudahan kepada para diaspora Indonesia, Pemerintah telah menerbitkan Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri atau KMILN. Sebuah langkah yang patut diapresiasi, meski jika dibandingkan dengan negara lain seperti India, para pemegang KMILN belum menikmati fasilitas yang ‘wah’.

Politik Kewarganegaraan

Pada dasarnya politik kewarganegaran kita masih menganut sistem kewarganegaraan tunggal (single nationality). UU Kewarganaegaraan yang baru, UU No. 12 tahun 2006 sebenarnya sudah mulai mengadopsi sistem kewarganegaraan ganda, namun masih sangat ‘terbatas’. UU ini mengatur bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun. Setelah itu, sang anak diberi waktu 3 tahun untuk memilih mengikuti kewarganegaraan salah satu orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Meski dinilai lebih baik dari UU sebelumnya (UU No.62 Tahun 1958), UU Kewarganegaraan baru ini belum menyediakan solusi yang komprehensif bagi masalah-masalah yang kerap dihadapi para diaspora Indonesia ketika berhubungan dengan tanah airnya. Masalah tersebut umumnya terkait dengan hak-hak keperdataan para diaspora yang belum seluruhnya diakui dalam sistem hukum Indonesia.
Pemerintah memang berencana merevisi UU Kewarganegaraan. Namun hingga saat ini proses tersebut masih berjalan lamban. Para pembentuk UU nampaknya sangat ‘hati-hati’ untuk mengadopsi atau setidaknya memperluas konsep dual nationality dalam perubahan UU tersebut.
Kecemasan para pembentuk UU umumnya berpangkal pada satu prasangka: bahwa mereka yang memiliki dual nationality cenderung tidak loyal, tidak nasionalis. Sebuah prasangka yang berlebihan, karena faktanya loyalitas seringkali tidak terkait dengan konsep single nationality atau dual nationality. Sebaliknya, kecemasan berlebihan seperti itu, dalam jangka panjang bukan tidak mungkin malah akan merugikan pembangunan human capital kita.
ADVERTISEMENT

Makna Baru Nasionalisme

Baru saja bangsa Indonesia memperingati hari sumpah pemuda. Dari tahun ke tahun, narasi yang dibangun di hari sumpah pemuda nyaris serupa, yakni pentingnya menjaga persatuan dan menumbuhkan nasionalisme. Tentu tak ada yang salah dengan narasi seperti itu.
Tapi barangkali, ke depan sudah waktunya kita menerjemahkan makna nasionalisme dalam dan untuk kepentingan yang lebih riil. Dalam konteks politik kewarganegaraan misalnya, nasionalisme dan loyalitas harus diejawantahkan melalui penerbitan produk hukum dan kebijakan yang lebih responsif dan adaptif termasuk kepada para diaspora.
Sebagai bangsa, kita perlu bersikap adil. Jangan sampai, kecurigaan kita pada loyalitas dan kadar nasionalisme orang lain menjadikan kita berbuat tidak adil. Jangan sampai pula, purbasangka kita pada sekelompok orang malah membuat kita mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan atau merugikan bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT