Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Elie
11 Oktober 2020 1:43 WIB
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada banyak yang bisa diingat dari tanggal 30 September. Tak seluruhnya soal tragedi, bisa juga tentang harapan, atau barangkali tentang keduanya? Di tanggal ini saya ingin mengenang seseorang yang lolos dari tragedi, kemudian bekerja untuk merawat harapan. Namanya Elie Wiesel.
ADVERTISEMENT
Elie lahir pada tanggal 30 September, 92 tahun lalu, di Romania. Saya agak terlambat ‘mengenalnya’. Baru di tahun 2013, ketika menulis tentang Srebrenica, saya menyimak pidatonya yang menyayat di Holocaust Memorial Museum, Washington (1993).
Ia meminta Bill Clinton yang saat itu duduk di sampingnya untuk menghentikan pertumpahan darah di Bosnia. Bagi saya inilah salah satu pidato terpenting dan paling berpengaruh yang menghentikan pembantaian di Bosnia.
Elie seorang Yahudi. Dia besar dengan iman yang mendalam. Siang hari ia habiskan untuk menghafal Talmud. Sementara di malam hari, ia akan membaca Kabbala, semacam kitab mistis dalam tradisi Yahudi. Meski tidak bisa disebut kaya raya, keluarga besar Elie hidup berkecukupan.
Tapi semuanya mulai berubah ketika pada tahun 1944, tentara Nazi memasuki kampungnya di Sighet. Orang-orang di kampungnya, termasuk keluarganya mulai dikumpulkan dalam ghetto (tempat penampungan sementara) sebelum mereka dipindahkan ke kamp konsentrasi.
ADVERTISEMENT
Elie dan keluarganya dimasukan dalam kamp konsentrasi di Auschwitz pada 1944. Ibu dan adiknya meninggal tidak lama setelah itu. Ia bertahan bersama ayahnya yang ringkih. Di kamp, para penjaga(l) mentato lengan kirinya dengan nomor tahanan A-7713. Sebuah tato ‘kenang-kenangan’ yang akan tetap tertera di lengannya hingga akhir hayatnya.
Elie menulis malam-malam jahanam yang dilaluinya di Auschwitz dalam novel berjudul ‘Night’. Yayasan Obor kemudian menerjemahkan dan menerbitkan novel ini dengan judul ‘Malam’. Mochtar Lubis dalam kata pengantar novel ini menulis bahwa penerbitan novel Elie adalah ikhtiar untuk menjaga manusia tetap bersikap manusiawi.
Novel ini bukan bacaan yang nyaman untuk dibaca. Bayangan kengerian di kamp konsentrasi benar-benar seperti nyata. Bahasa Elie yang sederhana dan mengalir, membuat kata-katanya seperti terekam secara verbatim dalam kepala saya.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ini: tahanan yang diangkut dalam gerbong-gerbong seperti hewan ternak. Seorang ibu yang meraung-raung berhalusinasi melihat lidah api. Sementara anaknya, 10 tahun, memeluk menenangkannya.
Kengerian tak berhenti. Tiga orang (dua orang dewasa dan satu anak kecil) menghadapi hukuman gantung. Dua orang dewasa langsung mati begitu kursi dilepaskan dan tali gantungan mencekik leher mereka. Sementara sang bocah, akibat beratnya yang tak seberapa, harus menggeliat di tiang gantungan selama setengah jam, sebelum akhirnya malaikat maut memeluk dan mengambilnya.
Membacanya saya tercekat dan mual. Bagaimana mungkin karnaval kengerian seperti ini terjadi begitu telanjang dan berulang. Setelah Auschwitz, kita memang berteriak ‘Never Again’, tapi teriakan itu tak cukup. Kengerian terjadi (lagi) di Srebrenica, di Rwanda, di Kamboja, dan mungkin di beberapa tempat yang tak jauh dari kita.
ADVERTISEMENT
Mengapa parade kengerian itu berulang? Banyak penjelasannya. Para sarjana berdebat tentang soal politik, ekonomi, strategis dan sebagainya. Tapi bagi saya, ada satu jawabnya yang mungkin akan meringkas semuanya. Kengerian-kengerian itu muncul dan beranak-pinak karena kita begitu telaten memelihara kebencian.
Tentu kebencian bisa berasal dari mana-mana. Tapi ini yang paling berbahaya: Dari kepercayaan bahwa hanya kelompoknya lah yang paling unggul, paling benar, paling supreme, sementara kelompok lain adalah sampah yang harus dimusnahkan. Bahan bakar ini akan semakin sempurna ketika bergabung dengan sikap kita yang apatis dan ignorant terhadap kekejian yang terjadi.
Kembali ke soal Elie. Ia akhirnya selamat. Sementara ayahnya meninggal di kamp hanya dua minggu sebelum pasukan Soviet datang. Separuh hidup Elie adalah tragedi, tapi yang termanis adalah ketika bebas, Elie bukan sibuk menabur kebencian dan dendam. Ia justru tenggelam dalam kerja memaafkan. Dia membangun museum untuk merawat ingatan. Barangkali karena ia tahu, tanpa ingatan yang panjang, tidak akan ada masa depan.
ADVERTISEMENT
Elie wafat empat tahun lalu. Holocaust juga sudah berlalu ¾ abad yang lampau, tapi pesan Elie seperti terus mengabadi. Hati-hati dengan kebencian. Ia memusnahkan segalanya, seluruhnya...