Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Garuda Muda di Tanah Gurun
29 Maret 2021 3:14 WIB
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita barangkali masih ingat nama Andre Syahputra. Anak muda kelahiran Lhoksumawe tersebut menuai polemik akibat keputusannya yang lebih memilih memperkuat Timnas Qatar ketimbang Timnas Indonesia. Keputusan Andre saat itu disikapi beragam oleh supporter dan otoritas sepakbola di tanah air. Perdebatan mengemuka dari mulai soal pembinaan, kebebasan memilih sampai soal kadar nasionalisme pemain. Saking panasnya, Timnas Qatar bahkan sampai batal memboyong Andre ke Jakarta saat negara tersebut mengikuti ajang Piala Asia U-19 yang digelar di Jakarta pada 2018.
ADVERTISEMENT
Peran Diaspora Indonesia
Diaspora Indonesia di Qatar sangat unik. Berbeda dengan diaspora Indonesia di negara Timur Tengah lain, kebanyakan diaspora Indonesia di Qatar adalah para pekerja professional yang telah menetap bersama keluarganya selama puluhan tahun. Sebagian dari mereka bahkan ada yang sudah memasuki 2nd generation. Anak-anak mereka lahir di Qatar dan lebih fasih berbicara bahasa Inggris atau Arab ketimbang bahasa Indonesia. Ali Rachman adalah salah satunya. Ali adalah teman satu klub Andre di Gharafa FC. Ali lahir di Qatar. Ayahnya adalah seorang profesional yang bekerja di salah satu perusahaan migas di Qatar.
Bakat Ali telah terpantau sejak masih anak-anak. Adalah Muhammad Yunus Bani dan Dr. Soebekti Rachmat yang pertama-tama mendeteksi bakat Ali Rachman dan Andre Syahputra. Yunus Bani adalah sahabat dari Fakhri Husaeni, arsitek Timnas U-19, yang memilih bekerja di perusahaan migas walaupun sejak kecil passion-nya adalah bermain sepakbola. Sementara Dr. Soebekti Rachmat adalah seorang dokter Indonesia yang bekerja di perusahaan di Qatar, dan giat menggelar turnamen sepakbola usia dini di Qatar. Dr. Rachmat juga memimpin Indonesia Football Association in Qatar (IFQ), sebuah asosiasi sepakbola yang diakui keberadaannya oleh Qatar Football Association (QFA) atau PSSI-nya Qatar.
ADVERTISEMENT
Peran diaspora Indonesia tersebut sangat besar dalam membina dan melatih anak-anak Indonesia di Qatar. Selain itu, karena IFQ merupakan lembaga resmi, mereka juga mendapat akses langsung kepada klub atau pelatih profesional di Qatar. Dengan jaringan yang dimiliki, tidak jarang mereka diminta merekomendasikan anak-anak Indonesia yang berbakat untuk diseleksi oleh klub-klub sepakbola professional di Qatar.
Komplikasi Kewarganegaraan
Kontroversi Andre Syahputra yang memilih membela Timnas Qatar, merembet pula pada masalah kewarganegaraan. Kita tahu, Indonesia tidak mengakui konsep dual citizenship atau dwikewarganegaraan. Dengan alasan tersebut, publik sering menganggap bahwa dengan seorang pemain menerima paspor kebangsaan asing, maka otomatis pemain tersebut mendapat kewarganegaraan dari negara tersebut, dan konsekuensinya ia harus melepaskan kewarganegaraan Indonesia-nya
Padahal, faktanya tidak sesederhana itu. Di Qatar misalnya, pemerintah negara ini, dapat dan lazim memberikan dokumen perjalanan (sejenis paspor) kepada pemain tanpa otomatis memberikan kewarganegaraan kepada yang bersangkutan. Perlu diketahui, dengan peraturan yang ada sekarang, hampir mustahil bagi seorang WNA di Qatar dapat menjadi warga negara Qatar (Qatari). Dokumen perjalanan yang diberikan tersebut hanya sebatas untuk mengikuti pertandingan internasional. Jadi, dokumen perjalanan tersebut akan kembali disimpan oleh manajemen begitu pertandingan berakhir.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dokumen perjalanan seperti itu diakui oleh otoritas olahraga internasional seperti AFC atau FIFA. Maka seorang pemain dari negara asing, sepanjang dia dibekali dokumen tersebut, ia akan diperkenankan membela negara yang mengeluarkan dokumen tersebut.
Ketentuan seperti ini meskipun valid namun rentan menimbulkan komplikasi di sisi Indonesia. Salah satunya adalah apakah dengan diterimanya dokumen sejenis paspr tersebut, seorang WNI akan otomatis kehilangan kewarganegaraannya. Pertanyaan lanjutannya: jika suatu saat Pemain tersebut tidak lagi dibutuhkan oleh Timnas Qatar dan dokumen tersebut dicabut oleh Pemerintah Qatar, apakah dengan sendirinya si pemain menjadi tidak berkewarganegaraan atau stateless?
Dalam konteks WNI di Qatar, jawaban atas pertanyaan seperti itu sangat relevan untuk segera dijawab mengingat banyak WNI di Qatar yang berkecimpung di dunia olahraga dan berpotensi mendapatkan dokumen perjalanan sejenis paspor tadi. Langkah Pemerintah Qatar memberikan dokumen perjalanan tersebut boleh dibilang wajar karena selain dibenarkan oleh badan olahraga dunia, juga karena faktanya mereka telah berinvestasi sangat besar dalam membina anak-anak tersebut. Bayangkan saja, seorang anak WNI yang pernah menjadi atlet balap sepeda di Qatar, ia menerima dokter dan ahli gizi pribadi selain uang saku setiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Langkah ke Depan
Hal yang menimpa Andre Syahputra sangat mungkin akan terjadi lagi ke depan. Apalagi Qatar merupakan salahsatu negara dengan fasilitas dan sistem pembinaan olahraga terbaik di dunia. Jadi pertama, sekiranya terjadi hal serupa, otoritas olahraga di Indonesia tidak perlu reaktif menyikapinya. Di dunia olahraga, seorang atlet memperkuat negara lain adalah hal yang wajar. Seperti halnya Rexy Mainaky atau Hendrawan yang memilih melatih Thailand atau Malaysia.
Kedua, UU Keimigrasian dan Kewarganegaraan kita harus mengantisipasi penerbitan dokumen ‘sejenis’ paspor olah negara lain. Seyogyanya, mereka yang menerima dokumen tersebut, tidak serta merta harus kehilangan ke-WNI-anya, karena memang dokumen tersebut bukan paspor dalam arti sesungguhnya.
Ketiga, dalam konteks Qatar, olahraga sudah seperti industri. Negara ini telah berinvestasi milyaran dolar di olahraga. Bukan hanya untuk membangun infrastruktur olahraga-nya (hardware) tetapi juga untuk membenahi tatakelola-nya (software).
ADVERTISEMENT
Para atlet Indonesia di Qatar tersebut, jelas memiliki cinta yang besar terhadap tanah airnya. Namun, mereka juga kadang dihadapkan pada komplikasi teknis seperti dalam soal dokumen perjalanan di atas. Maka, daripada menuduh para atlet tersebut sebagai tidak nasionalis, barangkali bekerjasama dan berkolaborasi dengan Qatar dalam pembinaan olahraga adalah pilihan yang lebih masuk akal, demi prestasi olahraga Indonesia yang lebih baik.