Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ibu Kota Baru, Berkaca dari Putrajaya
1 Mei 2019 8:18 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo berencana memindahkan ibu kota negara. Situs berita kumparan.com pada Selasa (30/4) melaporkan bahwa dari tiga alternatif yang disorongkan oleh Kementerian Bappenas, Presiden memilih alternatif untuk memindahkan ibu kota negara ke luar Jawa.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini tampaknya bukan sekadar basa-basi. Menteri Bappenas menyampaikan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti keputusan Presiden tersebut melalui Rapat Terbatas (ratas) berikutnya.
Sejatinya, ide pemindahan ibu kota bukan hal yang baru baik bagi Indonesia, maupun bagi negara-negara lain di dunia. Indonesia misalnya, pernah memindahkan ibu kotanya ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi karena ancaman agresi Belanda. Di dunia, banyak juga negara-negara yang sukses memindahkan ibu kotanya ke tempat yang baru, seperti Malaysia, Brazil, Myanmar, dan Rusia.
Dalam laporan Bappenas, salah satu negara yang dinilai berhasil dalam memindahkan ibu kotanya adalah Malaysia. Sebagai orang yang pernah lama bermukim di Negeri Jiran tersebut, saya ingin membagi cerita tentang beberapa hal yang membuat Malaysia berhasil membangun ibu kota baru tersebut. Tentu saja cerita ini adalah pandangan pribadi, berdasarkan apa yang saya jumpai di sana.
ADVERTISEMENT
Kemauan Politik yang Kuat
Ketika PM Mahathir melontarkan ide pemindahan ibu kota pada sekitar tahun 1986, ia dikritik bertubi-tubi oleh koalisi partai pembangkang (oposisi). Para pengkritiknya menganggap ide pemindahan ibu kota adalah hal yang sia-sia, tidak efesien, dan cenderung menghamburkan keuangan negara.
Kritik didengar, namun Mahathir tetap melaju dengan visi dan cita-citanya. Ia bergeming dan kukuh untuk memindahkan Ibu Kota Malaysia ke tempat yang baru karena Kuala Lumpur dianggap sudah tidak ideal menjadi ibu kota negara. Setelah melakukan negosiasi yang panjang dan melelahkan, pada tahun 1993, Mahathir memperoleh persetujuan Parlemen Malaysia untuk memindahkan ibu kota (administrasi) negara tersebut.
Jadi, kemauan politik adalah kunci. Tanpa kemauan dan komitmen politik, ide pemindahan ibu kota akan berhenti sebagai wacana. Dalam konteks Malaysia, kemauan politik yang kuat telah membuat pemerintah negara tersebut mampu menghadapi berbagai rintangan dalam pembangunan Putrajaya, termasuk ketika negara tersebut dihantam krisis ekonomi 1997 yang nyaris meluluhlantakkan mega proyek tersebut.
Mulai dengan Kerja Teknis
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disinggung di atas, PM Mahathir, yang notabene saat itu memiliki suara mayoritas di Parlemen Malaysia, tetap tidak luput dari sasaran kritik partai oposisi. Namun sementara negosiasi politik berjalan, mesin-mesin teknis tetap harus bekerja menyiapkan rancang bangun ibu kota baru.
Saya pernah menemani seorang Guru Besar Teknik dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) berkunjung ke Putrajaya. Dia bercerita bahwa pada awal tahun 1990-an, ia dan banyak koleganya sesama insinyur dari Indonesia diundang ke Malaysia untuk menyiapkan desain Putrajaya.
Padahal, pada masa itu, persetujuan politik belum 100 persen diperoleh. Tentu Guru Besar itu tidak sedang menyarankan untuk mengabaikan negosiasi politik, tapi pesannya jelas bahwa wacana pemindahan ibu kota sering kali tenggelam dalam kebisingan debat politik yang ujung-ujungnya membuat ide besar tersebut menguap.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika kita menyaksikan Putrajaya yang demikian indah sekarang, maka itu tidak terlepas dari tangan-tangan teknisi kreatif yang secara tekun menyiapkan rancang bangun ibu kota baru tersebut, tanpa terpengaruh hiruk pikuk politik.
Bukan Pesaing Ibu Kota Lama
Ketika Putrajaya dibangun, Malaysia tidak berpikir ingin memindahkan seluruh ibu kotanya ke Putrajaya. Putrajaya hanya didesain sebagai ibu kota administratif, di mana pemerintahan Malaysia akan dikendalikan dari sana. Sementara untuk pusat aktivitas bisnis dan keuangan tetap berada di Kuala Lumpur.
Bahkan untuk gedung pemerintahan pun, hingga saat ini, tidak semua dipindahkan ke Putrajaya. Istana Raja Malaysia (Yang Di-Pertuan Agung), Gedung Dewan Rakyat (semacam Dewan Perwakilan Rakyat), Gedung Kementerian Pertahanan bahkan sebagian besar kedutaan besar negara asing (termasuk Kedutaan Besar Indonesia) adalah di antara perkantoran yang tetap berada di Kuala Lumpur.
ADVERTISEMENT
Dengan konsep seperti itu, maka kekhawatiran bahwa pemindahan ibu kota akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Malaysia dengan sendirinya menjadi terbantahkan. Sebaliknya, pemindahan ibu kota dapat menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di sepanjang kawasan Lembah Klang (Klang Valley). Selain itu, dengan hanya memindahkan pusat pemerintahan, maka biaya untuk pemindahan ibu kota baru tersebut juga dapat ditekan.
Software Ibu Kota Baru
Ketika Putrajaya selesai dibangun pada tahun 1999, Malaysia sudah menyiapkan bagaimana kota ini akan dikelola ke depan. Malaysia memasukan Putrajaya dalam satu dari tiga wilayah persekutuan (Federal Territories) di samping Kuala Lumpur dan Labuan. Malaysia juga membentuk Kementerian khusus yang disebut Kementerian Wilayah Persekutuan untuk mengelola tiga wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari wilayah persekutuan, Putrajaya memiliki berbagai keistimewaan yang menyebabkan segala keputusan dan kebijakan yang dibuat di kota ini dapat dilakukan dan diimplementasikan secara efisien dan efektif. Sebagai catatan, Putrajaya bahkan tidak memiliki Dewan Undangan Negeri (semacam DPRD di Indonesia).
Tentu tidak semua yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia dapat dan harus ditiru di Indonesia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah, jika pemerintah serius dengan wacana pemindahan ibu kota ini, maka penting bagi pemerintah bukan hanya untuk menyiapkan hardware (infrastruktur) dari kota tersebut, tetapi juga memastikan bahwa software (tata kelola) kota tersebut telah tersedia dengan baik.
Pilihan Lokasi yang Strategis
Tidak seperti Brazil yang memindahkan ibu kotanya dari Rio de Jeneiro ke Brasilia di tepi Hutan Amazon, Malaysia hanya 'menggeser' ibu kota administratifnya tersebut ke Putrajaya yang berjarak tidak lebih dari 60 kilometer dari Kuala Lumpur. Pilihan tersebut tentu setelah mempertimbangkan banyak hal dari mulai ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan (termasuk aman dari bencana) dan tidak kalah pentingnya adalah aspek politis.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah ibu kota (administrasi), Putrajaya memiliki standar yang tinggi, bukan hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga dari sisi keamanan. Jalan-jalan lebar dan kuat yang dirancang dapat menjadi pendaratan darurat, mudah kita jumpai di Putrajaya. Begitu pun dengan lorong-lorong rahasia telah disiapkan, untuk sewaktu-waktu dapat digunakan ketika ada evakuasi darurat.
Selain itu, di luar fungsinya sebagai ibu kota administrasi, Putrajaya juga memiliki fungsi ‘tidak langsung’ lain yakni sebagai objek wisata. Letaknya yang strategis dan berdekatan dengan Bandara Internasional Kuala Lumpur membuat para turis yang berkunjung ke Malaysia tidak berpikir dua kali untuk menyempatkan singgah di Putrajaya dalam perjalanan pulang ke negara masing-masing.
Penutup
Ide pemindahan ibu kota, seyogyanya tidak hanya diletakan sekedar sebagai pemindahan gedung-gedung fisik. Pemindahan ibu kota harus diletakan dalam konteks yang lebih luas yaitu memindahkan mindset atau cara pikir melihat Indonesia yang demikian luas dan beragam.
ADVERTISEMENT
Debat panjang tentu akan terjadi, termasuk dan terutama dalam menentukan lokasi baru ibu kota. Namun, bagi saya, pemilihan dan penentuan lokasi tersebut, tidak seharusnya dilihat sebagai rivalitas antar daerah.
Sebaliknya, pemindahan ibu kota tersebut harus dilihat sebagai upaya memperkuat ikatan kebangsaan seluruh anak bangsa, termasuk dari mereka yang memiliki pandangan politik berbeda.