Menengok Kembali 'Khazanah Intelektual Islam'

Ali Murtado
Warga, tinggal di Doha.
Konten dari Pengguna
8 April 2019 8:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bayt al-Hikma (House of Wisdom) pada masa Harun Al Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Perpustakaan dan laboratorium tersebut dibangun sebagai simbol kecintaan umat Islam pada ilmu pengetahuan (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bayt al-Hikma (House of Wisdom) pada masa Harun Al Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Perpustakaan dan laboratorium tersebut dibangun sebagai simbol kecintaan umat Islam pada ilmu pengetahuan (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Dua minggu lalu, saya menghadiri diskusi buku yang diselenggarakan Nurcholish Madjid Society (NCMS). Saya merasa perlu menyempatkan diri menghadiri acara tersebut karena buku yang akan dibahas, Khazanah Intelektual Islam, kebetulan memiliki makna tersendiri bagi saya.
ADVERTISEMENT
Saya membaca buku karya Nurcholish Madjid atau Cak Nur tersebut ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Harus diakui, buku ini banyak membentuk dan memengaruhi paham keberagamaan saya di kemudian hari.
Acara diskusi buku malam itu dipenuhi oleh para pengagum sekaligus pengkritik Cak Nur. Para pembicara yang hadir pun tidak main-main.
Sebut saja Ignas Kleden, sosiolog kawakan yang pertama saya kenal lewat tulisan-tulisannya di jurnal legendaris Prisma; kemudian ada Ulil Abshar Abdalla, aktivis muda Nahdlatul Ulama yang lebih suka menyebut dirinya sebagai pengampu pengajian Ihya; dan terakhir ada Muhammad Wahyuni Nafis, anak ideologis Cak Nur yang saat ini dipercaya memimpin NMS.

Khazanah Intelektual Islam dan Pesan Etis Sejarah

Buku Khazanah Intelektual Islam berisi kumpulan (antologi) pemikiran para pemikir muslim dari masa klasik hingga modern. Ada 10 tokoh yang dimuat dalam buku ini, mulai dari Al Kindi, Al Asy’ari, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Al Afghani, sampai Mohammad Abduh.
ADVERTISEMENT
Tokoh yang disebut terakhir adalah pemikir kenamaan Mesir, yang bersama Muhammad Rasyid Ridha menyusun tafsir Al Manar. Abduh terkenal di jagat intelektualisme Islam sebagai orang yang sangat mendorong gagasan rasionalisme gaya baru.
Meskipun buku ini ‘hanya’ berisi antologi pemikiran dari tokoh-tokoh besar tersebut, Cak Nur menuliskan sendiri sari-sari pemikirannya dalam bagian Pendahuluan yang cukup panjang (80 halaman). Cak Nur memaparkan pemikirannya bahwa sejarah perkembangan Islam tidak mungkin lepas dari ide-ide inovatif dan progresif para tokoh intelektual di zamannya.
Berbagai produk tajdid (pembaharuan) tadi telah berkontribusi besar dalam membentuk dan menyelamatkan peradaban Islam, sejak awal Islam ditinggal wafat oleh Nabi Muhammad Saw hingga sekarang.
Cak Nur misalnya menyebut nama Umar bin Khattab sebagai generasi awal pembaharu Islam. Bagi Cak Nur, khalifah kedua ini adalah tokoh progresif yang berjasa besar dalam menentukan sejarah Islam.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh tindakan Umar yang progresif dan sepintas seperti bertentangan atau tidak sejalan dengan Kitab Suci dan Percontohan Nabi (Sunnah) adalah kebijakannya untuk tidak membagikan tanah-tanah pertanian di Syria dan Irak yang saat itu baru ditaklukkan kepada tentara muslim.
Alih-alih memberikannya kepada para tentara muslim yang menang perang tersebut, Umar malah membagikannya kepada para petani kecil setempat sekalipun bukan atau belum muslim (Madjid:5). Kebijakan ini menuai protes keras, salah satunya dari Bilal, mu’adzin kesayangan Nabi, yang menuduh Umar telah menyimpang.
Umar berani mengambil risiko dan berpolemik dengan para sahabatnya sendiri, karena bagi Umar, beriman kepada Alquran dan Sunnah tidak cukup dengan teks, tetapi harus mampu menangkap pesan etis dibalik teks tersebut.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pemimpin Islam menerima delegasi luar yang berbeda kepercayaan. Ilmu pengetahuan dan kesediaan berinteraksi dengan dunia luar adalah kunci kemajuan umat Islam di masa klasik (sumber: pinterest.com)

Akal dan Ilmu Pengetahuan

Hal lain yang menurut saya menarik dan juga dibahas dalam acara diskusi buku di atas adalah pentingnya mengembalikan budaya rasio dan kecintaan pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Budaya ini makin hari seperti semakin hilang, padahal akal dan ilmu pengetahuan adalah kunci yang pernah membesarkan peradaban Islam.
Kita, misalnya, pernah mengenal istilah mu’tazilah atau paham yang sangat mendorong penggunaan rasio atau akal dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak orang yang salah paham bahwa mu’tazilah adalah paham yang hanya mementingkan akal dan mengabaikan kitab suci.
ADVERTISEMENT
Munculnya gerakan mu’tazilah telah memberikan sumbangan penting bagi intelektualisme Islam, salah satunya berkat mereka, peradaban Islam mulai mengenal ilmu pengetahuan terutama dari alam pikiran Yunani (hellenisme).
Gelombang pertama masuknya hellenisme ini berlangsung dari tahun 750 hingga 950 masehi. Pada masa ini, banyak sekali pemikiran-pemikiran Yunani yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan menjadi referensi utama di dunia Islam saat itu.
Salah satu filsuf Yunani yang paling menarik dan dianggap sebagai al-mu’allim al-awwal (guru pertama) di dunia Islam adalah Aristoteles. Dari dia, orang-orang Islam mengambil metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al manthiq.
ADVERTISEMENT
Pesan penting yang ingin saya sampaikan adalah bahwa egoisme atau konservatifisme intelektual, sebenarnya tidak memiliki tempat dalam sejarah peradaban Islam. Tidak ada peradaban yang dapat tumbuh menjulang tanpa ditopang peradaban lainnya.
Membaca dan meneliti adalah dua permata yang telah lama hilang dari tubuh umat Islam (sumber:pinterest.com)

Melawan Radikalisme dengan Membaca

Salah satu keprihatinan terbesar di tubuh umat Islam saat ini adalah merebaknya paham radikal di berbagai kalangan, termasuk di kalangan pemuda Islam. Paham radikal itu bergerak seperti deret ukur yang sangat cepat, sementara program deradikalisasi bergerak seperti deret hitung yang serba ketinggalan.
ADVERTISEMENT
Radikalisme muncul dimana-mana, justru ketika kita sedang giat-giatnya melakukan dialog peradaban. Lantas apa yang salah dari semua ikhtiar itu?
Padahal, jika kita menengok sejarah, kita akan segera tahu jika kebiasaan membaca dan kecintaan pada ilmu pengetahuan adalah DNA yang menyatu di tubuh umat Islam. Pada masa gemilangnya, umat Islam begitu akrab dan terbuka menyelami alam pikiran Yunani dan berinteraksi dengan budaya luar.
Oleh karena itu, untuk melawan radikalisme yang selalu diawali dengan kejumudan (stagnasi) berpikir, sebenarnya dapat diawali dengan menumbuhkan minat baca, mencintai ilmu pengetahuan, dan bersedia melakukan interaksi dengan dunia luar. Hal-hal yang sebenarnya umat Islam di masa klasik dahulu pernah dan terbiasa melakukannya. Wallahu’alam bisshowab.
ADVERTISEMENT