Salah Kaprah Penolak Museum Holocaust

Ali Murtado
Warga, tinggal di Doha.
Konten dari Pengguna
16 Februari 2022 23:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hall of Names di dalam Yad Vashem Holocaust Museum berisi nama dan foto-foto para korban lengkap dengan kisahnya  Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Hall of Names di dalam Yad Vashem Holocaust Museum berisi nama dan foto-foto para korban lengkap dengan kisahnya Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan pemberitaan tentang ditolaknya Museum Holocaust di Minahasa. Tak kurang sekelas agamawan dan politisi senior harus ikut memberikan suara penolakan tersebut. Bagi mereka, intinya Museum Holocaust itu tidak perlu, tidak relevan, berpotensi menimbulkan kegaduhan dan karenanya perlu dihancurkan atau setidaknya ditutup.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini belum ada kantor berita asing mainstream yang memuat suara penolakan tersebut. Saya bisa bayangkan betapa gaduhnya pemberitaan soal Indonesia seandainya pernyataan tokoh-tokoh itu dimuat. Bukan apa-apa, pernyataan kedua tokoh Islam tersebut seakan menjawab rasa penasaran orang-orang tentang posisi umat muslim Indonesia terhadap pembantaian umat Yahudi oleh NAZI Jerman di masa Perang Dunia II tersebut.
Selama ini perbincangan tentang minimnya intervensi kalangan agamawan (seperti Paus Pius XII dan Imam Al Azhar) dalam mencegah Holocaust sudah banyak terjadi di ruang-ruang akademik. Tapi pernyataan dari seorang tokoh muslim Indonesia, apalagi dari kalangan politisi masih terhitung jarang.

Jarang Dibicarakan

Holocaust termasuk tema yang jarang dibicarakan di Indonesia. Sebagian publik Indonesia lebih banyak mengenal Holocaust dari film-film asing seperti The Schindler’s List, The Pianist atau Life is Beautiful. Bacaan tentang Holocaust juga masih jarang yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Diari Anne Frank barangkali di antara yang sedikit itu. Beberapa buku tentang Holocaust memang beredar, tapi isinya lebih banyak soal konspirasi, tidak menyentuh soal kejahatannya itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Mochtar Lubis sebenarnya pernah menulis kata pengantar yang sangat baik untuk novel pendek Elie Wiesel yang berjudul “Malam”. Sayangnya novel tentang kisah mencekam penulisnya selama hidup di kamp konsentrasi ini pun tidak cukup laku di Indonesia. Saya tidak tahu kenapa tema Holocaust masih sedikit dibicarakan di Indonesia. Padahal ini adalah salah satu kejahatan kemanusiaan paling mengerikan di abad 20. Kuat dugaan saya, topik Holocaust kurang dibincangkan karena ini ada kaitannya dengan sensitivitas SARA terutama menyangkut umat Yahudi.
Kita tahu, di Indonesia membela Yahudi masih dianggap tabu. Kita seperti masih menaruh kebencian teramat besar terhadap Yahudi. Sehingga kekejian terhadapnya pun dianggap wajar, atau setidaknya tidak perlu ‘dibesar-besarkan’.
Museum Holocaust di Minahasa, Sulawesi Utara. Foto: Manadobacirita
Salah Kaprah
Minimnya literasi dan besarnya prasangka itulah yang membuat logika para penolak Museum Holocaust di Minahasa itu, menurut saya kacau. Kenapa kacau? Pertama, para penolak Museum Holocaust itu beranggapan bahwa dengan mendukung para korban Holocaust—dus mendukung pendirian museum—sama saja dengan mendukung Israel. Ini adalah lompatan logika yang terlalu jauh. Karena faktanya banyak dari penyintas Holocaust sendiri tidak setuju dengan kebiadaban Israel.
ADVERTISEMENT
Mereka bahkan tidak jarang berdiri di garis paling depan dalam membela Palestina. Pada tahun 2014 misalnya, sebanyak 327 penyintas holocaust memasang iklan besar-besar di The New York Times untuk mengecam tindakan brutal Israel terhadap Palestina. Jadi jelas, mendukung korban Holocaust bukan berarti mendukung Israel.
Kekacauan logika yang kedua adalah adanya narasi dari para penolak museum seolah-olah dengan menolak pendirian museum maka otomatis mereka mendukung Palestina. Ini juga lompatan logika yang kasar. Membuat narasi mendukung Palestina dengan membenarkan Holocaust adalah tindakan yang absurd. Holocaust dan pembantaian rakyat Palestina adalah dua kekejian yang harus dikutuk sama kerasnya. Keduanya bukan Zero Sum Game dan tidak untuk saling diperhadapkan mana yang lebih bisa dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Kacau logika ketiga adalah kecenderungan untuk menyamakan antara yahudi, zionisme dan negara Israel. Memang ada hubungan di antara ketiganya, namun menyamakan ketiganya begitu saja, dapat membuat kita jatuh pada kesimpulan yang berbahaya. Seakan-akan dengan kita membenci Israel maka kita harus pula membenci Yahudi, dan kejahatan terhadapnya harus dianggap wajar. Faktanya tidak semua pendukung Israel adalah Yahudi, dan tidak semua Yahudi adalah pendukung Israel.

Berdamai dengan Masa Lalu

Tidak mudah bagi sebuah bangsa untuk berdamai dengan sejarahnya sendiri. Apalagi jika bangsa itu memiliki episode kelam di masa lalu. Tapi hanya dengan berdamai dengan masa lalu, seberapa pun kelamnya episode itu, sebuah bangsa akan dapat berlari cepat ke depan. Untuk soal ini, kepada Jerman—dengan segala kekurangan dan ketertatih-tatihannya—kita dapat belajar.
ADVERTISEMENT
Jerman memiliki sejarah yang kelam. Holocaust seperti luka yang menganga bagi negara tersebut. Tapi Jerman terus berusaha menyembuhkan luka itu. Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Ina Lepel yang datang untuk meresmikan Museum Holocaust di Minahasa itu tentu tidak datang untuk meresmikan kebiadaban negaranya terhadap komunitas Yahudi. Ia justru datang untuk turut mengeringkan luka.
Dari Minahasa itu pula kita dapat belajar, bahwa museum seyogyanya tidak hanya untuk memamerkan kemegahan masa lalu. Ia juga dapat dan harus menyediakan ruang untuk kita dapat mengingat kekejian di masa lalu, supaya ia tidak berulang.
*) Diaspora Indonesia di Qatar