Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Setelah 3 Tahun Krisis Diplomatik Qatar
6 Juni 2020 7:23 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ali Murtado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah riuh pemberitaan mengenai the New Normal atau relaksasi PSBB, mungkin tak banyak yang ingat jika pada tanggal 5 Juni 2020 adalah tepat tiga tahun krisis diplomatik Qatar berlangsung. Bagaimana krisis ini bermula dan apa implikasinya bagi Qatar dan Indonesia? Bisakah diplomasi Indonesia mengambil ‘keuntungan’?
ADVERTISEMENT
Krisis berawal ketika pada tanggal 5 Juni 2017, empat belas negara Arab dan Afrika secara serempak memutuskan/menurunkan hubungan diplomatiknya dengan Qatar. Meski saat ini sebagian besar dari negara tersebut telah memulihkan hubungan diplomatiknya dengan Qatar, namun pengucilan terhadap Qatar tetap berlanjut hingga hari ini. Tiga negara tetangga Qatar ―Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab (PEA), Bahrain― plus Mesir, hari ini bahkan bukan hanya masih memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar tetapi juga memblokade negara kecil itu dari darat, laut dan udara.
Qatar dan Mengapa Krisis Diplomatik Terjadi?
Qatar adalah salah satu negara paling kaya di dunia. Menurut data World Bank, GDP per kapita Qatar pada tahun 2018 mencapai US$ 68.796 atau nyaris 18 kali lipat pendapatan per kapita Indonesia (US$ 3.893). Dengan kekayaannya yang melimpah tersebut, Qatar terus membangun kekuatan dan pengaruhnya di dunia internasional. Peran dan pengaruh Qatar yang semakin besar itulah yang nampaknya membuat gusar beberapa kekuatan tradisional di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan PEA.
ADVERTISEMENT
Di luar itu, hubungan rapat Qatar dengan Iran dan Turki serta organisasi non-negara seperti Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hamas juga tidak disenangi oleh para big power di Timur Tengah seperti Arab Saudi, PEA atau Mesir. Puncaknya pada tahun 2017 belasan negara yang dimotori Arab Saudi mengumumkan isolasi terhadap Qatar. Pengumuman tersebut disertai ultimatum, salah satunya agar Qatar menutup stasiun berita Al Jazeera dan membatasi hubungannya dengan Iran dan Turki.
Setelah Tiga Tahun Krisis Diplomatik
Tiga tahun berlalu, alih-alih dapat menekan Qatar, isolasi yang dilakukan negara tetangga Qatar tersebut justru membuat negara kecil ini semakin mandiri dan percaya diri. Di awal-awal blokade diumumkan pada tahun 2017, Qatar memang sempat mengalami kesulitan memenuhi bahan kebutuhan pokok, namun hal itu cepat teratasi dengan supply dari negara tetangga seperti Oman, Iran dan Turki. Semenjak itu, Qatar dan pemerintahnya seperti terbiasa menghadapi krisis. Hal ini juga menjadi alasan mengapa ketika wabah Covid-19 melanda, Qatar termasuk yang paling siap menghadapinya. Indikasinya paling tidak dapat dilihat dari mortality rates Qatar yang termasuk paling rendah di dunia (di bawah 0.1%).
ADVERTISEMENT
Meski dapat dikatakan survive menghadapi isolasi dari negara tetangganya, krisis diplomatik Qatar tetap bukan sesuatu yang dikehendaki. Dunia tetap memerlukan kawasan Teluk yang stabil dan padu. Hal tersebut penting bukan hanya untuk mendukung proses perdamaian di Timur Tengah, tetapi juga untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi dunia di masa dan paska Covid-19. Bagi Indonesia, kondisi Qatar dan kawasan Teluk yang stabil juga akan sangat menguntungkan, baik dari sisi ekonomi, perdagangan maupun perlindungan WNI di kawasan tersebut.
Kepentingan Ekonomi Indonesia terhadap Qatar
Dari sisi ekonomi, dibandingkan dengan negara Teluk lain seperti Arab Saudi dan PEA, nilai perdagangan Indonesia dengan Qatar masih terbilang kecil. Dalam lima tahun terakhir (2014-2019), nilai perdagangan kedua negara bahkan menunjukkan tren penurunan sebesar rata-rata 1,24 persen (Data Kemendag). Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri, mengingat potensi ekonomi dan dagang dengan Qatar sebenarnya cukup besar.
ADVERTISEMENT
Di tengah blokade ekonomi yang dihadapi Qatar, Indonesia misalnya dapat mendorong ekspor bahan makanan ke negara tersebut. Meskipun selama ini kebutuhan pokok warga Qatar dapat dipenuhi melalui impor dari negara-negara seperti Oman dan Turki, namun Qatar tetap memerlukan diversifikasi negara asal impor untuk menjamin stabilitas harga. Di sektor pariwisata dan industri kreatif, pengalaman Qatar dalam membangun industri pariwisata dan menyelenggarakan beragam event olahraga berskala internasional juga perlu dimanfaatkan secara serius oleh Indonesia yang sedang gencar-gencarnya membangun berbagai destinasi wisata baru.
Tak kalah pentingnya, status Qatar yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, perlu menjadi perhatian tersendiri, khususnya bagi para pelaku industri kecil dan menengah di tanah air. Jika UKM Indonesia, misalnya, dapat memasok barang-barang seperti merchandise Piala Dunia, maka hal tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi produk UKM Indonesia dalam menembus pasar Timur Tengah dan dunia.
ADVERTISEMENT
Antara Pragmatisme Ekonomi dan Juru Damai di Kawasan
Di luar berbagai peluang di atas, belum pulihnya hubungan Qatar dengan tetangganya, tetap harus dibaca dengan hati-hati oleh Indonesia. Pemerintah tidak boleh terjebak dalam krisis diplomatik Qatar yang akan menyulitkan posisi Indonesia sendiri di Teluk. Indonesia dalam hal ini perlu menjaga pragmatisme dan keseimbangan antara menjalin hubungan erat dengan Qatar di satu sisi, dengan di sisi lain menjaga hubungan baik dengan negara Teluk lain, termasuk dengan mereka yang saat ini masih berseteru dengan Qatar seperti Arab Saudi dan PEA.
Secara empirik, Indonesia memang memiliki peluang untuk memainkan peran lebih besar sebagai penengah bagi Qatar dengan negara tetangganya. Namun demikian, upaya Indonesia untuk menjadi penengah tersebut harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan dan pragmatisme kepentingan (ekonomi) Indonesia di kawasan tersebut. Tidak mudah, namun di sinilah kelihaian Indonesia untuk mendayung di antara berbagai karang di Teluk akan diuji.
ADVERTISEMENT
*) Pemerhati Masalah Timur Tengah/Pegawai Kementerian Luar Negeri. Tulisan merupakan pendapat pribadi.