Ketika Banyak Uang tapi Tak Tenang

Ali Sajad
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
12 Maret 2023 11:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Hidup berkecukupan memang menjadi impian setiap orang. Memiliki banyak uang pastilah menjadikan seseorang lebih mudah menjalani hidup. Bergelimang harta, rumah mewah, mobil mahal, pakaian bermerek yang tak terhitung jumlahnya juga akan dibeli untuk menghiasi diri ketika beraktivitas, terlebih ketika sedang liburan atau sekadar jalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Orang pun banyak yang berlomba-lomba untuk menjadi pejabat. Pejabat menjadi salah satu profesi yang menjanjikan dari sisi finansial. Gajinya pasti dan lebih dari cukup, bahkan banyak. Belum lagi tunjangan atau asuransi yang didapatkannya selama bekerja hingga ia pensiun. Hidupnya dijamin oleh negara, termasuk sanak keluarganya. Tak ada lagi yang harus dikhawatirkan, semuanya akan tercukupkan.
Kecuali, pejabat yang memang haus harta serta memamerkan harta kekayaannya. Banyak pejabat yang justru menggunakan uang yang diberikan negara itu untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi, dengan terjun dalam hal-hal yang tidak diperbolehkan. Mengapa? Karena mereka punya uang, punya modal.
Telah banyak pejabat model seperti ini. Sudah kaya, tapi ingin lebih kaya lagi. Memang, itu adalah fitrah manusia. Namun jika melalui cara-cara yang tidak dibenarkan tentu itu merupakan sesuatu yang dilarang, baik dari segi moral maupun undang-undang.
ADVERTISEMENT
Jika ingin lebih kaya lagi, maka jangan jadi pejabat. Jadilah pengusaha. Pejabat itu sudah ditentukan honornya. Dalam satu bulan pendapatan atau gajinya adalah sekian. Jadi satu tahun ia dapat mengumpulkan uang sebanyak sekian rupiah. Itu sudah pasti. Dari sini, dapat diperkirakan barang apa yang bisa dibeli dari hasil kerjanya selama rentan waktu tertentu.
Namun jika ternyata apa yang dia beli melebihi hitungan gaji pokoknya, ia akan segera dicurigai. Dari mana dia mendapatkannya? Apakah dia korupsi? Apakah dia menerima suap? Gratifikasi? Mengapa ia dan keluarganya bisa memiliki banyak mobil? Mengapa pakaiannya memiliki harga yang fantastis? Dengan gajinya saat ini, bagaimana mungkin?
Pejabat itu, paling tidak, akan disorot publik dan media. Pejabat dan keluarganya yang biasa memamerkan harta kekayaan, yang berswafoto dengan pakaian super mahal, kemudian diposting di berbagai media sosial, akan mendapat label HEDON.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya tidak masalah memamerkannya. Namun karena ia adalah seorang pejabat negara, itu akan jadi masalah. Tahukah anda bahwa sebenarnya suami dari Menteri Keuangan RI itu memiliki moge, namun tidak pernah ia kendarai? Ibu Menkeu melarangnya. Mengapa? Karena ia tahu risiko jadi suami seorang menteri.
Beda halnya dengan pengusaha. Berapa pun pendapatannya tidak akan dipermasalahkan. Yang namanya usaha, kadang rugi, kadang juga untung meroket. Tidak ada yang membatasi penghasilan pengusaha.
Contoh lainnya adalah jaksa dan pengacara/advokat. Gaji seorang jaksa adalah sebesar Rp 1.560.800 hingga Rp 5.901.200 per bulan dengan tunjangan sebesar Rp 4.595.150 hingga Rp 17.064.000 disesuaikan pada kelas jabatannya. Maka dalam satu tahun ia bisa mendapatkan Rp 18.729.600 hingga Rp 70.814.400.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dapat diperhitungkan dengan hasil yang pasti. Jika ternyata lebih, maka masalah akan menimpanya. Kecurigaan aparat hukum takkan bisa dihindari. Pemeriksaan akan segera dilakukan oleh kepolisian dan juga KPK jika diduga harta itu merupakan hasil korupsi.
Sementara pengacara—Hotman Paris misalnya—bebas membeli ini dan itu, apa pun yang ia inginkan. Ia memiliki banyak Lamborghini, Bentley, Ferrari yang terparkir rapi di bagasinya. Meskipun dia dengan terang-terangan memamerkan kekayaannya, mengapa ia tidak pernah tersandung kasus dan diperiksa KPK? Karena dia bukan pejabat. Dia tidak digaji oleh negara.
Jika ada job, ada sengketa yang harus ia tangani, maka seketika ia akan mendapat imbalan dari klien yang bersangkutan, bahkan sebelum ia melakukan sesuatu atas kasus itu. Apalagi dia memang merupakan pengacara di bidang korporasi (corporate lawyer). Ia biasa menangani sengketa perusahaan-perusahaan besar, bahkan lintas negara. Tentu bayarannya tidaklah sedikit. Tak heran jika dia kemudian dijuluki “Pengacara 1 M”.
ADVERTISEMENT
Dan saat ini, hal yang membuat keadaan di negeri kita semakin kacau adalah hedonisme dari para pejabat. Ada yang bermewah-mewahan dan pamer kekayaan namun lupa bayar pajak. Padahal dia seorang Ditjen Pajak. Bangga pada jabatan, namun abai tagihan dan pembayaran. Untuk apa memamerkan Robicon yang platnya saja palsu?
Pejabat yang memiliki sifat iblis seperti itu tak akan pernah tenang. Ia akan terus dihantui ketakutan. Mungkin bukan dia, namun bisa jadi keluarganya. Perihal selebrasi Mario Dandy Satrio pasca penganiyaannya terhadap David, lupakan saja. Itu bukan topik yang kita bahas kali ini.
Namun coba perhatikan, saat reka adegan atau rekonstruksi. Terlepas dari selebrasi ala Ronaldo-nya, coba perhatikan sepatu yang dikenakannya. Dalam kondisi mengenakan baju tahanan saja dia masih tampil hedon.
ADVERTISEMENT
Tapi akhirnya ia benar benar dirundung masalah. Anaknya mendekam di penjara, bapaknya dipecat dari jabatannya. Entah bagaimana keluarga yang lainnya. Ia banyak uang, namun tak tenang.