Mengapa Oligarki Harus Menjadi Musuh Rakyat

Ali Sajad
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2022 15:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Belakangan ini oligarki semakin menjadi topik diskusi hangat di tengah publik. Pengamat politik yang begitu detail mengkritisi keadaan suatu bangsa mengatakan bahwa oligarki masih marak teraplikasikan di dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Oligarki dipahami sebagai hubungan yang dibangun oleh komunitas atau kelompok kecil yang bekerjasama dalam mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka. Komunitas orang kaya berusaha merentangkan kekuasaannya dalam berbagai bidang, baik itu politik, hukum, ekonomi dan lain sebagainya untuk terus mempertahankan kekuasaan dengan bonus sekaligus untuk meningkatkan kekayaannya. Pelaku oligarki lebih menomorsatukan kepentingan pribadi dan menganaktirikan kepentingan umum.
Dalam oligarki ada semacam sentralisasi kekuasaan yang ada di bawah naungan kelompok elite yang jumlahnya relatif kecil namun memiliki otoritas yang berpengaruh terhadap masyarakat luas. Dengan adanya sistem hubungan kekuasaan yang terstruktur, oligarki memungkinkan adanya ketimpangan sosial ekonomi. Elite dengan harta berlimpah akan semakin melangit, sementara golongan bawah akan terus menangis.
Dengan kekayaan yang dimiliki itu, pelaku oligarki akan menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk memainkan peranannya dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik untuk memastikan stabilitas kekayaan mereka sendiri. Elite-elite tersebut mungkin banyak mempelajari teori dari Karl Marx, seorang filsuf sekaligus pakar ekonomi politik berkebangsaan Jerman, yang mengemukakan bahwa kapital ekonomi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Ini sangat bertolak belakang dengan demokrasi yang dianggap sebagai sistem pemerintahan paling ideal saat ini yang memungkinkan adanya kesetaraan status sosial. Demokrasi menjunjung tinggi kesejahteraan untuk selalu bisa diakses seluruh rakyat di setiap tingkatan.
Namun nyatanya, perilaku oligarki dan demokrasi dapat berjalan bersama. Dan bahkan dengan berada dalam negara demokrasi, pelaku oligarki akan mendapat panggung besar. Dengan segala aset dan kekayaan yang dimiliki, mereka biasanya mampu dengan mudah duduk di kursi kekuasaan yang begitu strategis, baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan posisi yang ideal itu mereka dapat memaksimalkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.
Keadaan seperti ini sangatlah berbahaya. Jangankan para elite yang sudah memiliki kursi kehormatan, yang masih berstatus “pengusaha kaya” saja sangat dimungkinkan untuk terjun mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Contohnya seperti adanya pengusaha yang masuk dalam circle pemerintahan untuk membawa salah satu paslon dari partai politik unggul dalam mencapai ambang batas pencalonan presiden, atau yang lebih dikenal dengan presidential threshold.
ADVERTISEMENT
Presidential threshold merupakan ketentuan tentang batas perolehan suara yang harus dicapai oleh partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Dalam UU Pemilu Pasal 222 dijelaskan bahwa,
“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”
Awalnya UU ini dijalankan dengan tujuan untuk memastikan dukungan penuh partai koalisi dari paslon yang akan menjabat. Jadi, apabila partai politik pasangan calon itu tidak berhasil mencapai perolehan suara sebesar 20 dan 25 persen, maka ia tidak dapat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Namun jika dilihat lebih seksama, ada rencana dalam gelap dari berbagai parpol untuk meraih perolehan suara itu. Dengan apa? Dengan menjalin kerjasama dengan elite-elite yang telah kita singgung tadi.
Parta-partai politik itu akan mencari pemodal untuk membantunya secara finansial, demi mendapatkan tambahan suara. Para pengusaha kaya juga akan sesegera mungkin untuk membuka pintu dan melobi partai politik yang sudah memiliki tiket masuk dengan memberi bantuan dana pada mereka agar bisa maju di pemilu.
Hal demikian tentu melalui kesepakatan bahwa harus ada balas budi apabila paslon tadi sudah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden. Setelah pelantikan, parpol yang menang haruslah memudahkan bisnis si pemodal atau pengusaha tadi.
Dari sinilah kemudian benih oligarki akan tumbuh. Elite yang telah berjasa menaikkan capres dan cawapres ke panggung kekuasaan tadi juga akan memiliki kekuasaan dan kekayaan lebih dari interaksi tersebut. Ia akan semakin kaya, sementara parpol yang didukungnya akan semakin berkuasa.
ADVERTISEMENT
Para elite, dan penguasa elite itu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka bisa saja memonopoli penguasaan tanah atau lahan hingga aset keuangan. Mereka akan memperluas kekuasaan dan juga kekayaannya.
Dikatakan dalam satu riset di salah satu negara kawasan Asia Tenggara bahwa ada sekitar 1% orang kaya menguasai 45% dari total kekayaan negara tersebut. Ini merupakan angka yang begitu fantastis. Hampir setengah aset negara berada dalam penguasaan orang-orang kaya itu.
Rakyat di negara yang terjamah oleh politik semacam itu hanya akan berperan sebagai penonton drama. Rakyat hanya disuguhkan dengan paslon dari partai politik yang itu-itu saja. Maka jangan merasa ada yang ganjil ketika banyak terjadi golput dalam pemilu. Itu semua karena memang tidak ada calon presiden dan wakil presiden yang menurut rakyat layak dan pantas untuk memimpin mereka. Harapan mereka kandas pada permainan “siapa yang kuat dialah yang akan menang”.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya rakyat akan melakukan perlawanan, demonstrasi besar-besaran, sebagai protes pada kebijakan pemerintahan.
Tidak ada lagi aktualisasi politik bersih yang kompetitif. Yang ada hanyalah perilaku-perilaku manipulatif. Tak ada lagi stabilitas ekonomi, kecuali hanya hanya bagi yang berpakaian rapi. Jika ini terus terjadi, tidak akan lama lagi hidupnya sistem demokrasi, ia akan dikalahkan oleh eksistensi oligarki.