Konten dari Pengguna

Rakyat Memang Tidak Pernah Dipentingkan

Ali Sajad
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Juli 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena diretasnya data milik 282 Kementerian, Lembaga dan Pemerintah daerah menjadi satu dari ketidakbecusan pejabat yang notabenenya bisa makan karena kita gaji (dengan membayar pajak). Anggaran 700 milyar, bukan nominal uang yang kecil untuk hanya sekedar memberikan support system bagi Kominfo yang pada akhirnya (entah digunakan apa) uang sebanyak itu seakan tak berguna, bahkan tak pernah ada.
ADVERTISEMENT
Bukannya mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki, di depan wartawan pejabat Kominfo justru mengatakan “Kita pasrah, data yang diretas tidak bisa dipulihkan”. Adakah yang tau maksudnya? Mereka kehabisan dana, karena itu mereka tidak punya cara, sehingga kita akan tetap kehilangan data.
Terhitung sejak 17 Juni 2024, jagat maya terus dihebohkan dengan berita kebodohan ini. Bagaimana bisa data nasional, berisi informasi pribadi seluruh warga negara Indonesia tidak di-backup? Tentu tidak salah bukan, jika aparat Kominfo dicecar oleh anggota DPR?. “Ini bukan tata kelola, ini kebodohan”, ucap lantang 1 dari 1000 anggota DPR yang (mungkin) juga tidak becus.
Hal yang lebih mengejutkan, seseorang dari komunitas hacker Indonesia menyebutkan dalam sebuah podcast, bahwa ternyara website pemerintah lah yang paling mudah diretas. Laman resmi kementerian, lembaga dan pemerintahan daerah justru menjadi sasaran favorit oleh para hacker amatiran untuk menerapkan ilmunya, karena semudah itu untuk dibobol, selemah itu proteksinya. “Belajarnya ya ke web pemerintah”, ujarnya. Di podcast lain dia menyapaikan bahwa bahkan dalam waktu kurang dari 5 menit, dia bisa meretas data pemerintah, dan bisa ia lakukan tiap hari.
ADVERTISEMENT
Kemana uang kita?
“Hacker, tolong jangan diretas ya”. Dahulu, kalimat konyol itu sempat menjadi perbincangan. Ucapan yang keluar dari mulut pejabat itu menjadi bahan tertawaan seluruh dunia, dan terbukti, ucapan itu memang tidak berguna.
Jokowi? Pahlawan kesiangan.
Bagaimana tidak. Saat semua sudah kacau, Jokowi baru menginstruksikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit PDN imbas serangan ransomware. Langkahnya memang benar, tidak salah, namun telat. Ada rentang waktu sekitar 12 hari sejak data diretas. Entah berapa banyak data yang diretas lagi, tapi intinya pemerintah tidak bertindak cepat.
Ma’ruf Amin? Sepertia biasa, antara ada dan tiada.
“Pertama kita pulihkan dulu situasinya, baru kita cari sebabnya”. Sadarkah kita kalau sebenarnya tidak perlu menjadi wapres untuk sekedar mengucapkan kalimat itu? Rakyat biasa seperti kita pun tahu bahwa ”memulihkan situasi dan mencari tahu penyebabnya” adalah pernyataan yang membosankan.
ADVERTISEMENT
Prabowo? Membisu.
Sebagai calon presiden terpilih dan Menteri Pertahanan, tidakkah aneh jika tak ada sedikitpun komentar yang ia sampaikan kepada media? Kemana anggaran kementeriannya? Titelnya saja Kementerian Pertahanan, namun nyatanya tidak mampu menahan serangan hacker.
Rakyat biasa seperti kita seakan tiada harganya. Kita tidak penting. Tidak pernah penting. Memangnya kapan kita dianggap penting kecuali di bilik suara?