Konten dari Pengguna

Ramadhan dan Euforia yang Dilahirkan Takdir

Ali Sajad
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24 Maret 2023 8:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Ramadhan. Masjid di kampung-kampung mendadak ramai. Aktivitas di perkotaan juga mulai sedikit melandai. Sepertinya memang ada banyak alasan di balik semua antusiasme ini.
ADVERTISEMENT
Karena senang, karena kebiasaan tahunan, karena ingin berjumpa satu sama lain sebab sebelumnya bahkan tidak sempat untuk bertegur sapa atau karena memang ada yang sedang dikejar oleh masing-masing orang.
Namun yang pasti, banyak orang berbondong-bondong datang memenuhi ruang kosong di masjid tempat mulia itu. Rumah-rumah mulai sepi lantaran penghuninya bergegas menjawab panggilan Ilahi.
Anak kecil yang sebenarnya tidak tahu banyak apa yang sebenarnya diperebutkan orang tua mereka juga berlarian menuju sumber suara nan merdu itu. Memenuhi shaf-shaf kosong di barisan paling belakang, berteriak sekuat tenaga di pengujung lantunan surat al-Fatihah.
Benar. Masa yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bahkan tanpa harus dinanti-nanti kehadirannya. Ia pasti datang, tanpa harus diundang. Bukan apa, ini adalah Bulan Ramadhan, bulan yang paling diminati oleh para pencari ridho Tuhan.
ADVERTISEMENT
Langkah awal untuk mencapai puncak kemuliaan sekaligus ujian untuk memastikan seberapa baik kita satu tahun ke depan. Karena salah satu tanda puasa yang diterima di sisi Tuhan adalah ketika seorang muslim menjadi lebih baik dengan tetap menjalankan amalan-amalan Ramadhan di bulan-bulan setelahnya.
Ramadhan selalu datang tepat waktu. Setelah beberapa bulan terakhir kita disibukkan dengan beragam berita yang sangat tidak mengenakkan, Ramadhan pun datang membawa warna baru bagi kehidupan. Setidaknya, kedatangannya mampu mengesampingkan perhatian kita terhadap perilaku-perilaku tak beretika.
Perempuan beribadah di rumah saat Ramadhan. Foto: Shutter Stock
Kita sadar bahwa negara kita telah dihantam bertubi-tubi oleh ulah oknum yang sangat tidak bertanggung jawab. Ramadhan datang bagai oase di tengah padang pasir yang menyelamatkan pikiran kita semua dari kehausan akan berita menyenangkan. Di bulan ini kita dipersilakan untuk bersenang-senang kembali, tentunya bersenang-senang dengan Tuhan Sang Pemilik Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Coba perhatikan orang-orang sekitar yang tak pernah datang ke masjid. Dengan raut wajah gembira ia menggelar sajadah yang sudah lama tak ia pakai. Ia kenakan pakaian terbaik untuk menyapa untuk bersujud di hadapan Tuhan di hari pertama bulan yang mulia ini. Pamflet dan ucapan "Marhaban ya Ramadhan" disebar melalui berbagai media untuk memeriahkan puasa di tahun 2023 ini.
Inilah euforia. Lebih tepatnya euforia yang dilahirkan oleh takdir. Mengapa? Karena tak ada seorang pun yang berencana untuk menciptakan perasaan gembira sehebat ini.
Sebaliknya tidak ada juga yang mampu untuk menghentikan gairah yang tertanam kokoh dalam jiwa setiap orang semacam ini. Semua hiruk pikuk ini seakan—dan memang—sedang di-break. Momentum ini berhasil me-refresh pikiran yang selalu terpaku pada persoalan publik yang tak berkesudahan.
ADVERTISEMENT
Tak perlu saya sebutkan, pembaca pasti sudah tahu apa yang saya maksudkan. Berita-berita yang sedikit banyak telah mengikis kepercayaan masyarakat pada wakil mereka yang ada di ibu kota Jakarta.
Hari pertama terlihat—dan pasti—baik-baik saja. Bahkan yang terbaik dibandingkan dengan hari-hari setelahnya. Shaf salat tarawih di malam pertama terisi penuh hingga belakang, bahkan sampai halaman masjid. Pencapaian yang bagus, setidaknya tidak lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena menjadi seorang muslim yang masih bisa menjalankan puasa Ramadhan merupakan kebahagiaan yang tak ada duanya. Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di antara yang lainnya.
Salat berjemaah di shaf paling depan, bersedekah dengan nominal yang tak biasa, membaca al-Qur'an tanpa terhitung berapa halamannya. Namun selanjutnya, yang dibutuhkan—dan yang paling penting—adalah konsistensi atau yang dalam kamus umat Islam disebut istiqomah.
ADVERTISEMENT
Apakah hanya itu? Cukupkah dengan hanya istiqomah? Bisa saja, karena memang konsistensi lah yang menjadi kendala orang-orang baik untuk mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya.
Konsistensilah yang banyak menjadikan seseorang lelah akan amanah yang sedang diembannya. Bukankah itu yang menjadi salah satu sebab seorang pejabat dipaksa turun dari kursi jabatannya? Bukankah karena tidak konsisten seorang pejabat dianggap hanya pencitraan dan menggelorakan janji palsu saat kampanye?
Komitmen untuk konsisten menjadi hal yang paling penting dalam setiap hal, di setiap lini kehidupan, baik interaksi vertikal dengan Tuhan maupun interaksi horizontal dengan sesama manusia.
Maka sebagai penutup tulisan ini, saya berharap agar semua orang yang berkepentingan memiliki konsistensi yang kuat agar supaya euphoria ini tak dicemari oleh tingkah laku tak pantas dan melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Di Ramadhan ini, semoga tidak ada lagi pelarangan-pelarangan yang merugikan atau bahkan merendahkan salah satu umat beragama. Kita doakan semoga kasus-kasus yang terjadi di Ditjen Pajak tidak terjadi pada Lembaga Amil Zakat. Terakhir, semoga tidak ada lagi petinggi partai yang menyindir ibu-ibu yang suka pergi ke acara pengajian.