Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
September, Dulu dan Sekarang
30 September 2022 19:02 WIB
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
30 September 1965 menjadi catatan hitam yang mengerikan dalam memori perjalanan negara yang belum lama merdeka. Tepat 57 tahun silam, PKI menuliskan sejarah bertinta darah yang masih begitu melekat di ingatan masyarakat Indonesia. Bukan pergolakan politik biasa, ini adalah pembantaian para jenderal dan perwira. Tanpa mempedulikan ikatan satu bangsa, demi menggulingkan pemerintahan Soekarno yang mereka anggap tak lagi layak berkuasa, mereka melakukan operasi berdarah dalam satu malam yang gelap gulita.
ADVERTISEMENT
Akibat persaingan dalam merebut kekuasaan, sebagai jaring pengaman bagi para penganut “anti-Tuhan”, jenderal dan perwira TNI AD harus segera disingkirkan. Demi menjadikan komunisme sebagai ideologi pemerintahan yang menggantikan pancasila, aksi bersenjata pun akhirnya menelan korban jiwa.
Jika kita perhatikan, September dulu dan saat ini sebenarnya sama saja. Keduanya sama-sama menjadi bulan yang penuh rencana. Rencana untuk merebut kekuasaan pemerintahan, menyingkirkan lawan di arena politik nasional.
Jika September 1965 ada banyak jenderal yang dibantai habis-habisan, September tahun ini ada banyak pencitraan di pelosok pedesaan. Petani padi bukan lagi sebagai profesi untuk menjaga kelangsungan hidup negeri, saat ini ia juga menjadi sasaran untuk mengangkat jati diri, (mungkin) dimaksudkan untuk memenangkan kursi.
Jika September dulu putri AH. Nasution (Ade Irma Suryani Nasution) tidak dapat diselamatkan, September tahun ini suara rakyat lah yang dianaktirikan. Hak konstitusional mereka tak mampu melangkahi satu perayaan di gedung dewan perwakilan. Teriakan ribuan orang yang rela panas-panasan bahkan tidak dipedulikan. Anggota dewan asyik bernyanyi, meskipun di luar gedung para demonstran tengah berorasi.
ADVERTISEMENT
Jadi wajar ketika para pejabat tak lagi mendapat dukungan. Itu karena ulah mereka sendiri yang melahirkan kekesalan yang berkepanjagan. Indeks kepercayaan masyarakat akan terus menurun, jika kinerja wakil mereka tidak seperti yang mereka harapkan.
Jika September 1965 para korban terkubur hina di Lubang Buaya, September 2022 memastikan akan ada banyak koruptor yang mendekam di penjara. Tahun ini merupakan masa yang mengerikan bagi para penegak keadilan. Ada banyak kasus yang telah ditangani dan terselesaikan, tapi mereka sendiri lah yang menjadi “korban uang”.
Untuk kepentingan finansial semua orang memang pasti membutuhkan uang, namun kualitas moral harus tetap dinomorsatukan. Uang memang menjanjikan, namun ia mampu membuat seseorang hina dan menjijikkan. Uang kerap menjadi andalan dalam suatu perkara yang dibawa ke pengadilan, sekaligus penghalang untuk menghirup udara kebebasan.
ADVERTISEMENT
Jika para hakim terus mencederai kepercayaan publik dengan perilaku-perilaku yang sudah jelas dilarang, harus kemana lagi mereka akan mencari keadilan? Apabila keadilan terus diperjualbelikan, adakah alasan Tuhan untuk membawa negara kita keluar dari lingkaran kesengsaraan? Akankah ada lagi September yang lebih mengerikan di masa mendatang? Atau kita percayakan saja kepada Tuhan?
September dulu memang begitu kelam. September tahun ini pun masih banyak terjadi pergolakan politik yang beraneka ragam. G30S PKI memang telah usai, namun polemik baru sedang dimulai. Berbagai kebijakan masih menuai banyak protes dan kecaman dari berbagai kalangan. Yang perlu diingat, masyarakat tidak butuh pencitraan. Yang mereka butuhkan hanya kesejahteraan dengan belandaskan keadilan sosial.