Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Indonesia Menavigasi AUKUS dan China
21 Oktober 2024 15:05 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Ali Abdullah Wibisono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ali Abdullah Wibisono
Lektor Kepala di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
Sejak deklarasi berdirinya kerjasama trilateral AUKUS (Australia-United Kingdom-United States/ Australia-Amerika Serikat (AS)-Britania Raya (Inggris)) pada September 2021, muncul pertanyaan strategis yang menggelayut dalam politik luar negeri Indonesia ke depan: bagaimana Indonesia menavigasi relasi strategis dengan AUKUS dan China di saat yang bersamaan?
ADVERTISEMENT
AUKUS adalah kerjasama trilateral bidang pertahanan dengan dua pilar utama. Pilar pertama adalah transfer teknologi pertahanan dalam bentuk kapal selam bertenaga nuklir (SSN) kepada Australia, negara non-senjata nuklir di Pasifik Selatan yang juga merupakan sekutu AS.
Di pilar kedua, ketiga negara ini sepakat untuk berkolaborasi pada isu transfer teknologi mutakhir untuk diadopsi platform persenjataan seperti komputasi kuantum, kecerdasan buatan, rudal hipersonik dan pertahanan bawah laut (undersea capabilities). Indonesia berkepentingan untuk menjalin hubungan strategis baik dengan negara-negara anggota AUKUS, khususnya Australia dan AS untuk kepentingan modernisasi pertahanan, mengingat Indonesia gagal mencapai target Minimum Essential Forces (MEF) nya di tahun 2024 ini. Di saat yang sama, AUKUS – meskipun tidak disebutkan secara formal – membangun postur containment atau pembendungan terhadap China lewat aliansi militer AS dengan Australia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Filipina.
ADVERTISEMENT
Namun Indonesia harus hindari degradasi kepercayaan China sebagai mitra ekonomi utama Indonesia. Kepercayaan China masih dibutuhkan Indonesia, tidak hanya karena posisinya sebagai mitra ekonomi terpenting Indonesia tapi juga Indonesia berkepentingan untuk menjaga dan meningkatkan perannya sebagai regional balancer atau penjaga stabilitas kawasan yang berposisi tepat di antara Australia dan Laut China Selatan (LCS). Perdamaian dan stabilitas Asia Tenggara tidak lagi bisa dipandang sebagai sesuatu yang terberikan (given) oleh Indonesia, melainkan harus diupayakan secara aktif, dan ini tidak bisa dicapai jika Indonesia tidak mengemban kepercayaan sebagai aktor independen.
Menjaga Kesetimbangan Antara AUKUS dan China
Kepentingan Indonesia menjalin kerjasama strategis dengan negara-negara AUKUS berkenaan dengan dengan kebutuhan nya untuk melakukan modernisasi pertahanan. Kerjasama di bidang pertahanan – baik dalam bentuk pengadaan alutsista, transfer teknologi persenjataan, latihan militer bersama, kerjasama teknis pertahanan maupun dialog dan kesepahaman – yang selama ini telah dibangun Indonesia adalah dengan negara-negara Barat atau NATO (North Atlantic Treaty Organization/ Pakta Pertahanan Atlantik Utara), sehingga tidak mungkin bagi Indonesia untuk menolak atau menentang kehadiran AUKUS.
Meskipun sebagian besar pandangan pemerintah terhadap AUKUS mengekspresikan kekhawatiran tentang potensi trilateralisme tersebut mengeskalasi perlombaan senjata di kawasan Asia Tenggara dan proliferasi senjata nuklir akibat ketidakmampuan IAEA (International Atomic Energy Agency) melakukan verifikasi kepemilikan teknologi dan materi nuklir oleh Australia yang notabene merupakan negara bukan pemilik senjata nuklir, Kementerian Pertahanan memiliki pandangan yang cenderung positif.
Di bulan November 2021, Menteri Pertahanan Prabowo dalam kesempatan Manama Dialogue di Bahrain tahun 2021 mengatakan bahwa Asia Tenggara yang bebas senjata nuklir harus dipertahankan tapi ia dapat memahami dan menghormati kebutuhan setiap negara untuk mempertahankan kepentingan nasional nya. Lalu tahun 2023 juga ditandai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam sebuah interview dengan New Straits Times bahwa AUKUS dan QUAD adalah mitra dan bukan lawan.
Namun Langkah kemitraan strategis bilateral Indonesia sebenarnya telah membuka jalan untuk peran Indonesia menjaga perdamaian kawasan. Pada bulan Agustus 2024 lalu, dalam rentang waktu hanya 1 minggu, Indonesia membuka ruang bagi kemitraan strategis dengan Australia dan China, yaitu dengan kesepakatan Kesepakatan Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA ) dengan Australia dan Pertemuan Pejabat Tinggi 2+2 (Senior Officials Meeting/SOM 2+2) antara Kemenlu dan Kemenhan Indonesia dan China.
Kesepakatan DCI Indonesia-Australia akan meningkatkan interoperabilitas antar Angkatan bersenjatan kedua negara, memperdalam dialog strategis, dan kerjasama teknis pertahanan.
ADVERTISEMENT
Sementara SOM 2+2 Indonesia-China adalah dialog 2+2 pertama dari China dengan negara lain, yang membuka ruang dialog untuk stabilitas Kawasan, termasuk isu-isu terkait Laut China Selatan (LCS).
ADVERTISEMENT
Dengan dua kesepakatan strategis dengan China dan Australia ini, Indonesia telah menyiapkan platform navigasi politik luar negeri antara AUKUS dan China. Indonesia dapat tetap memilih untuk menjalin kemitraan pertahanan dengan negara-negara anggota AUKUS dan menjaga status quo dari kemitraannya tersebut dengan tetap menjaga tidak terlanggarnya kepentingan keamanan China.
Ekspansi Kerjasama Strategis Indonesia-China
Relasi Indonesia-China perlu dikembangkan pada sektor keamanan dan pertahanan. Diversifikasi kerjasama pertahanan ini akan mengkomplementarisasi teknologi pertahanan yang sulit didapatkan dari negara-negara Barat sebagai penyuplai tradisional alutsista impor Indonesia. Namun lebih dari itu kerjasama di sektor keamanan dan pertahanan akan menjaga jalur komunikasi yang efektif untuk menjaga kepercayaan pada level yang baik antara Indonesia dan China.
ADVERTISEMENT
Kerja sama Indonesia-China di sektor pertahanan masih sangat terbatas. Dalam hal Latihan Militer Gabungan, China baru bergabung dengan Indonesia dalam latihan multilateral KOMODO dwitahunan yang digagas oleh Angkatan Laut Indonesia sejak dimulainya pada tahun 2014. Namun di masa pasca deklarasi AUKUS, Indonesia-China menyaksikan sejumlah kerjasama di bidang pertahanan dibangun. Periode ini menyaksikan Indonesia membeli sejumlah sistem pertahanan dari China yang mencakup, hingga tahun 2023, kendaraan tak berawak dan rudal antikapal, termasuk kendaraan udara tak berawak bersenjata CH-4B senilai sekitar US$24 juta, rudal antikapal C-705 dan C-802 senilai gabungan US$89,2 juta dan sistem pertahanan udara gerak sendiri TD-2000B senilai US$80 juta. Baru-baru ini, Indonesia juga menunjukkan minat untuk membeli rudal YJ-12E buatan Tiongkok, rudal jelajah pertahanan pantai. Tampaknya dalam memanfaatkan hubungannya dengan Tiongkok, Indonesia berupaya memenuhi persyaratan pertahanan untuk operasi perang asimetris termasuk A2/AD dan pengawasan di laut.
ADVERTISEMENT
Nilai pembelian senjata dan tingkat kedalaman kemitraan Indonesia dengan China bukan dan tidak akan menjadi substitusi bagi kemitraan dengan negara-negara Barat. Namun Kerjasama ini juga dibarengi dengan keinginan China dan Indonesia untuk memperlancar kemunikasi strategis di antara keduanya. Ekspansi kerjasama pertahanan dan dialog strategis Indonesia-China pasca deklarasi AUKUS adalah indikasi dari keinginan Beijing untuk menjalin komunikasi strategis yang lebih baik dengan Indonesia.
Beberapa Arah Menavigasi AUKUS dan China
Beberapa prinsip yang harus dikedepankan Indonesia terkait dengan menjalin kemitraan pertahanan dengan negara-negara AUKUS adalah sebagai berikut.
Pertama, Indonesia harus hindari menjadi bagian dari AUKUS. Pada dasarnya, China tidak merasa terancam secara langsung oleh AUKUS, tapi tidak menginginkan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur untuk bergabung dengan AUKUS. Sehingga kerjasama apa pun yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara AUKUS seyogyanya dilakukan dalam kerangka kerjasama bilateral, bukan sebagai bagian dari AUKUS.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini AS telah mengindikasikan perlu nya melakukan ekspansi dari kemitraan AUKUS dengan menggandeng negara lain, khususnya Jepang, sebagaimana diindikasikan Duta Besar AS untuk Jepang Rahm Emanuel pada April 2024 lalu. Dalam hal ini Indonesia perlu untuk mencegah adanya negara ASEAN – khususnya Vietnam dan Filipina sebagai negara pendaku LCS – dari bergabung dengan AUKUS, misalnya dengan menerima transfer teknologi pertahanan ofensif atau melakukan latihan militer Bersama di LCS. Hal-hal seperti ini dapat memprovokasi China melakukan eskalasi kehadiran militer di LCS dan meningkatkan ketegangan. Selain itu, pilihan negara-negara ASEAN untuk menjadi bagian dari AUKUS akan memecah multilateralisme regional tersebut menjadi negara-negara pendukung dan penentang AUKUS dan semua misi yang dibawanya.
ADVERTISEMENT
Kedua, Indonesia harus melanjutkan kampanye anti proliferasi senjata nuklir. Diplomasi Indonesia sebagai anggota Board of Governors dari IAEA 2023-2025 perlu diarahkan untuk memastikan bahwa IAEA memiliki mekanisme verifikasi kepemilikan teknologi dan materi nuklir pada platform senjata oleh negara-negara bukan pemilik senjata nuklir (Non-Nuclear Weapon State/NNWS). Tanpa ada mekanisme ini, kepemilikan teknologi Naval Nuclear Propulsion (NNP) oleh Australia akan memicu upaya negara-negara non nuklir lain untuk memperoleh teknologi dan materi nuklir dari negara pemilik senjata nuklir.
Ketiga, Indonesia harus mengedepankan sentralitas ASEAN dengan menggunakan mekanisme-mekanisme-mekanisme regional bersentral pada ASEAN seperti ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), ASEAN Defence Ministerial Meeting Plus (ADMM+) yang tidak hanya beranggotakan negara anggota ASEAN tapi juga mitra-mitra ekstra regional, untuk membicarakan keamanan dan perdamaian di Kawasan Indo-Pasifik, baik dalam hal kepemilikan teknologi dan materi nuklir, keselamatan navigasi maritim dan kelestarian biota laut, maupun teknologi digital mutakhir yang dapat mempengaruhi keamanan Kawasan. Termasuk dalam hal ini adalah penyelesaian Code of Conduct (CoC) untuk keselamatan navigasi dan perdamaian di LCS yang pada tahun 2023 telah disepakati antara ASEAN dan China untuk difinalisasi dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga tahun. Jika tidak, maka dapat dipastikan AUKUS akan men-torpedo sentralitas ASEAN dengan menciptakan polarisasi antar anggota, antara pendukung dan pengkritik AUKUS.
ADVERTISEMENT
***