Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kepulan Asap dari Rusia, Memori Tembakau Indonesia
1 Maret 2022 15:19 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hananto Wibisono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Hananto Wibisono, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (Sekjen AMTI)
Kepulan asap nyaris memenuhi langit kota di Ukraina sejak Kamis, 24 Februari 2022, pagi. Media massa tak henti-hentinya menyiarkan laporan terkini invasi Rusia ke Ukraina. Ramai pula pembicaraan netizen bahwa "agresi militer" Rusia ini menjadi cikal bakal perang dunia ketiga. Saya sendiri tak tertarik membahas adu strategi Rusia-Ukraina.
ADVERTISEMENT
Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa Negeri Beruang Merah ini punya hubungan erat dengan petani tembakau. Loh, kok bisa? Rusia merupakan salah satu dari lima negara besar yang mengekspor tembakau selain Amerika, Belgia, Belanda, dan Jerman.
Berkaca pada data Badan Pusat Statistik, pada 2010 silam, Rusia mengekspor tembakau sebanyak 3.386,60. Jumlah tersebut lalu mengalami penurunan, pada 2011 menjadi 715,80 ton; 2012 menjadi
705,20 ton; 2013 menjadi 237,20 ton; 2014 menjadi 209,60 dan pada 2015 menjadi 117,80 ton. Sedikit banyak, Rusia menjadi market ekspor yang potensial bagi tembakau.
Lalu, ke depan seperti apa nasib tembakau? Terlepas dari kondisi dan market internasional ini. Mari kita melihat realita petani tembakau. Bagi petani, tembakau bukan sekadar mata pencaharian.
ADVERTISEMENT
Tembakau adalah warisan sejarah, budaya, kebanggaan, semangat perjuangan dan harapan. Naik turunnya harga tembakau, stabil tidaknya tata niaga, cuaca yang tidak bisa ditebak, segala ketidakpastian yang terjadi tidak menyurutkan langkah petani untuk menanam tembakau.
Tembakau menjadi satu-satunya andalan petani di saat musim kemarau. Terus, kenapa tidak diversifikasi tanaman saja?
Tidak semudah itu. Seperti yang saya sebutkan di atas, tembakau sudah mendarah daging, sudah menjadi napas dan budaya bagi masyarakat Indonesia. Betapa sulitnya harus berpindah ke lain hati, harus beradaptasi, mulai dari nol. Lagipula, mau pindah ke tanaman apa?
Kita juga tidak bisa menyangkal bahwa industri hasil tembakau adalah mata rantai yang kompleks. Dengan petani di sisi hulu, segala perubahan,tantangan dan tekanan yang dialami petani, akan berdampak pada hilir. Begitupun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Potensi Luar Biasa, Minim Perhatian
Di tengah kondisi pandemi saat ini, petani masih menghadapi berbagai keterbatasan. Masih sangat sedikit dari kelompok petani tembakau yang bisa mengakses permodalan seperti membeli bahan baku bibit dan pupuk, mendapatkan peralatan kerja serta mendapatkan pendampingan langsung. Perhatian pemerintah terhadap komoditas tembakau masih minim padahal potensinya luar biasa.
Sebagai contoh Desa Logandu, Kecamatan Karanggayam. Desa ini termasuk wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem. Namun, Desa Logandu juga diketahui sebagai penghasil tembakau terbesar, mencapai 50 ton dalam semusim. Wilayah perbukitan yang terdapat 1.300 keluarga itu pun sebagian besar bertani tembakau.
Inisiatif justru datang dari warganya melalui kepala desa yang telah mengusulkan agar tembakau Logandu dipatenkan untuk pengembangan ke depan. Pertanyaan yang sama pun kembali terulang, ke mana pemerintah? Di mana pemerintah saat para petani tembakau membutuhkan dukungan, perhatian dan perlindungan? Permintaan petani tak pernah muluk-muluk.
ADVERTISEMENT
Mereka hanya ingin komoditas tembakau diproteksi, diawasi tata niaganya, dan diberikan kemudahan untuk mengakses sumber daya yang dibutuhkan. Petani hanya ingin menanam dengan tenang dan menuai dengan riang. Permintaan yang berlebihan? Saya rasa tidak.
Setiap ada momentum, para petani selalu menyuarakan aspirasi mereka. Melalui media sosial, media mainstream, individu maupun kolektif. Apakah sudah didengar oleh Bapak-bapak yang terhormat? Buktinya sampai sekarang petani tembakau masih nelangsa. (*)