Konten dari Pengguna

Naturalisasi Tidak Akan Pernah Berhenti

Alif Fary Novyan
Bekerja di lingkup perbankan. Penikmat sepak bola.
22 September 2024 14:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alif Fary Novyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jay Idzes dkk merayakan gol ke gawang Arab Saudi. Foto : instagram/jayidzes.
zoom-in-whitePerbesar
Jay Idzes dkk merayakan gol ke gawang Arab Saudi. Foto : instagram/jayidzes.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepintas kembali ke masa lampau, katakanlah, 5 tahun lalu, mungkin tidak ada yang memiliki harapan Indonesia akan tampil di Piala Dunia dalam waktu dekat. Namun, coba tanyakan pada kondisi hari ini, berapa persentase peningkatan keyakinan masyarakat sepak bola Indonesia yang optimis bisa lolos di Piala Dunia 2026.
ADVERTISEMENT
Optimisme ini bukan tanpa alasan. Paling tidak dalam 2 tahun terakhir, kita melihat progres yang luar biasa signifikan diraih oleh Tim Nasional. Mulai dari medali emas Sea Games 2023, untuk pertama kalinya melenggang ke babak 16 Besar Piala Asia 2023, semifinal Piala Asia U-23 2024, lolos ke babak 3 kualifikasi Piala Dunia 2024, hingga terakhir berhasil menahan imbang Arab Saudi dan Australia untuk menjaga asa tampil di Piala Dunia 2026. Melihat jurang lebar peringkat FIFA antara Indonesia dengan 2 negara tersebut, wajar rasanya bila keyakinan untuk lolos ke tahap berikutnya membumbung tinggi.
Capaian ini cukup membanggangkan, setidaknya di level Asia Tenggara, baru ada 3 negara yang berhasil lolos sampai tahap ini. Thailand lebih dulu melakukannya pada putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2018 dengan hasil 2 poin dari 10 pertandingan. Pada edisi berikutnya, giliran Vietnam dengan raihan 4 poin di putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2022. Artinya, Jay Idzes dkk hanya perlu 2 poin tambahan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Asia Tenggara dengan capaian terbaik di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan euforia terhadap rentetan hasil positif timnas, nada minor serta kritik masih terdengar, utamanya ditujukan kepada PSSI. Mulai dari pengamat sepak bola, mantan pemain, sampai tokoh politik tidak sedikit yang mempertanyakan arah kebijakan PSSI. Asbabun nuzulnya adalah program naturalisasi yang sedang getol dikerjakan federasi. Poin kritik mereka berkutat seputar soal nasionalisme dan patriotisme, regenerasi dan pembinaan, kesempatan pemain lokal, hingga naturalisasi ini hanyalah penipuan terhadap sensasi semata.
Ragnar, Sandy dan Rafael merayakan gol ke gawang Arab Saudi pada lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026. Foto : instagram.com/sandywalsh.

Arah kebijakan Naturalisasi yang berbeda

Setidaknya sejak tahun 2010, telah terdapat 30 pemain naturalisasi yang membela timnas dalam 5 era ketua PSSI yang berbeda. Nama pertama adalah Cristian Gonzalez pada masa kepemimpinan Nurdin Halid. Dilanjutkan saat era Djohar Arifin dimana masa terbanyak melakukan naturalisasi dengan 11 pemain. Tidak berhenti saat Edy Rahmayadi dan Mochamad Iriawan memimpin dengan masing-masing 5 dan 4 pemain naturalisasi. Tampaknya ini belum akan berakhir, per Agustus 2024 saja, di bawah kepempinan Erick Thohir, PSSI telah melakukan 9 pemain naturalisasi, belum termasuk Mees Hilgers dan Eliano Reijnders yang sedang dalam proses melakukan sumpah menjadi WNI.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk melihat dalam 14 tahun terakhir dan 5 era kepemimpinan PSSI berbeda, selalu ada naturalisasi pemain yang dilakukan. Namun, bila dicermati, ada perbedaan visi program terhadap pemain yang akan dinaturalisasi. Pada Medio awal, materi pemain yang dinaturalisasi seakan lebih liar dan serampangan. Mayoritas dari mereka adalah pemain asing yang bermain di klub Liga 1, tidak memiliki darah Indonesia, telah berada pada penghujung masa keemasan sebagai pesepakbola dan bukan merupakan kebutuhan pelatih saat itu.
Bahkan, proyek ini dimanfaatkan oleh beberapa klub hanya untuk mengakali kuota pemain asing di liga. Hasilnya, pemain seperti Diego Michiels, Kim Jeffrey, Tony Cussel, Jhonny Van Beukering, Greg Nwokolo, Bio Paulin tidak sampai mengoleksi dua digit caps di Timnas.
ADVERTISEMENT
Jauh berbeda dengan yang dilakukan saat ini, sejak era Mochamad Iriawan dilanjutkan Erick Thohir. Target utamanya jelas, memiliki darah keturunan Indonesia yang bermain di luar negeri, masih dalam usia muda, sesuai kebutuhan Shin Tae Yong dan mampu membawa Indonesia bersaing di level Asia. Sekali lagi, Asia, bukan Asia Tenggara. Proyek dijalankan lebih serius dan selektif.
Sebut saja Jay Idzes, bermain untuk Venezia di Serie A, akan rutin menghadapi striker tajam dari Juventus, AC Milan, Napoli hingga Inter Milan. Marteen Paes di Dallas FC, berada di liga yang sama dengan Messi, Suarez dan Olivier Giroud. Kemudian Thom Haye dan Calvin Verdonk yang bermain di Liga Utama Eredivise Belanda. Mereka semua saat ini menjadi tulang punggung Garuda.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sepak bola, ini adalah realitas yang wajar terjadi. Di Negara yang sepak bolanya maju pun juga melakukan hal yang demikian. Persoalannya Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, doktrin NKRI harga mati menjadikan ini isu sensitif. Opsi dual citizenship menjadi mucul ke permukaan. Menarik untuk dibahas dalam kajian lebih lanjut.

Indonesia Bukan Negara Sepakbola

Tentu bukan pertama kali anda mendengar kalimat sinis, “Masa mencari 11 pemain dari 270 juta penduduk saja tidak bisa?”. Ini adalah salah satu kesalahan berfikir yang fatal. Bila parameternya adalah jumlah penduduk, Indonesia mungkin sudah 3 kali menjuarai Piala Dunia. Masalahnya, sepak bola bukan soal jumlah penduduk.
Lebih dalam terkait pernyataan tersebut, melihat jumlah pastisipasi sepak bola masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negara lain sungguh sebuah ironi. Menurut Ratu Tisha, Wakil Ketua PSSI, registered players Indonesia hanya sekitar 300 ribuan dari jumlah penduduk. Sehingga, pertanyaanya harus diubah, “Bagaimana cara meningkatkan jumlah partisipasi sepak bola Indonesia?”. Karena partisipasi inilah yang nantinya akan membiayai prestasi.
ADVERTISEMENT
Sebaga perbandingan, pada tahun 2017, Ketua PSSi saat itu Edy Rahmayadi, juga mengeluhkan hal yang sama. Thailand memiliki 1,3 Juta pemain dari 64 juta penduduk. Di Eropa misalnya, Spanyol mempunyai 4,1 juta pemain dari 46,8 juta penduduk. Secara persentase jelas kita memiliki gap yang sangat jauh.
Akui saja, selama ini kita hanyalah komoditas bagi industri sepak bola global. Indonesia hanyalah negara penikmat sepak bola, belum seutuhnya sebagai pelaku sepak bola. Bisa dilihat dari social media kalian, bagaimana saat ini akun sepak bola global mencari peruntungan viewers dan followers dengan mem-posting hal berbau Indonesia.
Kondisi ini penting disadari oleh federasi dan supporter. Bagi federasi jelas untuk segera mengalihkan mata perhatian kepada proses pembinaan sampai level akar rumput. Untuk supporter, ini pengingat bahwa semua perlu proses. Tidak ada yang instan, bukanlah sebuah musibah bila akhirnya timnas belum bisa lolos ke babak berikutnya.
ADVERTISEMENT
Momen tren positif timnas dan para pemain keturunan yang bermain di liga top eropa, seharusnya bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan pastisipasi sepak bola Indonesia. Anak-anak muda Indonesia setidaknya memiliki harapan dan inspirasi bahwa bermain di tim top eropa bukan lagi mimpi di siang hari. Impian untuk bertanding di Piala Dunia itu nyata adanya.
Bersama suporter setia La Grande Indonesia. Foto : instagram.com/thomhaye.

Esensi Roadmap Sepakbola Indonesia

Sejatinya, naturalisasi dan pembinaan usia muda tidak bisa dipertentangkan satu sama lain. Melakukan naturalisasi bukan berarti kontra pembinaan, pun sebaliknya. Keduanya jelas berbeda, meski memiliki singgungan.
Tren positif yang diraih timnas saat ini tidak serta merta menutupi lubang besar pekerjaan rumah PSSI. Partisipasi masyarakat yang minim, piramida kompetisi, infrastruktur, pelatih berkualitas adalah beberapa poin utamanya.
ADVERTISEMENT
Pembinaan tetap nomor satu, ini adalah hal sangat mendasar. Masalahnya, pembinaan itu memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Hasilnya tidak bisa dirasakan cepat. Jelas PSSI mengetahui ini, sayangnya tidak pernah digarap secara serius dan kontinuitas. Ketidakseriusan ini bisa dilihat dari sulitnya publik mendapatkan akses terhadap roadmap sepakbola Indonesia.
Ambil contoh Jepang, kembali pada persoalan partisipasi, adalah kunci keberhasilan mereka menguasasi sepak bola asia saat ini. Keseriusan Jepang terhadap pembinaan sampai level akar rumput dapat dilihat dengan adanya kompetisi yang terstruktur dan berjenjang di tingkat sekolah. Sama halnya dengan Australia, dalam roadmap sepak bola 2022 – 2026 mereka memiliki 4 pilar utama. Partisipasi menjadi pilar pertama.
Publikasi roadmap menjadi penting agar sepak bola Indonesia memiliki arah yang jelas dalam jangka panjang secara menyeluruh. Ia berfungsi sebagai acuan terhadap kebijakan yang akan muncul. Ini adalah bentuk tanggung jawab federasi kepada publik terhadap keseriusannya mengurus sepak bola Indonesia.
ADVERTISEMENT
Naturalisasi adalah keperluan taktik. Siapapun ketua PSSI nya, tidak ada yang bisa menjamin federasi akan berhenti melakukan naturalisasi. Kita telah melakaknnya dalam 5 era kepemimpinan yang berbeda. Tidak salah. Selama kualifikasi pemain dengan kebutuhan tim menemukan irisannya, silakan saja diproses.
Jangan ragukan juga nasionalisme mereka saat mengenakan lambang Garuda di dada. Lihatlah air mata bahagia Thom Haye saat mencetak gol pertamanya di GBK. Kesetiaan Sandy Walsh dan kemauannya untuk menjawab setiap pertanyaan dengan bahasa Indonesia. Janji setia Shayne Pattynama kepada ayahnya untuk membela Garuda. Keras dan lantangnya suara Justin Hubner, Jay Idzes hingga Ragnar Oratmangoen saat Indonesia Raya dikumandangkan. Mereka dibesarkan di negara yang menganut kewarganegaraan ganda, normal baginya untuk mencintai lebih dari satu negara.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan timnas bukan berarti pembinaan serta kompetisi dalam negerinya berjalan baik. PSSI masih memiliki tugas berat untuk memperbaiki ekosistem sepak bola Indonesia. Kurang seksi memang dilihat dari kacamata pengurus, karena hasilnya tidak bisa cepat dirasakan. Namun, jika ingin melihat merah putih bersanding sejajar dengan negara lain di Piala Dunia, rasanya sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulainya. Hingga pada akhirnya, Indonesia tidak perlu sibuk mencari talenta nan jauh di sana, tetapi melahirkan talenta itu sendiri.