Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Negosiasi Politik sebagai Jantung Komunikasi Demokrasi
7 Mei 2025 21:57 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Alif pratama putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Demokrasi bukanlah tentang siapa yang paling keras berbicara, melainkan siapa yang mampu mendengar, memahami, dan merajut perbedaan menjadi keputusan bersama.”

Di tengah hiruk-pikuk politik elektoral yang semakin terjebak dalam gimik, populisme murahan, dan fanatisme partisan, ada satu hal yang diam-diam menghilang dari wajah demokrasi kita negosiasi. Ya, negosiasi sebuah kata yang kerap diasosiasikan dengan kompromi, kelemahan, bahkan pengkhianatan terhadap prinsip. Dalam iklim politik Indonesia hari ini, ketika keberanian bicara dianggap lebih penting dari kemampuan mendengar, dan kecepatan membuat konten lebih dihargai ketimbang ketepatan menyusun kebijakan, negosiasi menjadi semacam kata kotor yang dihindari oleh para politisi yang mendamba tepuk tangan cepat dari publik.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika kita benar-benar memahami esensi demokrasi, kita akan menemukan bahwa negosiasi bukan sekadar bagian dari prosesnya negosiasi adalah jantungnya. Tanpa negosiasi, demokrasi tak ubahnya panggung monolog kekuasaan, tempat satu suara mendominasi, dan semua perbedaan dipaksa tunduk dalam diam. Demokrasi sejati bukan soal siapa yang menang, melainkan bagaimana kita menang bersama.
Secara teoritis, komunikasi politik adalah proses pertukaran simbolik di ruang publik yang menyangkut kekuasaan, makna, dan kebijakan. Denis McQuail menyatakan bahwa komunikasi politik selalu bersifat strategis ia bukan percakapan netral, tapi penuh kalkulasi, intensi, dan tujuan. Dalam kerangka ini, negosiasi politik bukan sekadar forum diskusi, melainkan pertempuran makna, adu kepentingan, dan penyusunan arah kebijakan secara kolektif. Di sinilah teori menjadi penting untuk mengingatkan kita bahwa di balik tiap debat, ada nilai yang sedang dipertaruhkan dan di balik tiap kesepakatan, ada sejarah pemaknaan yang membentuknya.
ADVERTISEMENT
Namun, realitas di Indonesia jauh dari ideal tersebut. Praktik negosiasi politik di negeri ini sering kali tidak lebih dari transaksi kekuasaan yang diselubungi jargon kebangsaan. Dalam sistem presidensial kita yang gemuk oleh koalisi, negosiasi kerap kali bukan sarana mencari solusi bersama, tetapi cara menjaga keseimbangan kekuasaan yang rapuh. Perundingan politik di balik layar menjadi panggung sesungguhnya, sementara rapat terbuka hanya formalitas yang diliput media. Ruang deliberasi publik tergantikan oleh talkshow opini, di mana suara keras lebih penting daripada argumen cerdas.
Ambil contoh dalam pembahasan Undang-Undang yang krusial seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU KPK, atau RUU Penyiaran yang belakangan ini menuai banyak kritik. Di semua kasus itu, pola yang sama terjadi proses negosiasi berlangsung tanpa partisipasi publik yang berarti, ditutup rapat dengan alasan efisiensi, dan hasil akhirnya mengundang protes luas karena dianggap tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Demokrasi menjadi prosedural, bukan substansial. Ada pemilu, ada parlemen, ada suara mayoritas tapi tidak ada ruang untuk perbedaan disampaikan secara deliberatif.
ADVERTISEMENT
Dalam atmosfer seperti ini, para aktor politik pun berubah wajah. Dari pemimpin yang seharusnya menjadi juru runding antar kepentingan, mereka menjelma menjadi selebritas digital yang lebih sibuk mengatur pencitraan di media sosial. Thread Twitter, video TikTok, dan caption Instagram menjadi senjata utama mereka. Tak salah jika publik menyebut banyak politisi kita lebih fasih dalam menciptakan sensasi ketimbang substansi.
Akibatnya, ruang negosiasi dikooptasi oleh ego personal dan narasi populis. Debat bukan lagi tempat mencari jalan tengah, tapi arena menunjukkan siapa paling berani “nyablak”. Framing media dan algoritma digital memperparah situasi. Hanya suara yang ekstrem yang viral, sementara suara moderat tenggelam dalam keheningan. Demokrasi kehilangan salah satu elemennya yang paling penting kemampuan untuk berbeda tanpa saling membatalkan.
ADVERTISEMENT
Padahal, negosiasi adalah keterampilan politik yang paling penting di abad ke-21. Di tengah dunia yang makin kompleks dengan krisis iklim, konflik geopolitik, migrasi massal, dan kemajuan teknologi yang disruptif hanya masyarakat yang mampu bernegosiasi dengan baik yang bisa bertahan. Ini bukan hanya berlaku di level internasional, tapi juga domestik. Ketika Indonesia menghadapi polarisasi sosial akibat perbedaan ideologi, agama, atau identitas, maka keterampilan untuk duduk bersama, mendengarkan, dan mencari titik temu menjadi sangat vital.
Sayangnya, pendidikan politik kita belum menempatkan negosiasi sebagai bagian dari kurikulum kewarganegaraan. Generasi muda diajarkan untuk menang dalam debat, tapi tidak diajarkan bagaimana menang bersama orang yang berbeda pendapat. Kita tumbuh dalam kultur kompetisi, bukan kolaborasi. Tidak heran jika banyak aktivis muda yang hebat di media sosial, tetapi kesulitan ketika harus membangun aliansi di lapangan. Negosiasi dianggap sebagai kompromi terhadap idealisme, padahal justru di situlah ujian sejatinya.
ADVERTISEMENT
Kita perlu membedakan antara dua hal yang selama ini dikaburkan dalam politik kita transaksi dan transendensi. Transaksi adalah pertukaran kepentingan secara pragmatis sementara transendensi adalah proses menjembatani perbedaan melalui visi yang lebih tinggi. Politik Indonesia hari ini terlalu banyak transaksi, terlalu sedikit transendensi.
Negosiasi yang ideal bukan soal “bagi-bagi kursi” atau “bagi-bagi proyek”. Ia adalah forum di mana ide, nilai, dan kepentingan diuji melalui argumentasi rasional dan empati sosial. Ia bukan jalan pintas menuju kekuasaan, tapi jembatan menuju kebijakan yang inklusif. Dalam sejarah, kita melihat banyak contoh bagaimana negosiasi bisa menjadi kekuatan yang transformatif dari proses kemerdekaan Indonesia yang penuh dialog antara berbagai kelompok, hingga reformasi 1998 yang menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam satu aspirasi.
ADVERTISEMENT
Namun hari ini, kita justru bergerak mundur. Ruang negosiasi politik makin eksklusif. Oligarki mengunci akses masuknya, dan rakyat hanya menjadi penonton. Demokrasi yang seharusnya menjadi milik bersama, kini menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh segelintir elite.
Maka, tugas kita bukan sekadar mengkritik para elite, tetapi juga membangun ruang negosiasi alternatif dari bawah. Di era digital ini, kita punya peluang besar untuk menciptakan forum-forum deliberatif baru podcast kebijakan publik, ruang Twitter Space, diskusi YouTube, hingga forum warga berbasis komunitas. Media sosial tidak harus jadi arena polarisasi ia bisa menjadi ruang perjumpaan, asal digunakan dengan niat membangun, bukan menghancurkan.
Negosiasi publik juga harus menjadi budaya. Dalam keluarga, sekolah, kampus, dan tempat kerja, kita harus membiasakan diri berdialog. Konflik tidak harus selalu dihindari yang perlu dihindari adalah ketidakmampuan kita mengelolanya. Demokrasi bukan soal kesepakatan mutlak, tapi kemampuan untuk hidup bersama dalam perbedaan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengubah arah ini, kita memerlukan reformasi politik yang radikal tapi realistis. Pertama, partai politik harus direformasi agar menjadi ruang pendidikan politik publik. Setiap kader harus dibekali keterampilan negosiasi, argumentasi, dan komunikasi lintas identitas. Kedua, sistem legislasi harus dibuka seluas mungkin. Setiap RUU penting harus melalui proses deliberasi publik yang terbuka, tidak hanya uji materi di Mahkamah Konstitusi setelah disahkan.
Ketiga, media massa harus menjadi wasit yang adil dalam proses demokrasi. Jangan hanya mengejar rating dan klik bait. Media punya tanggung jawab etis untuk memfasilitasi ruang dialog, bukan memperkeruhnya dengan polarisasi. Keempat, pendidikan politik deliberatif harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak dan remaja harus diajarkan bagaimana menyampaikan pendapat tanpa membatalkan pendapat orang lain. Ini bukan sekadar keterampilan demokrasi, tapi juga keterampilan hidup.
ADVERTISEMENT
Kita tidak bisa menutup mata bahwa era digital membawa dua wajah satu wajah harapan, satu wajah ancaman. Di satu sisi, teknologi memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas. Tapi di sisi lain, ia juga menciptakan fragmentasi informasi, ruang gema, dan budaya cancel. Dalam konteks ini, negosiasi menjadi semakin penting, sekaligus semakin sulit.
Algoritma media sosial bekerja berdasarkan afinitas, bukan perbedaan. Kita cenderung hanya melihat konten yang sesuai dengan preferensi kita. Maka, kemampuan untuk membuka diri, keluar dari gelembung informasi, dan mendengarkan dengan empati menjadi kompetensi politik yang paling mendesak.
Demokrasi bukan hanya soal suara terbanyak, tetapi soal keberanian mendengarkan suara yang berbeda. Dan negosiasi adalah mekanisme utama untuk mewujudkan keberagaman itu menjadi kebijakan bersama. Kita harus berhenti menganggap negosiasi sebagai simbol kelemahan. Justru di sanalah letak kekuatan sejati politik kemampuan untuk menjembatani jurang, bukan memperlebar jarak.
ADVERTISEMENT
Kita tidak butuh politisi yang pandai marah, tapi pemimpin yang mampu menenangkan. Kita tidak butuh influencer kebijakan, tapi pemikir publik yang sabar dalam mendengarkan. Kita tidak butuh demokrasi yang gaduh tapi hampa, tapi demokrasi yang hening tapi bermakna.
Negosiasi politik adalah titik temu antara harapan dan kebijakan, antara retorika dan solusi, antara idealisme dan realitas. Tanpanya, demokrasi kehilangan ruhnya. Maka, mari kita pulihkan kembali napas demokrasi itu dengan bicara, mendengar, dan berani duduk bersama dalam perbedaan.