Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Toleransi di Tengah Genosida: Suara Antara Hari Raya dan Konflik Global
27 Desember 2023 8:45 WIB
Tulisan dari Alif pratama putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya muslim keturunan dari keluarga besar penganut Islam, jadi sejak lahir sudah dipastikan saya beragama Islam. Menjadi muslim di negara multi religi seperti Indonesia ini kita mengenal hari raya banyak agama, seperti yg diakui Undang-Undang ada 6 keyakinan yang pemeluknya ada disini maka minimal ada 6 tanggal merah dalam satu tahun khusus untuk hari raya 6 agama. Kabar baiknya ada yang hari rayanya lebih dari 1 jadi menambah hari libur. Selama 18 tahun menyambut hari libur itu dengan suka cita. Saya menyebutnya toleransi umat beragama di negeri ini amat berjalan. Kami yang muslim liburan saat umat kristiani merayakan Natal, begitu juga sebaliknya. Semoga kerukunan bertoleransi ini tak pernah goyah.
ADVERTISEMENT
Akhir tahun dikenal holiday season, dimana hari Ibu, Natal lanjut tahun baru jadi momentum liburan bagi banyak keluarga. Bagaimana tidak diwaktu ini juga kaldik libur semesteran serentak sedari jenjang pendidikan Paud hingga perguruan tinggi. Cuti bersama jadi agenda yang ditunggu banyak keluarga untuk berlibur bersama orang-orang tercinta dengan versi masing-masing. Di keluarga kecil kami sibuk mengajukan usulan liburan. Namun tahun ini terasa berbeda, dari subyektifitas saya euforia suka cita itu meredup seiring viralnya agresi Israel yang sudah masuk hari ke 75.
Media-media besar dunia estafet mengabarkan perang ini dari berbagai sudut kepentingan. Media-media nasional seolah tak lelah menjadikan isu ini jadi headline news setiap waktu. Tak ketinggalan media sosial yang dalam 24 jam tajam menyuguhkan conten agresi ini detail sesuai keberpihakan pemilik akun.
ADVERTISEMENT
Awalnya saya kira ini hanya bahan baku media untuk bisa terus eksis. Nyatanya mahasiswa dan pelajar meja-meja di kafe, kaum pekerja di warung tenda hingga driver ojol di warteg memilih topik ini sebagai teman menghabiskan santapan yang dipesan. Jangan kaget saat di mini market anak-anak balita dengan fasih melantunkan lagu-lagu heroik para pejuang Palestina sambil menemani ibunya yang sibuk memilih item belanjaan bebas boycot atas arahan MUI.
Mayoritas warga dunia sepakat ini bukan perang, tapi genosida, pembantaian untuk melenyapkan etnis Palestina untuk mengukuhkan kekuasaan Israel atas tanah mereka yang sudah 75 tahun dalam penjajahan. Ironisnya Israel ini didukung negara adi kuasa sekelas US, Inggris dan sekutunya bermodalkan semua persenjataan tercanggih yang pernah ada dalam peradaban manusia dari semua sisi penyerangan udara, laut & darat. Sementara Palestina hanya digawangi pasukan pejuang lokal kota Gaza yang dikenal brigade Izzudin, mereka adalah sayap militer dari partai politik hamas yang memenangkan pemilu di Palestine. Pasukan ini hanya bermodalkan peluru rakitan sendiri karna sudah hampir 2 dekade kotanya diblokade Israel hingga hanya memiliki pertahanan darat saja. Saya tidak akan lanjut membahas ini tapi sedikit yang saya ulas diatas sudah cukup menyadarkan masyarakat dunia kalau ada yang tidak beres dengan perang ini. Israel dan sekutunya tak kunjung tuntas menyudahi hamas hingga hari ke 75, malah semakin menambah korban sipil yang nyaris menyentuh angka 30ribu
korban jiwa (12ribu anak-anak, 8ribu wanita) dari serangan membabi buta Israel. Sementara Hamas target utamanya semakin kokoh dalam perlawanan.
Masifnya pergerakan berita media massa dan conten media sosial melahirkan hal-hal baru. Definisi teroris yang kental jadi label hamas berbalik ke Israel yang di cap the real terorism. Para pejuang yang wajahnya tersembunyi dibalik sorbannya jadi idola baru kaum hawa usia dini hingga ibu-ibu hampir bercucu. Sosok-sosok warga Palestina yang tertangkap kamera jadi ikon ketabahan yang sangat religius. Istilah semua bisa dibuat di Cina namun hanya di Gaza keberanian dihasilkan, jadi caption paling viral 2.5bulan terakhir. Realitas ini menggeser nilai-nilai dan kebiasan banyak orang, termasuk saya dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Tak ada kehikmatan momentum hari Ibu saat ribuan ibu di Gaza kehilangan buah hatinya bahkan wafat bersama dalam serangan brutal saat mereka sedang tertidur. Tak ada Ibu yang tak terluka menyaksikannya, justru semakin kuat menanamkan makna bersyukur. Teman-teman kristiani saya tak ada yang hingar bingar merayakan natal, mereka merenung dalam prihatin negeri kelahiran Yesus dalam suasana genosida disana gereja-gereja dan jamaahnya dibom tak ampun. Hingga menunggu detik-detik pergantian tahun tak terlihat spanduk-spanduk besar perayaan di pusat perbelanjaan seperti biasanya.
Saya tutup tulisan ini dengan mengajak semua untuk terus mendoakan agar genosida di tanah para nabi itu segera
berakhir. Dan kita bisa mengambil hikmah terbaiknya, kuatkan rasa syukur di hati-hati kita atas banyak kenyamanan hidup yang didapat. Salah satunya hidup di Indonesia dalam keberagaman yang damai, tanpa konflik dan saling bertoleransi satu dengan lain. Doakan para pemimpin kita agar dapat terus menjaga kedamaian ini. Jangan lupa, damainya negara kita, sangat dibenci oleh para penjajah.
ADVERTISEMENT
Salam
Alif Pratama Putra