Runtuhnya (Lagi) Institusi Mahkamah Agung?

Alif Fachrul Rachman
Associate Probation at Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm
Konten dari Pengguna
28 September 2022 20:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alif Fachrul Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua KPK RI Firli Bahuri menggelar konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) pegawai Mahkamah Agung di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat (22/9/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK RI Firli Bahuri menggelar konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) pegawai Mahkamah Agung di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat (22/9/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Alif Fachrul Rachman
Kasus suap dalam perkara Kepailitan Koperasi Simpan Pinjam (Intidana) yang menyeret salah satu Hakim Agung dan berbagai jajaran ASN di lingkungan Mahkamah Agung (MA) merupakan potret dari tragedi buramnya penegakan hukum Indonesia. Bahkan melalui tragedi tersebut, dapat dikatakan bahwa penegakan hukum yang berlangsung saat ini belum sepenuhnya menjamin yang salah adalah yang kalah dan yang menang adalah yang benar.
ADVERTISEMENT
Gambaran demikian sekilas mengingatkan saya terhadap potret buram MA pada periode orde baru dan orde lama ketika usia MA yang terbilang masih remaja. Sebagaimana yang pernah dilukiskan oleh salah seorang ahli hukum kebangsaan Belanda, Sebastian Pompe, melalui karyanya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, Pompe berhasil memotret berbagai kelemahan Penegakan Hukum dalam institusi MA, baik dari sistem dan kualitas moral para pejabat.
Dari aspek sistem, analisa Pompe mengarah pada kelemahan institusi yang masih terkooptasi oleh Penguasa ketika itu, sehingga MA dinilai tidak independen. Jika merujuk pada konsep dan teori klasik dalam pembagian cabang kekuasaan negara, maka kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif berada pada derajat yang sama dan saling memiliki fungsi berdiri sendiri (interdependensi) yang berorientasi untuk menghasilkan upaya saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Namun demikian, secara praktis pada masa orde baru dan lama, Eksekutif dalam beberapa hal selalu berusaha terlibat dalam agenda Yudikatif, bahkan secara institusi MA sangat tersandera dengan skema tata organisasi yang dikonsepsikan oleh penguasa ketika itu, di mana Pengelolaan Sumber Daya Manusia di MA dikoordinasikan melalui badan Eksekutif, yaitu Kementerian Kehakiman.
ADVERTISEMENT
Kondisi demikian yang pada akhirnya menjadikan praktik pengaruh kekuasaan mengintervensi proses penegakan hukum, sehingga berbagai putusan yang menyangkut tentang kepentingan Eksekutif relatif tidak pernah kalah di Pengadilan.
Sedangkan dari aspek moralitas, analisa Pompe mencoba menghubungkan moralitas pejabat/hakim dengan proses tata pengelolaan managemen organisasi, sebab melalui rekrutmen tersebutlah lahirnya pejabat/hakim yang dinilai memiliki integritas dan sikap profesional yang tinggi. Pandangan Pompe setidaknya didukung oleh analisa Alexander Hamilton yang merupakan mantan Hakim Agung di Amerika Serikat yang dalam analisanya menyebutkan bahwa untuk menakar independensi suatu institusi peradilan maka dibutuhkan tiga instrumen yang harus dipenuhi, Pertama, masa jabatan yang relatif panjang, Kedua, rekrutmen yang transparan, dan Ketiga, tata organisasi yang terpisah dari institusi kekuasaan (independen).
ADVERTISEMENT
Hal yang unik -jika tidak ingin disebut aneh- adalah fakta bahwa saat ini MA telah berdiri secara independen, namun demikian, ternyata tetap juga tidak luput dari praktik mafia peradilan. Berbagai analisa Pompe tersebut nyatanya secara praktis telah dilakukan upaya perbaikan oleh berbagai pihak, khususnya pasca Amandemen UUD 1945. Di mana kini MA telah berdiri secara independent sebagaimana yang tertulis secara expressive verbis dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang Merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan.
Secara paradigmatik, pemaknaan independen tersebut dapat dipandang sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, kemerdekaan dan kemandirian dapat berpengaruh positif terhadap pengambilan dan pembentukan putusan yang sesuai dengan hukum dan keadilan. Namun di lain sisi kemerdekaan justru dapat mengarahkan pada tirani penegakan hukum yang justru berakhir pada (oknum) pejabat di lingkungan MA untuk merdeka dalam menjual belikan perkara.
ADVERTISEMENT
Di lain situasi, berbagai upaya mengawasi proses hukum oleh hakim saat ini sering sekali diartikan sebagai bentuk intervensi terhadap pengadilan. Seperti dalam bentuk pengawasan Komisi Yudisial (KY) yang dalam beberapa kasus justru tidak diindahkan oleh MA dengan alasan bahwa hal tersebut telah memasuki teknis peradilan dan dapat dinilai mengintervensi proses penegakan hukum. Pandangan demikian memang dapat dibenarkan dari sisi teoretis, seperti yang pernah diungkapkan oleh Robert Dahl yang mengemukakan bahwa jantung demokrasi adalah pengadilan yang bebas dari intervensi berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah. Namun demikian, jaminan terhadap independensi hakim juga tidak boleh menegasikan akuntabilitas penegakan hukum.
Keberadaan prinsip independensi tidak boleh disalahartikan maupun disalahgunakan dalam menjalani tugasnya sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, MA dalam menjalankan visinya untuk mewujudkan badan peradilan indonesia yang agung, di samping menerapkan prinsip independen, harus juga dapat menunjukan kode perilaku akuntabilitas pejabat penyelenggara kekuasaan kehakiman sehingga dapat mengimbangi prinsip independen.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan praktik di berbagai negara, hubungan antara Independensi dan akuntabilitas sering diasumsikan sebagai prinsip yang saling menegasikan, namun demikian keduanya merupakan dua prinsip kunci dalam kekuasaan kehakiman yang demokratis. Apabila independensi dan akuntabilitas tidak diletakkan secara proporsional, maka justru akan saling membahayakan dan akan berpengaruh pada pelaksanaan prinsip negara berdasarkan hukum yang demokratis. Oleh karena itu, menjadi penting bagaimana mencari ‘balancing’ kedua prinsip ini dalam tataran normatif dan implementatif.