Konten dari Pengguna

Fenomena Pesepeda Dadakan sebagai Pengaruh Budaya Populer

Alif Yahya Lutfi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
30 Desember 2020 21:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alif Yahya Lutfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anya Geraldine (@anyageraldine)
zoom-in-whitePerbesar
Anya Geraldine (@anyageraldine)
ADVERTISEMENT
Storey (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan perkembangan intelektual, spiritual, estetis; pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu; dan, karya dan pretik intelektual terutama aktivitas artistik. Yang terpenting dari budaya populer adalah kata populer, William memaknai istilah populer sebagai berikut: banyak disukai orang, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang (Storey, 2003: 10).
ADVERTISEMENT
Budaya Populer erat kaitannya dengan budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi tanpa pertimbangan apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau tidak. Budaya popular dianggap sebagai dunia impian kolektif. Budaya massa ini berkembang sebagai akibat dari kemudahan-kemudahan reproduksi yang diberikan oleh teknologi seperti percetakan, fotografi, perekaman suara, dan sebagainya (Malthy dalam Tressia, 20:37).
Budaya Popuper berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya popupler dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial (Storey, 2003: 10-16). Budaya popular didominasi oleh produksi dan konsumsi barang-barang material dan bukan oleh seni-seni sejati, dimana penciptaannya didorong oleh motif laba.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut kian dipertegas dengan pernyataan Ibrahim (2006) yang menyatakan bahwa budaya populer yang disokong industri budaya telah mengkonstruksi masyarakat yang tidak sekedar berlandaskan konsumsi, tetapi juga menjadikan artefak budaya sebagai produk industry dan sudah tentunya komoditi.
Istilah budaya populer (popular culture) secara harfiah dalam bahasa latin berarti budaya orang-orang atau masyarakat. Mungkin karena itulah banyak pengkaji budaya yang melihat budaya yang hidup dan serangkaian artefak budaya yang bis akita temui dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan orang
Di era globalisasi seperti saat ini, berbagai macam informasi dapat dengan mudah diperoleh melalui berbagai media. Kemudahan inilah yang membuat sebuah informasi dapat dengan cepat tersebat di masyarakat. Kehadiran media baru merupakan sebuah alternatif dalam hal berbagi informs. Marshall McLuhan mengungkapkan bahwa media baru adalah perkembangan teknologi komunikasi umat manusia.
ADVERTISEMENT
Di era media baru atau media sosial, komunikasi dua arah menjadi lebih dominan. Lalu bagaimana peran media baru sebagai sumber informasi menjadi trendsetter suatu budaya? Jawabannya tentu dengan mempersuasi calon konsumen yang tidak lain dan tidak bukan adalah masyarakat atau khalayak. Di Indonesia sendiri pengguna media sosial sendiri telah lebih dari 150 juta orang, yang dapat menjadi target market dari suatu produsen komoditas.
Dengan besarnya jumlah pengguna media social di Indonesia, maka jika ada suatu hal yang viral di media sosial maka akan timbul suatu budaya baru, yang akan dikenal dengan budaya populer. Sebut saja bersepeda, karena banyak kampanye gaya hidup sehat di sosial media banyak orang kemudian berbondong-bondong mengikuti aktivitas bersepeda meskipun di masa pandemi Covid-19 sekalipun. Terbentuknya budaya baru ini bukan terjadi begitu saja, melainkan pasti ada yang memulainya. Banyaknya selebgram, selebritis yang mengikuti trend tersebut membuat tidak sedikit pengikutnya juga tergerak melakukan aktivitas yang sama.
ADVERTISEMENT
Para selebgram ini tahu betul bagaimana mereka dapat menginfluence banyak orang untuk dapat menjadi seorang trendsetter suatu budaya baru atau budaya populer. Mereka juga dapat mendongkrak penjualan sepeda dari suatu brand hanya dengan memposting kegiatan bersepeda menggunakan produk sepeda tersebut. Para pengikut biasanya akan tertarik untuk memliki barang yang sama dengan apa yang dimiliki idolanya tersebut.
Namun ditengah implementasinya, trend bersepeda ini juga dinilai kurang sesuai dengan keadaan sekarang. Dimana seharusnya masyarakat dianjurkan untuk di rumah saja, namun mereka tetap keluar untuk bersepeda untuk sekedar nongkrong-nongkrong. Banyak dari mereka juga mengabaikan protokol Kesehatan yang dianjurkan, seperti tidak memakai masker dan berkumpul di kerumunan yang justru memperbesar kemungkinan penyebaran virus covid-19. Hanya karena ingin dikatakan nge-trend dan kekinian mereka malah membahayakan diri mereka dan orang lain.
ADVERTISEMENT
Juga, perilaku saat bersepeda di jalan raya ini harus banyak diperhatikan kembali. Mari gunakan jalan raya dengan bijak dan taat peraturan berlalu lintas. Perhatikan juga pengguna jalan yang lain, karena jalan raya ini juga digunakan oleh pengguna jalan yang lain. Jangan seolah memiliki jalan raya dengan menghalangi lajur pengguna jalan yang lain. Dan juga gunakan standar protokol kesehatan dengan menggunakan masker, menjaga jarak, dan tidak berkerumun.
Karena media sosial pula mereka ingin dikatakan nge-trend dan tidak ketinggalan zaman. Mereka bersepeda juga karena ingin memposting konten di sosial media, namun tidak semuanya seperti itu juga. Banyak juga dari mereka yang bersepeda untuk menjaga kesehatan dan stamina tubuh, biasanya mereka atlet balap sepeda. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh media baru atau sosial media sangat besar di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Alif Yahya Lutfi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta