Konten dari Pengguna

Tarif & Pajak Digital: Apakah OECD Terlalu Lamban Menghadapi Raksasa Teknologi?

Alifia Az Zahra
Mahasiswa Aktif Akuntansi Perpajakan Universitas Pamulang
4 Mei 2025 12:45 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alifia Az Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pexels
ADVERTISEMENT
OECD memang telah memulai inisiatif besar melalui kerangka kerja Inclusive Framework on BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dan Two-Pillar Solution untuk merombak sistem pajak internasional. Tujuannya adalah memastikan bahwa perusahaan digital seperti Google, Amazon, Facebook, dan Apple (sering disebut GAFA) membayar pajak di negara-negara tempat mereka menghasilkan keuntungan, bukan hanya di negara tempat mereka terdaftar secara hukum. Namun, negosiasi yang berlarut-larut dan tarik-ulur kepentingan antara negara-negara besar dan kecil membuat implementasinya terus tertunda.
ADVERTISEMENT
Keterlambatan OECD ini menciptakan kekosongan regulasi yang kemudian diisi oleh kebijakan unilateral. Uni Eropa, Prancis, India, bahkan Indonesia telah memberlakukan pajak digital masing-masing, meski dengan risiko dibalas tarif oleh Amerika Serikat yang melindungi perusahaan-perusahaan teknologinya. Situasi ini memicu "perang tarif" antara negara-negara pengenaan pajak dan AS, membuat ekonomi global berada dalam ketegangan yang tidak perlu.
Lambannya OECD memperburuk ketimpangan. Perusahaan teknologi terus menuai keuntungan besar di berbagai negara tanpa membayar pajak yang proporsional. Dalam konteks ini, negara-negara berkembang merasa dikhianati oleh sistem pajak global yang tidak berpihak, mendorong mereka mengambil tindakan sepihak yang pada akhirnya menambah kompleksitas sistem perpajakan dunia.
OECD perlu bergerak lebih cepat dan lebih tegas. Solusi yang terlalu kompromistis justru bisa menjadi tidak efektif. Dunia tidak bisa terus menunggu kerangka kerja yang ideal sementara ekonomi digital berkembang tanpa kendali. Jika tidak ingin kehilangan relevansi, OECD harus memastikan bahwa kesepakatan global tidak hanya adil, tetapi juga dapat diimplementasikan dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, ya—OECD terlalu lamban dalam menghadapi raksasa teknologi. Keterlambatan ini membuka ruang konflik antarnegara, memperparah ketimpangan, dan mengancam kredibilitas lembaga itu sendiri. Dunia butuh kepemimpinan yang berani, bukan sekadar konsensus tanpa hasil nyata.