Konten dari Pengguna

Antara Allah dan Konsep Ketuhanan di Dalam Al-Qur'an

Alif Mutakhin
Mahasiswa S1 Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21 Januari 2023 7:19 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alif Mutakhin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi: Ilustrasi dari Konsep Ketuhanan
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi: Ilustrasi dari Konsep Ketuhanan
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwasanya tiap-tiap agama memiliki Tuhannya tersendiri yang umatnya percaya sehingga tak bisa dimungkiri, pemahaman individu dari masing-masing agama mengenai konsep Ketuhanan akan berbeda dan mungkin saja, bertolak belakang satu sama lain. Islam sebagai sebuah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai monoteisme dapat disebut sebagai agama yang paling kritis dalam menyeleksi siapa saja kandidat yang berani mengaku sebagai Tuhan. Hal itu bukan tanpa alasan sebab Islam memiliki jawaban terbaik yang dapat diberikan oleh Muslim mana pun berkenaan dengan konsep Ketuhanan, yaitu surat Al-Ikhlas[122]: 1—4.
ADVERTISEMENT
Surat Al-Ikhlas[122]: 1—4 merupakan tes litmus bagi teologi, artinya surat tersebut berfungsi sebagai batu ujian dari studi tentang Ketuhanan. Apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, tempatkanlah seseorang itu kepada tes litmus tersebut.
1. Al-Ikhlas[122]: 1, “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa”
Tes pertama adalah surat Al-Ikhlas[122]: 1 yang artinya menerangkan bahwa Allah Swt. adalah Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan ayat ini, jika kita tempatkan seseorang tersebut ke dalamnya, yang sepatutnya dipertanyakan adalah, “Apakah orang itu esa? Apakah dia satu-satunya orang yang mengaku sebagai Tuhan?”
Faktanya, ada banyak sekali orang yang mengaku sebagai Tuhan dan tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa dirinya itu esa. Dengan demikian, dia bukanlah "yang satu-satunya" atau yang kita ketahui sebagai esa. Misalnya, seperti yang terjadi pada tahun 2000 silam, terdapat seorang pemimpin gereja The Lord Our Righteousness di Meksiko bernama Wayne Bent yang mengklaim bahwa dirinya adalah Tuhan. Oleh sebab merasa dirinya adalah Tuhan, ia pun sempat memprediksi bahwa dunia akan kiamat pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini, hal tersebut justru tidak pernah terjadi dan setelah prediksinya itu gagal, ia malah mengatakan bahwa Tuhan memberikan waktu satu tahun lagi untuk manusia hidup. Ini membuktikan bahwasanya Wayne Bent bukanlah Tuhan dan ia tidaklah esa karena selain dirinya, ternyata masih banyak nama-nama tersohor lain yang mengklaim dirinya adalah Tuhan seperti halnya David Shayler, seorang waria yang mengatakan bahwa dirinya merupakan satu-satunya orang yang memegang rahasia menuju hidup abadi. Selain itu, seorang pria yang sudah sering keluar masuk penjara, Charles Manson, juga pernah mengklaim bahwa ia adalah Tuhan bagi teman-temannya, sekaligus iblis bagi musuh-musuhnya, hingga membentuk sebuah kelompok yang diberi nama The Family sebelum akhirnya kelompok yang berubah haluan menjadi gerakan religius tersebut akhirnya tersendak karena Charles Manson terlibat dalam pembunuhan seorang aktris bernama Sharon Tate.
Dokumen Pribadi: Foto dari Wayne Bent, David Shayler, dan Charles Manson
Kemudian, jika muncul pertanyaan, “Mengapa harus ada satu Tuhan saja?“, pertanyaan besar tersebut dapat dijawab dengan logika sederhana. Misal, seandainya kita percaya dengan argumen yang menyatakan bahwasanya Tuhan itu lebih dari satu dan ada banyak sekali Tuhan di dunia ini, tentulah Tuhan-Tuhan tersebut akan bertengkar untuk memerangi satu sama lain. Seperti yang telah diketahui bersama, kita dapat menemukan hal itu terjadi di dalam mitologi sebagian agama yang mana di dalamnya diceritakan bahwa Dewa yang satu bertengkar dengan yang lain dan Dewa yang lain menolong kawannya untuk mengalahkan yang lainnya lagi. Katakanlah bahwa mitologi tersebut adalah benar adanya, yang harus dipertanyakan kembali adalah, “Bisakah sebagai manusia, kita percaya pada Tuhan yang bisa dikalahkan dan binasa?”
ADVERTISEMENT
Sebagian dari kita mungkin masih bersikukuh dan berkata, “Kenapa tidak bisa ada berbagai Tuhan di mana Tuhan yang satu untuk matahari, Tuhan yang satu untuk awan, dan Tuhan yang satunya lagi untuk angin?” Bayangkanlah seandainya ada satu Tuhan untuk tiap-tiapnya di mana setiapnya mempunyai kekuatan atas sebagian hal yang dikuasainya, “Apakah hal tersebut masuk logika?” Tentu saja, tidak. Lebih berlogika jika Tuhan hanya satu yang berkuasa atas segala sesuatu dibandingkan berbagai macam Tuhan yang hanya unggul atas satu atau beberapa bidang yang dikuasainya saja. Hal ini pun dipertegas oleh Allah Swt. di dalam Q.S. Al-Anbiya[21]: 22 yang isinya menyatakan bahwa tentunya langit dan bumi ini seharusnya telah binasa jika Tuhan itu tidak esa atau ada banyak sekali Tuhan di luar sana.
ADVERTISEMENT
Yang terbaik dan paling logis adalah hanya ada satu Tuhan, satu-satunya Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Itulah mengapa jika kita membaca kitab suci berbagai agama besar lain di dunia, semua kitab suci yang kita tahu telah mengalami kerusakan, manipulasi, dan perubahan sekalipun sependapat dengan Al-Qur'an bahwasanya Tuhan itu esa, Dia tidak punya gambar, Dia tidak beranak, Dia satu-satunya, Dia bersifat kekal, dan tidak ada satu Dzat pun yang setara dengan-Nya.
2. Al-Ikhlas[122]: 2, “Allah Tempat Meminta Segala Sesuatu”
Tes yang kedua berdasarkan surat Al-Ikhlas[122]: 2 menyatakan bahwa Allah Swt. adalah tempat meminta segala sesuatu. Berlandaskan ayat itu, jika kita menempatkan seseorang tersebut terhadapnya, pertanyaan yang seharusnya muncul adalah, “Apakah dia yang kita anggap sebagai Tuhan itu bisa dijadikan tempat untuk meminta segala sesuatu? Dan apakah orang itu dapat mengabulkan seluruh permintaan kita semua?” Jika jawabannya bisa "ya" dan bisa juga "tidak" tergantung dari apa yang kita minta dalam lingkup logika Ketuhanan, kemudian apa yang dikabulkan setelahnya itu diberikannya dengan bantuan orang lain, dia yang kita anggap sebagai Tuhan bukanlah Tuhan sejati karena jawabannya haruslah mutlak "ya", tidak boleh ambigu di antara "ya" dan "tidak". Selain itu, sebagai tempat meminta segala sesuatu, Tuhan sejati haruslah dapat berdiri sendiri dalam artian tidak membutuhkan bantuan orang lain ketika hendak melakukan apa pun, termasuk saat mengabulkan doa atau permintaan orang lain. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, “Adakah penyakit yang dideritanya?” Jika ada, “Lantas, bagaimana dia dapat mengabulkan permintaan kita ketika kita memintanya untuk kesembuhan?” Kemudian, “Apakah ia bisa tewas terbunuh?” Jika jawabannya "ya", “Bagaimana mungkin seseorang itu dapat menolong kita saat kita berada dalam bahaya dan memintanya untuk keselamatan?”
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat relevan ketika kita menyangkutpautkannya dengan Wayne Bent, seorang pedofil yang mengaku sebagai Tuhan, di mana dirinya dipenjara pada tahun 2008 karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. "Dipenjaranya Wayne Bent" memberikan kita pemahaman bahwa dirinya adalah orang tak berdaya yang tidak mungkin dapat dijadikan sebagai tempat meminta segala sesuatu karena bagaimana pun ceritanya, jika demikian, Tuhan sejati haruslah dapat berdiri sendiri, tidak dapat dijatuhkan, dan tidak tercela dalam segala hal.
Dokumen Pribadi: Momen Saat Wayne Bent Ditahan dan Dibebaskan dari Penjara
Terlepas dari yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa Tuhan adalah tempat meminta segala sesuatu, itu bukan berarti Tuhan sejati dapat melakukan segala hal. Mengapa demikian? Sebab seandainya kita setuju dengan argumen bahwa Tuhan bisa melakukan segalanya, itu berarti Tuhan juga bisa melakukan kebohongan. Akan tetapi, "melakukan kebohongan" bukanlah sifat Tuhan. Dalam surat An-Nisa[4]: 122, disebutkan bahwasanya Allah Swt. adalah Yang Maha Benar perkataan-Nya. Oleh karena itu, tepat saat Tuhan berbuat kebohongan, Dia bukan lagi Tuhan. Lalu, dengan argumen yang sama, itu berarti Tuhan juga bisa lupa. Namun, "lupa" bukanlah sifat Tuhan. Al-Qur'an berkata dalam surat Ta-Ha[20]: 52 yang artinya, “Allah tidak pernah lupa.” Tepat ketika Allah lupa, Dia tak lagi menjadi Tuhan. Kemudian, katakanlah argumen tersebut benar adanya, Tuhan bahkan bisa melakukan kezaliman. Akan tetapi, "melakukan kezaliman" bukanlah sifat Tuhan. Dalam surat An-Nisa[4]: 40, dikatakan bahwa Allah tidak pernah menzalimi sedikit pun karena tepat saat Allah melakukan hal itu, Dia bukan lagi Tuhan. Sebut saja bahwa Tuhan bisa melakukan apa pun, dengan begitu, Tuhan pun dapat membuat kesalahan, tetapi "membuat kesalahan" bukanlah sifat Tuhan. Allah berfirman di surat Ta-Ha[20]: 52 yang artinya, “Allah tidak pernah membuat kesalahan.” Oleh sebab itu, tepat ketika Allah membuat kesalahan, Dia bukanlah Tuhan.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang lain, hal itu juga tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa Allah bisa melakukan, baik apa pun, apa saja, maupun segalanya. Namun, apa yang dikatakan Al-Qur'an berkaitan dengan hal tersebut, terdapat di dalam surat Al-Baqarah[2]: 106, Al-Baqarah[2]: 109, Al-Baqarah[2]: 284, Ali Imran[3]: 29, An-Nahl[16]: 77, dan Al-Fatir[35]: 1 bahwa sesungguhnya, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Lebih lanjut lagi, Allah pun berfirman dalam surat Al-Buruj[85]: 16 yang artinya, "Allah Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya."
Maksud dari firman-firman di atas adalah segala hal apa pun yang dikehendaki oleh Allah bisa dilakukan-Nya, tetapi Allah tidak menghendaki untuk berbuat kebohongan, kesalahan, dan kezaliman karena sejatinya, Allah hanya menghendaki hal-hal yang bersifat Ketuhanan saja. Jadi, apabila kita mengatakan bahwa Allah hanya dapat melakukan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya saja, itu bukan berarti kita mengatakan bahwa Allah memiliki kelemahan atau kecacatan sebagai Tuhan. Justru dengan mengatakan hal tersebut, secara tak langsung, kita memperjelas eksistensi-Nya sebagai Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan bukan berarti juga, kita membatasi Allah sebagai Tuhan. Sejak Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang Dia kehendaki, itu artinya sebagai manusia, perbuatan ataupun perkataan kita tidak dapat membatasi-Nya sedikit pun.
ADVERTISEMENT
3. Al-Ikhlas[122]: 3, “(Allah) Tidak Beranak dan Tidak Pula Diperanakkan”
Tes ketiga dari surat Al-Ikhlas[122]: 3 mengatakan bahwa Allah Swt. tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Ayat tersebut dengan gamblang memberikan penjelasan kepada kita mengenai perbedaan antara manusia dan Tuhan karena semestinya, Tuhan sejati tidak memiliki pencipta lain di atasnya dan tidak pula tercipta dari hasil perkawinan ataupun persilangan. Yang seharusnya dipertanyakan ketika mendengar ayat itu adalah, “Apakah seseorang yang mengaku dirinya sebagai Tuhan tersebut memiliki orang tua seperti kita pada umumnya?” Jika jawabannya adalah "ya", berdasarkan dari apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, ia yang sedang kita uji Ketuhanannya gagal menjadi Tuhan.
Berkaitan dengan hal tersebut, mengutip dari situs Wikipedia, Wayne Bent dilahirkan pada 18 Mei 1941. "Dilahirkannya Wayne Bent" memberikan penjelasan kepada kita bahwa dirinya memiliki orang tua selayaknya manusia lain pada dasarnya dan dengan begitu, ini pun membuktikan kembali bahwasanya ia bukanlah Tuhan. Di samping itu, Tuhan sejati tidak boleh memiliki awal dan akhir sebagaimana Wayne Bent yang dilahirkan ke dunia dan kemudian, ia pun akan meninggal pada masanya.
ADVERTISEMENT
Berkenaan dengan konsep Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan sejati tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, jika selanjutnya muncul pertanyaan, “Siapakah yang menciptakan Tuhan?”, pertanyaan tersebut dapat dijelaskan melalui definisi dari Tuhan itu sendiri yang mana Tuhan adalah Dzat yang tidak diciptakan. Jadi, apabila kita bertanya dengan pertanyaan, “Siapakah pencipta Tuhan?”, itu bagaikan kita bertanya dengan pertanyaan, “Jika kita memiliki seorang teman pria dan ia melahirkan, apakah bayinya pria atau wanita?” Kedua pertanyaan tersebut sama-sama tidak logis karena secara definisi dan logika yang kita ketahui bersama, seorang pria tidak bisa melahirkan seorang bayi. Jadi, tidak ada pertanyaan, “Apakah banyinya pria atau wanita?” Setiap yang diciptakan ada penciptanya, tapi Tuhan tidak punya pencipta.
ADVERTISEMENT
4. Al-Ikhlas[122]: 4, “Dan Tidak Ada Sesuatu yang Setara dengan Dia”
Tes terakhir adalah surat Al-Ikhlas[122]: 4 yang artinya, “Tidak ada sesuatu yang sama dengan-Nya.” Tes terakhir ini sangatlah ketat sampai-sampai tidak ada yang bisa lulus, kecuali Tuhan sejati. Ayat itu juga menyampaikan kepada kita bahwasanya Tuhan yang sejati tidak dapat ditandingi oleh apa pun di dunia ini karena tepat ketika kita bisa membandingkan Tuhan dengan apa pun di dunia ini, dia bukanlah Tuhan. Misalnya, jika orang yang kita uji itu layaknya manusia pada umumnya, dia punya dua mata, satu hidung, satu mulut, dua kaki, dan dua tangan, maka sudah jelas saat kita dapat membandingkannya dengan orang lain, dia bukanlah Tuhan.
ADVERTISEMENT
Ini sama halnya ketika kita membandingkan Tuhan sejati dengan orang terkuat di muka bumi ini. Sekalipun orang itu telah dinobatkan sebagai orang terkuat, tetapi kekuatan yang dimilikinya tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan dari Dzat yang sudah memberikan kekuatan itu sendiri kepada orang tersebut, bahkan setitik pun, karena Tuhan sejati haruslah memiliki predikat Maha Kuat yang berarti kekuatan-Nya-lah yang paling mutlak dan tidak tertandingi oleh apa pun dan siapa pun yang ada di dunia ini.
Bandingkanlah Wayne Bent dengan tokoh-tokoh kuat yang ada di dunia seperti. Tentulah, predikat yang akan disandang olehnya ada dalam dua kemungkinan, yaitu entah dia yang lebih kuat atau dia yang lebih lemah. Hal ini menggambarkan bahwa dia dan kekuatan yang dimilikinya dapat dibandingkan dengan orang lain dan itulah alasan mengapa Wayne Bent tidak layak untuk dijadikan sebagai Tuhan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, jika timbul pertanyaan, “Apakah Tuhan bisa menjadi manusia?”, pertanyaan ini dapat dijawab melalui perbedaan sifat mendasar di antara keduanya. Apabila kita membenarkan adanya pertanyaan tersebut, yang harus kita ingat adalah Tuhan itu abadi, sementara manusia itu pasti mati. Jika Tuhan menjadi manusia, tidak bisa ada manusia yang abadi dan pasti mati pada saat yang bersamaan karena jika ada manusia abadi yang pasti mati, itu menjadi sama sekali tidak bermakna. Jadi, pilihannya hanyalah Tuhan atau manusia, tidak bisa ada Tuhan-manusia. Kemudian, jika kita tetap bersikukuh bahwa Tuhan dapat menjadi manusia, yang harus kita renungkan adalah Tuhan tidak mempunyai awal dan akhir, sementara manusia memilikinya. Tidak mungkin bisa ada manusia yang punya dan tidak punya awal dan akhir pada saat yang sama karena itu tak bermakna apa pun. Lagi-lagi, pilihannya hanyalah Tuhan atau manusia, tidak bisa ada Tuhan-manusia.
ADVERTISEMENT
Ketika kita mengatakan bahwa argumen tersebut adalah kebenaran, ini bagaikan kita berkata, "Saya melihat orang kurus yang gemuk." Sejatinya, kita hanya bisa melihat orang kurus atau orang gemuk. Kita tidak bisa melihat orang kurus yang gemuk karena itu artinya bertolak belakang. Tidak ada yang namanya kurus sekaligus gemuk pada saat yang bersamaan, begitu pula dengan orang pendek dan tinggi.
Itulah empat kalimat tes litmus bagi teologi yang menjelaskan tentang, “Antara Allah dan Konsep Ketuhanan di dalam Al-Qur'an”. Siapa pun orang yang berkata bahwa kandidat itu adalah Tuhan, jika kandidat itu lulus dengan empat kalimat tes tersebut, maka seharusnya, kita sebagai Muslim tidak masalah dalam menerima kandidat yang telah kita uji itu sebagai Tuhan.
ADVERTISEMENT
Melalui surat tersebut, kita sebagai manusia sejatinya harus memandang setiap agama, kepercayaan, dan hal lainnya dengan mata yang terbuka dan juga akal yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada kita. Tidak peduli sedari kapan suatu kepercayaan dianut oleh kita, pandang dan kritisilah apa yang sudah melekat dan berkaitan dengan diri kita tersebut bukan hanya melalui pancaindra, tetapi juga melalui ilmu pengetahuan yang absolut dan kelogisan yang ada. Dengan begitu, kepercayaan yang sudah kita yakini sedari lama tidak akan menghancurkan diri kita di kehidupan berikutnya karena apa yang kita percaya, kita peroleh dengan mata terbuka bukan berlandaskan hawa nafsu yang buta semata.