Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bagaimana Colorism Menjadi Bentuk Standarisasi di Tengah Masyarakat Indonesia
28 Desember 2020 16:28 WIB
Tulisan dari Alifya Heryana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat kita berbicara mengenai perbedaan warna kulit memang seakan tak ada habisnya, hingga bagaimana perdebatan mengenai perbedaan warna kulit ini mengantarkan kepada satu hal penting yang sejatinya terjadi diantara khalayak/masyarakat diberbagai belahan dunia bahkan di negara kita sendiri Indonesia, yaitu satu kata kunci penting yang biasa disebut sebagai Colorism. Sebelum mengenal pembahasan lebih jauh, kita perlu mengetahui apa itu “Colorism”?. Colorism atau bisa kita ketahui sebagai tindakan diskriminasi berdasarkan warna kulit atau sebuah paham dimana prasangka-prasangka (prejudice) ataupun diskriminasi yang terjadi didalam suatu ras (intra-ras) yang dimana mereka diperlakukan berbeda berdasarkan implikasi sosial mereka yang datang bersamaan dengan pengertian budaya dan yang masih berkesinambungan dengan warna kulit (Jones,2001).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah bagaimana Colorism mengantarkan kita kepada suatu permasalahan dalam ranah sosiologi komunikasi yang dapat kita temukan pada kalangan masyarakat dan dibawa melalui berbagai macam cara salah satunya adalah media. Meski begitu, tindakan diskriminasi berdasarkan warna kulit ini telah terjadi jauh sebelum media baru bermunculan, namun disini, media pada saat ini memiliki peran yang amat penting dalam hal penyebarannya. Nah, mengapa media bisa dikatakan penting? Karena media memiliki peran sebagai wadah untuk menyampaikan sebuah realitas sosial melalui penyebaran informasi, khususnya adalah media massa. Maka, dapat kita lihat bahwa konteks permasalahan ini terdapat pada komunikasi massa dimana media yang digunakan adalah media massa (Koran, majalah, televisi, radio hingga internet). Seperti yang telah didefinisikan sebelumnya oleh para akademisi, bahwa komunikasi massa adalah pesan yang disampaikan melalui media massa dan diterima oleh khalayak massa. “Mass Communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people” (Rakhmat,1985). Fenomena Colorism adalah sebuah fenomena yang terjadi tidak jauh akibat adanya kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang menggunakan media massa sebagai wadah ataupun medium untuk mereka menyampaikannya kepada khalayak massa.
ADVERTISEMENT
Maka, akan ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada kalian. Apakah kalian pernah mengalami, melihat ataupun mendengar beberapa pertanyaan ataupun interaksi yang berhubungan dengan Colorism di sekeliling kalian?. “Kok kulit kamu item banget sih? Ga pernah pake lulur?” “Dih jorok banget kulit kamu item begitu” “makanya pakai produk A biar kulit kamu bersihan dikit” atau dapat kita lihat dari perilaku sosial di masyarakat seperti tindakan pengucilan atau stereotype terhadap orang-orang yang memiliki kulit lebih gelap, dimana prasangka tersebut tidak jauh adalah prasangka-prasangka negatif yang membuat “mereka” yang memiliki kulit lebih gelap terdampak akan semua hal itu. Itu hanyalah sebagian kecil dari contoh yang saya ambil, bagaimana tindakan diskriminasi terhadap warna kulit nyata adanya, bahkan sudah menjadi bagian gaya hidup masyarakat kita. Mengapa dapat dikatakan sebagai bagian dari gaya hidup? Ya, sebenarnya dapat kita lihat dengan jelas tanpa disadari ataupun tidak oleh masyarakat, mereka yang memiliki kulit lebih cerah cenderung mendapat “privilege” atau hak istimewa dan bagaimana kulit lebih cerah menjadi sebuah standar kecantikan ditengah masyarakat juga menjadi sebuah bukti. Standarisasi bahwa kulit yang lebih cerah pada masyarakat yang membawa mereka yang berkulit lebih gelap merasa terdiskriminasi juga sebagai hasil dari campur tangan media. Jika boleh saya katakan, media berperan aktif dalam rangka penanaman paham bahwa kulit lebih cerah memiliki segudang keuntungan didalam kita bermasyarakat, dengan berbagai macam konten iklan (produk kecantikan/pemutih kulit) hingga paling terbaru adalah melalui Influencer yang tengah ramai digandrungi oleh berbagai kalangan di media sosial, mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang berpengaruh dengan gencarnya menanamkan paham bahwa kulit cerah merupakan hal yang lebih istimewa dibandingkan dengan warna kulit yang lebih gelap. Semua hal tersebutlah yang membuat orang berlomba-lomba mendapatkan kulit lebih cerah hingga menganggap mereka yang berkulit lebih gelap menjadi suatu kelompok yang lebih rendah atau inferior dibandingkan mereka yang berkulit lebih cerah.
ADVERTISEMENT
Fenomena Colorism yang terjadi ditengah masyarakat kita ini terjadi karena adanya sebuah kepentingan didalamnya seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. Mengapa dapat saya katakan demikian? Jika kita melihat melalui sisi sosiologi komunikasi dimana penggunaan media sebagai medium/sarana untuk penyampaian informasinya dan adanya sebuah kepentingan didalamnya adalah bukti nyata. Sehingga, dapat kita tarik sebuah garis merah, dimana hubungan sebuah fenomena yang terjadi, pemilik kepentingan, media dan khalayak massa adalah menjadi satu kesatuan bagian dari Positivisme yang mana adalah sebuah tinjauan Teori Kritis (critical paradigm) di dalam ranah sosiologi komunikasi. Dalam hal ini, positivistik dapat kita gunakan karena merupakan sebuah paradigma yang digunakan untuk memahami persitiwa sosial atau sebuah fenomena sosial yang terjadi. Sebelum itu, perlu disampaikan bahwa teori kritis yang dapat kita aplikasikan dalam fenomena ini adalah teori dari Karl Marx. Marx dikenal dengan kajian mengenai politik ekonomi dan kritiknya terhadap kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Maka, apat kita analisis mengenai fenomena Colorism dalam kacamata teori kritis. Bahwa Colorism tidak terjadi dengan sendirinya atau secara natural didalam konteks bermasyarakat. Colorism timbul akibat adanya sebuah kepentingan dimana dalam hal ini, kepentingan tersebut di pegang oleh para pemilik kepentingan tersebut dan dapat kita lihat bagaimana munculnya fenomena ini tidak lepas dari media massa. Lebih jelasnya, media memberikan wadah bagi mereka “pemegang kuasa” untuk menyebarkan paham bahwa warna kulit yang lebih cerah adalah sesuatu yang lebih superior dibandingkan mereka yang berkulit cenderung lebih gelap sehingga nantinya khalayak (masyarakat) dapat memberikan keuntungan kepada mereka, para pemegang kuasa.
Setelah media secara terus-menerus mencekoki kita dengan paham “superioritas” kulit cerah secara tidak sadar membuat masyarakat mempunyai pola pikir sedemikian rupa. Nyatanya, hal-hal tersebut termasuk kedalam salah satu usaha “mereka” para pemegang modal untuk bisa mendapatkan keuntungan atas apa yang mereka produksi. Melalui berbagai macam cara yang mereka sampaikan melalui media, mereka telah berhasil menanamkan paham tersebut di tengah masyarakat Indonesia. Konten-konten media seperti iklan produk kecantikan yang memfokuskan kepada kecerahan warna kulit, tayangan televisi yang menunjukkan superioritas mereka yang berkulit putih, dan sebagainya merupakan sebagian kecil contoh yang bisa kita lihat.
ADVERTISEMENT
Colorism terjadi tanpa melihat jenis kelamin maupun ras, fenomena ini nyata adanya dan terjadi disekeliling kita. Maka, sudah saatnya kita “aware” terhadap tindakan diskriminatif ini dan senantiasa menghargai setiap perbedaan yang ada.