Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Transpuan Bukan Hanya Pekerja Salon: Mengubah Stigma Ala Srikandi Pasundan
31 Desember 2024 19:34 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Alifya Widya Cahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sedari kecil kita ditanamkan sebuah petuah bahwa manusia harus saling menghargai satu sama lain agar kehidupan bisa berjalan dengan seimbang, terlepas dari perbedaan latar belakang yang dimiliki setiap orang. Mendengar petuah tersebut saat masih di usia belia dengan pikiran naif membuat konsep “berbeda” muncul di kepala sebagai sebuah tanda tanya besar “memangnya berbeda itu apa?”.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ketika hidup sudah memulai perjalanannya akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut mulai menampakan wujudnya, jawabanya terpecahkan bahwa setiap manusia itu memanglah berbeda. Perbedaan yang dimiliki manusia seharusnya dapat dijadikan kekuatan, karena melalui perbedaan individu bisa merepresentasikan dirinya ke dunia. Contohnya seperti kaum transpuan, menjadi transpuan merupakan sebuah keistimewaan tersendiri bagi mereka, nahas sikap masyarakat malah menyatakan sebaliknya.
Hidup di antara masyarakat Indonesia membuat linear kehidupan transpuan sering disalahartikan oleh mereka yang fanatik akan dirinya dan juga keyakinannya. Kendati demikian, saat mereka menemukan adanya “keistimewaan” pada diri transpuan yang tidak sesuai dengan konsep yang mereka miliki, maka transpuan kemudian dicap “berbeda”, dipinggirkan, bahkan sampai diintimidasi keberadaanya.
Lantas, petuah “saling menghargai” yang sejak tumbuh ditanamkan justru balik melawan, dan melahirkan sikap represif dan anti, terhadap mereka yang dianggap menyimpang dari pemikiran akan standar “kehidupan normal” yang sebenarnya juga masih menjadi sebuah teka-teki.
ADVERTISEMENT
Meskipun Indonesia menganut semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang mencoba menyadarkan rakyatnya bahwa perbedaan bukanlah penghalang persatuan. Sialnya, hal tersebut tidak lebih dari sebatas konsep, karena dengan sadar perbedaan masih menjadi pemeran utama dalam pentas diskriminasi di Indonesia.
Lalu siapa yang berlaga menjadi korban? hal tersebut bisa dijawab dengan satu kata sederhana, dan kata itu adalah “banyak”, lagi tidak lain irisan dari lapisan tersebut adalah kaum transpuan.
Usaha Srikandi Pasundan untuk Menghempas Stigma Buruk Transpuan di Masyarakat
Stigma negatif yang berkembang di masyarakat, ditambah dengan bumbu pretensi sosial maupun personal, seringkali menciptakan tembok pembatas yang menghalangi transpuan untuk mendapatkan penerimaan yang layak.
Mereka kehilangan ruang di dunia yang terus menuntut setiap orang untuk menjadi apa “yang seharusnya”. Biarpun masalah ini entah kapan bisa mencapai titik akhir, transpuan tak pernah menyerah untuk menciptakan rumah yang bisa menerima mereka sepenuhnya, dan dari perjuangan inilah lahir sebuah organisasi bernama Srikandi Pasundan (SP).
ADVERTISEMENT
Srikandi Pasundan lahir dari sedikitnya penerimaan di masyarakat, kendati demikian secercah harapan untuk dapat dihargai di lingkungan masyarakat bersemayam di hati mereka. Sebagai langkah awal, Srikandi Pasundan memulai resistensinya dengan mendampingi para transpuan dalam membenahi masalah kesehatan, khususnya terkait AIDS dan HIV, yang seringkali menjadi momok di masyarakat.
Meskipun, usaha tersebut awalnya sulit untuk dilakukan karena adanya tekanan baik dari pemerintah dan dinas kesehatan. Srikandi Pasundan berpegang pada prinsip bahwa,
Para transpuan yang tergabung dalam SP diajarkan cara berperilaku saat mengunjungi layanan kesehatan agar lebih bisa diterima oleh mereka yang enggan menerima. Selanjutnya, SP juga mengupayakan program pendampingan para transpuan untuk bisa mempunyai legalitas kependudukan dengan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
ADVERTISEMENT
Usaha transpuan untuk bisa diterima selayaknya masyarakat lain tidak berhenti sampai di situ saja. Menurut penuturan Luvhi sebagai ketua Srikandi Pasundan, mereka juga mengupayakan untuk masuk ke ranah kewilayahan.
Pendekatan ini diupayakan agar masyarakat bisa menerima keberadaan transpuan dan juga meminimalisir potensi konflik dari masyarakat setempat yang mungkin terjadi. Selain itu, Luvhi juga menegaskan bahwa langkah ini penting untuk memberikan rasa aman, baik bagi transpuan maupun masyarakat sekitar, sehingga semua pihak dapat saling mendukung dalam menciptakan ruang aman bagi semuanya.
ADVERTISEMENT
Kemampuan Transpuan Tidak Hanya Sebatas Salon Saja
Srikandi Pasundan tidak hanya menjadi rumah bagi para transpuan, tetapi juga menjadi langkah awal transpuan untuk merangkul dan mengadvokasikan transpuan lainnya di tengah masyarakat melalui program-program mereka. Salah satu program mereka adalah melakukan pelatihan usaha bagi para anggotanya.
Menurut Luvhi, salah satu alasan yang mendasari Srikandi Pasundan melakukan pelatihan usaha ini karena, masih terdapat banyak lapangan pekerjaan yang belum mau menerima transpuan.
Lapangan pekerjaan menjadi salah satu hal yang cukup sulit ditembus oleh para transpuan. Maka dari itu, Srikandi Pasundan mengupayakan para anggotanya tetap dapat berusaha secara mandiri untuk menghidupi kehidupan mereka.
Sampai saat ini, masyarakat masih memiliki pemikiran bahwasannya transpuan hanyalah seorang pekerja salon dan pengamen jalanan. Dengan melakukan pelatihan dan menjalankan usaha-usaha ini, Luvhi berharap hal ini dapat menjadi jalan untuk menghapus sedikit pandangan tersebut dan memperlihatkan sisi positif transpuan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mimpi Transpuan Tidak Dibatasi Hanya Dengan Menjadi Pekerja Salon
Luvhi juga bercerita bahwa pekerja salon dan pengamen bukanlah mimpi mereka. Saat ditanyakan, ternyata mimpi para transpuan ada banyak sekali. Setelah digali dan diberi pelatihan untuk mengelola UMKM, bakat-bakat mereka mulai bermunculan.
Tidak semua transpuan yang kini bekerja di salon mengawali mimpinya dari salon, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya lapangan pekerjaan bagi transpuan, karena stereotip yang sudah melekat pada mereka.
ADVERTISEMENT
Adanya stereotip ini tidak hanya mengganggu mereka, tetapi juga menyulitkan mereka ketika harus mengajukan bantuan dana ke Kementerian Sosial (Kemensos).
Karena adanya stereotip ini, bantuan dana yang diajukan untuk jenis usaha lain, malah mendapatkan hasil yang tidak sesuai. Stereotip ini membuat Kemensos memberikan langsung alat-alat salon kepada Srikandi Pasundan, yang dimana hal ini menurut Luvhi bertolak belakang dengan permintaan mereka.
Dengan adanya stereotip tersebut juga membuat para transpuan pekerja salon dianggap memiliki usaha salon hanya karena mereka transpuan, bukan karena itulah bakat yang dimiliki oleh mereka. Padahal ada transpuan yang memang memiliki bakat merias ini, salah satunya adalah Angel.
Angel (49) yang merupakan anggota Srikandi Pasundan bercerita bahwa dirinya mulai membangun usaha salon dan wedding miliknya dari tahun 1990, saat dirinya mulai menginjak kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP).
ADVERTISEMENT
Selain Angel, Farah (46) yang juga merupakan anggota lapangan dan salah satu role model bagi transpuan juga memiliki usaha di Srikandi Pasundan. Namun, berbeda dengan Angel yang memiliki usaha di bidang kecantikan, Farah memiliki usaha di bidang kuliner, yaitu pembuatan telur asin Priangan Maknyus dan warung kelontong.
Dengan melakukan usaha ini, Farah berharap, dirinya dan para transpuan tidak lagi dipandang sebelah mata dan tidak dianggap sebagai sampah masyarakat. Para transpuan juga bisa berdikari, bisa mandiri, dan bisa berusaha, sama seperti masyarakat lainnya.
Transpuan Sering Dilecehkan Saat Bekerja
Menjadi pemilik usaha lokal bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih dengan identitas gender yang dimiliki oleh para transpuan tersebut. Feby (34), yang merupakan pedagang dan juga transpuan mengatakan bahwa dirinya pernah mengalami banyak kejadian tidak menyenangkan karena identitas gendernya sebagai transpuan.
ADVERTISEMENT
Dirinya mengaku pernah dilecehkan saat sedang berjualan, selain dilecehkan dirinya juga mengalami pembulian, para pembuli tersebut mengatakan untuk tidak berdekatan dengan Feby karena menganggap bahwa transpuan adalah najis yang harus dijauhi.
Manusia-manusia tersebut seakan lupa bagaimana caranya memanusiakan manusia. Padahal jika dipikirkan, mimpi para transpuan adalah hak yang seharusnya mereka dapatkan, mereka hanya ingin dianggap setara, sama seperti manusia lainnya.
Dengan segala perjuangan dan usaha yang sudah dilakukan oleh para transpuan, mereka cuma berharap bahwa tidak akan ada lagi stereotip atau stigma di masyarakat yang memandang mereka hanya sebagai pekerja yang lekat dengan feminitas karena identitas gender mereka.
Hargai mereka dengan tidak lagi menghina, membully, hingga melecehkan. Karena meski transpuan sudah lama berkawan dengan diskriminasi dari masyarakat, lantas tidak membuat perilaku tersebut menjadi sesuatu yang normal dilakukan. Karena pada akhirnya, tidak ada yang lebih mudah daripada memanusiakan sesama manusia.
ADVERTISEMENT
Tim Penulis
Tim Produksi (Kelompok 10B)