Konten dari Pengguna

Dissociative Identity Disorder: Satu Orang Punya Dua Kepribadian

Malika Hifzi Agnia
Mahasiswi Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
4 Maret 2023 5:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Malika Hifzi Agnia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi DID. Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi DID. Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu menonton film “Split”? film ini diadaptasi dari kisah nyata yang pernah dirasakan pada pasien pengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau lebih dikenal dengan kepribadian ganda.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di film, kepribadian ganda ini merupakan gangguan mental yang nyata dan dapat terjadi kepada siapa pun. Kepribadian ganda atau DID merupakan bagian dari kelompok Dissociative Disorder (gangguan disosiatif).
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5-TR), Dissociative Disorder adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan adanya perubahan terkait identitas, kesadaran, memori, emosi, persepsi, dan perilaku seseorang. Gejala dari Dissociative Disorder sendiri mampu mengganggu fungsi psikologis seseorang dalam aktivitas sehari-hari.
Terdapat berbagai pasien pengidap gangguan identitas disosiatif yang fenomenal di dunia, seperti Juanita Maxwell, Billy Milligan, Shirley Mason, dan Chris Costner Sizemore.
Dilansir halodoc, beberapa waktu lalu, sempat viral perempuan asal Indonesia yang mengalami gangguan identitas disosiatif, yaitu Anastasia Wella.
ADVERTISEMENT
Wella memiliki sembilan karakter dengan nama dan kepribadian yang berbeda-beda. Gangguan ini muncul karena ia mengalami trauma akibat perlakuan kasar dari orang tuanya dan Wella sering dikucilkan serta dihina oleh teman-temannya.
Sehingga Wella merasa takut dan sulit melupakan perlakuan kasar yang telah menimpa dirinya. Karakter tersebut akan muncul ketika Wella mengalami masalah dan merasa cemas.
Dari kesembilan kepribadian Wella, meliputi Wella yang merupakan kepribadian asli, Paula yang pintar berhitung, Saraswati yang merupakan model dan penyanyi, Naura yang temperamen, Atin yang merupakan anak kecil, Reveline merupakan anak milenial, Andrean merupakan laki-laki yang suka melakukan kekerasan, Ayu yang suka menulis sastra, dan Bilqis yang pintar mengaji.

Mengenal Lebih Dekat, Apa Itu Kepribadian Ganda?

Ilustrasi DID. Sumber: shutterstock.com
Kepribadian ganda atau DID merupakan ketidakmampuan individu dalam mengingat informasi yang penting dan tidak dapat dipaparkan, serta termasuk salah satu gangguan disosiatif yang dramatis (Sari, 2020).
ADVERTISEMENT
Jika seseorang memiliki minimal dua kedudukan ego yang terpisah dan terjadi perubahan dalam eksistensi, perasaan, serta perilakunya, maka orang tersebut dapat didiagnosa mengidap gangguan identitas disosiatif.
Gangguan ini dapat ditandai dengan adanya dua atau bahkan lebih kepribadian yang berbeda. Masing-masing kepribadian yang ada pada penderita memiliki nama, usia, perilaku, ras, dan jenis kelamin yang berbeda-beda. Namun, semua identitas tersebut dapat hidup secara berdampingan dalam diri seseorang (Gea, 2013).
Menurut (Cleveland Clinic, 2021), gangguan identitas disosiasif sangat langka terjadi, prevalensi pada gangguan ini hanya sebesar 0,01% hingga 1% dari seluruh populasi. Dilansir dari alodokter.com (Pittara, 2022), kemungkinan besar penyebab DID diakibatkan karena adanya pengalaman traumatis yang berulang saat masa anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pengalaman traumatis ini dapat berupa kekerasan, pelecehan, pola asuh orang tua yang tidak baik, dan peristiwa tertentu seperti bencana alam. Gangguan identitas disosiatif biasanya berawal dari masa anak-anak dan jarang didiagnosis pada orang dewasa karena trauma yang muncul pada usia dewasa akan mengarah pada gangguan stress pasca trauma (PTSD).

Mewaspadai Adanya Gejala DID pada Diri Kamu

Ilustrasi DID. Sumber: shutterstock.com
Pada penderita DID, minimalnya memiliki dua macam kepribadian yang berbeda-beda. Saat kepribadian lain muncul pada penderita, penderita tidak mampu mengingat bahwa dirinya memiliki kepribadian yang lain dan begitu pula sebaliknya. Mengutip dalam jurnalnya (Afifah, 2021), berikut gejala DID berdasarkan DSM-5:
ADVERTISEMENT
Umumnya DID diikuti dengan sakit kepala, penyalahgunaan zat, fobia, halusinasi, amnesia, upaya bunuh diri, dan disfungsi seksual.
Dissociative Identity Disorder dan Carl Rogers
Carl Rogers. Sumber: canva.com
Menurut WebMD (Bandhari, 2022), sebanyak 99% yang mengalami gangguan disosiatif telah merasakan trauma secara berulang dan seringkali mengancam tahap perkembangan anak, umumnya sebelum usia 6 tahun. Pengabaian orang tua secara terus-menerus terhadap anak juga akan rentan terkena gangguan disosiatif, bahkan ketika tanpa pelecehan fisik atau seksual yang nyata sekalipun.
Hal tersebut berkaitan dengan teori kepribadian yang dikembangkan oleh Carl Rogers. Rogers menyimpulkan bahwa konsep diri manusia telah muncul sejak masa anak-anak. Struktur diri terbentuk dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya, seperti lingkungan sosial yang meliputi orang tua, anggota keluarga, dan teman.
ADVERTISEMENT
Mengutip dalam jurnalnya (Amalia, 2013), menurut Rogers, setiap manusia memiliki kemauan yang kuat untuk mendapatkan sikap positif, seperti rasa cinta, kehangatan, penghormatan, penghargaan, dan penerimaan dari lingkungan sosialnya.
Hal ini dapat ditinjau dari masa anak-anak, mereka akan merasa senang ketika mendapatkan kasih sayang dari orang dewasa dan merasa kecewa ketika mendapatkan penolakan. Pada dasarnya, seorang anak akan membutuhkan penghargaan positif dari orang terdekatnya.
Kebutuhan ini dibagi menjadi dua, yaitu conditional positive regards (penghargaan positif bersyarat) dan unconditional positive regards (penghargaan positif tak bersyarat). Sejak kecil, anak akan belajar untuk memahami dan melakukan apa yang diharapkan oleh orang-orang terdekatnya agar anak akan mendapatkan penghargaan positif dari orang tersebut.
Penghargaan positif bersyarat dilihat ketika anak merasakan bahwa ia mendapatkan pujian, penghargaan, dan perhatian karena ia berperilaku sesuai dengan ekspetasi dari orang terdekatnya. Tetapi bagi Rogers, penghargaan positif bersyarat ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat terjadi karena anak akan melakukan sesuai dengan standar dari lingkungannya dan tidak mempunyai usaha untuk menemukan jati dirinya.
Selanjutnya, Rogers meninjau bahwa manusia memiliki kemungkinan untuk memberi dan menerima penghargaan positif tak bersyarat, dimana manusia akan diterima, dicintai, dan dihargai tanpa adanya syarat atau pengecualian.
Walaupun penghargaan ini tak bersyarat, bukan berarti orang tua mengizinkan anaknya untuk melakukan hal-hal yang berbahaya bagi orang lain maupun diri sendiri.
Maka dari itu, orang tua perlu melarang, memberi peringatan atau hukuman yang wajar dan tidak menimbulkan kekerasan. Dalam hal ini, orang tua mampu menjelaskan bahwa peringatan atau larangan yang diberikan, tidak akan mengurangi rasa sayang dan cinta kepada anaknya. Maka, seorang anak akan mengembangkan potensinya agar menjadi manusia yang berguna sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan gangguan identitas disosiatif atau DID, masa anak-anak memang memerlukan pola asuh yang baik dari orang tuanya, seperti penghargaan, kasih sayang, dan penerimaan diri. Orang tua sebaiknya melakukan penghargaan positif tak bersyarat karena dalam pendekatan ini, orang tua diharapkan akan membuat anaknya merasa dihormati, dihargai, dan dicintai sebagai manusia yang berharga (Passer & Smith, 2008).
Gangguan kepribadian, khususnya gangguan identitas disosiatif, berkembang pada masa anak-anak yang diakibatkan dengan trauma. Maka dari itu, orang tua perlu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anaknya karena gangguan identitas disosiatif berkaitan erat dengan perilaku yang dibentuk saat masih anak-anak dan dibawa hingga dewasa nanti.