Arus Balik Menuju Otoritarianisme

Alip Dian Pratama
Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sriwijaya Palembang
Konten dari Pengguna
30 September 2021 21:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar di ambil dari kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Gambar di ambil dari kumparan.com
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan tertutup, di mana eksekutif sanggup bertransformasi menjadi mesin yang paling efektif untuk melakukan kontrol dengan sangat disiplin terhadap masyarakat, menjadi wajar jika kekuasaan itu terlihat sangat berwibawa, juga ditakuti, sebab, negara secara konstan, memproduksi elemen-elemen yang bisa menciptakan kesan angker, gelap, dan sunyi terhadap kekuasaan. Pada dasarnya, hal itu diperlukan agar masyarakat memandang dengan perasaan hormat, takjub, dan rendah hati terhadap kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Makanya dalam sistem yang monarki, semakin Raja itu diberikan kesan yang paripurna dan sempurna, maka kekuasaan semakin surplus yang namanya kedigdayaan, sebab, dalam sistem yang feodal seperti itu, sejatinya legitimasi tidak bersumber dari rakyat, namun malah bersumber dari perasaan takut dan gemetar rakyat terhadap Sang Raja. Rasa tenang pada diri Raja, justru bersumber dari hal tersebut; penghambaan yang khidmat rakyat kepada Sang Maharaja.
Namun berbeda dengan negara yang modern, dengan sistem demokrasi yang dijadikan dasar operasionalnya, justru hakikatnya rakyatlah awal dan sumber legitimasi dan rasa tenang Sang Penguasa. Makanya, dalam sistem pemerintahan yang terbuka dan demokratis, rakyat adalah segalanya. Dan justru kekuasaanlah yang harus digerus kewibawaannya. Kesan angker dan tertutup, dengan sengaja wajib dibongkar habis, guna menghindari munculnya Pemimpin-pemimpin yang bertangan besi, yang setiap waktu, menunggu peluang untuk menggerus daulat rakyat, untuk ditukar tambah dengan surplus sakralisasi kekuasaan pada diri Negara.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini anehnya, kita malah semakin sering mendengar gong-gongan para demagog kekuasaan yang bersuara nyaring sekaligus sumbang, meneriakkan aspirasi yang pada dasarnya sama sekali tidak mendewasakan proses demokrasi di negeri kita. Seolah, pengalaman pahit selama hampir tiga dekade yang lalu, dilupakan begitu saja dan tidak dijadikan pembelajaran untuk proyeksi ke depan.
Malah, demagog tersebut hendak mengatasnamakan pandemi, sebagai pintu masuk yang rasional dalam mengubah struktur fundamental bangsa ini, yang dahulunya, dimusyawarahkan secara panas dan sengit, dalam sidang-sidang amandemen konstitusi yang pertama sampai yang keempat. Tentu kita tidak menginginkan wacana demagog itu menang dan mendominasi ruang publik. Hal itu harus dilawan secara tegas dan lantang, tanpa tedeng aling-aling.
Reformasi Dibajak
Maka wacana mengamandemen konstitusi, dengan salah satu agenda untuk menambah panjang umur kekuasaan—baik dalam wujud tiga periode jabatan masa Presiden serta dimundurkannya Pemilu hingga tahun 2027—dalam segala sudut pandang, dan juga dalam semua takaran timbangan keadilan, disimpulkan merupakan sebuah agenda yang mencoba untuk membajak semangat reformasi di tahun 1998 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, bukanlah Sistemnya yang kemudian harus diubah, guna menciptakan kesinambungan pembangunan secara nasional, namun justru para politisinyalah yang harus secara serius dan mendalam, memahami kompleksitas tantangan memimpin sebuah negara yang tengah berjuang untuk setia pada rel demokrasi, dan menjauhi dermaga otoritarianisme yang gelap-gulita tersebut.
Memang menjadi pemimpin dalam sebuah negara yang sebesar ini, semajemuk ini, serta sekompleks ini, tidak pernah mudah. Terlebih, sistem ketatanegaraan kita jika bercermin kepada konsepsi Lawrence M.Fridman (1975), belumlah bisa dikatakan mapan dan ajeg. Masih terus-menerus melakukan trial and error, sehingga dibutuhkan waktu yang panjang agar sampai kepada titik equilibrium yang dicita-citakan.
Friedman memperkenalkan konsep “sistem hukum”, yang terdiri dari tiga aspek; yakni struktur hukum, substansi hukum, serta budaya hukum. Sistem ketatanegaraan suatu negara itu selalu memperhatikan keseimbangan dari ketiga variabel dalam sistem hukum sebagaimana yang disebutkan di atas. Semakin matang suatu negara, maka sistem hukumnya semakin seimbang. Di mana terciptalah lembaga penegak hukum yang independen, demokratis dan modern, sebagai perwujudan dari struktur hukum yang baik, kemudian imbas dari struktur hukum yang baik itu, menghasilkan produk perundang-undangan yang pro-rakyat, sebagai manifestasi dari substansi hukum yang elok, serta lahirlah budaya hukum yang matang yang menjadi karakter dasar masyarakat tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah adalah, ketika politisi justru tidak memiliki kesabaran untuk turut membangun fundamen dan struktur negara kita di masa-masa transisi ini. Bukannya menyingsingkan lengan baju, masuk ke dalam sumber masalah, dan turut serta berkontribusi dengan pikiran-pikiran besarnya untuk merumuskan solusi yang paling rasional yang bisa digunakan untuk mengakhiri proses transisi di masa reformasi ini, dan mentransformasi Indonesia menjadi negara yang adil dan Makmur, sebagaimana yang diamanatkan dalam pancasila, politisi ini justru secara sistemik mencoba menjerumuskan negara ini ke dalam jurang otoritarianisme seperti masa lalu.
Menolak Kalah
Sudah seharusnya kelompok sipil bersatu. Menolak proposal amandemen konstitusi,yang sebenarnya hendak menjebak kita guna kembali ke masa lalu tadi, dengan melahirkan kembali “Setan Alas” yang bernama Negara Kekuasaan,di mana semua atribusi feodalisme dan sakralisasi kekuasaan, menjadi tontonan sehari-hari, dan hukum hanyalah cerminan kehendak penguasa, sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Prof. Soetandyo (1998) dua dekade lalu, yakni ketika aspirasi masyarakat tidak pernah benar-benar di dengar, dan realitas sosial itu merupakan potret yang justru dikonstruksi oleh elite politik melalui perangkat kekuasaannya, berupa media yang bertindak sebagai microphone kekuasaan, sehingga produk hukum itu semata-mata adalah cerminan dari kehendak penguasa guna mengontrol, menekan, dan menguasai secara total semua elemen yang ada di dalam negara, termasuk rakyat dan Kebebasannya.
ADVERTISEMENT
Maka di Masa pandemi ini, seharusnya bukan alasan bagi gerakan sipil untuk tiarap dan terbuai dengan segala keterbatasannya. Mengutuki kegelapan tidak pernah benar-benar berguna untuk memperbaiki keadaan. Mengharapkan hadirnya Ksatria Piningit, atau Imam Mahdi, atau para juru selamat lainnya, hanya semakin mempertegas kelemahan kita sebagai kelompok yang cenderung menyederhanakan persoalan.
Yang terpenting adalah, bagaimana gerakan sipil memanfaatkan keadaan yang mulai mengarah kepada arus balik menuju otoritarianisme ini, guna bersatu-padu menyusun agenda perjuangan yang spesifik dan konkret, serta mengeluarkan sinyal yang mampu didengar oleh kekuasaan, bahwa jika mereka—para Politisi itu—terus-menerus dengan sengaja melewati batas, maka jangan heran jika rakyat akan mengambil paksa mandat yang diberikan dalam medium Pemilu, dan memenuhi panggilan nuraninya, untuk mengkoreksi secara tegas, semua hasrat curang para politikus yang sudah kehilangan legitimasi, dan berturut-turut, akan kehilangan pula rasa hormat dari rakyat di mana mereka menitipkan mandat. []
ADVERTISEMENT
*****
Penulis adalah Alip Dian Pratama, seorang dosen sekaligus menjabat sebagai Direktur Eksekutif pada Lembaga Kajian Strategis yang berbasis di Palembang, Sumatera Selatan, yakni Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS).