Kegilaan yang Paripurna

Alip Dian Pratama
Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sriwijaya Palembang
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 20:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia memang saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bukan hanya disebabkan oleh Pandemi Covid, tentunya, namun juga dikarenakan ulah dari segelintir elit negeri yang mencoba untuk memanfaatkan situasi yang serba sulit ini dengan mengeruk keuntungan semaksimal mungkin. Perilaku oportunis yang amoral itu, bukan saja dalam bentuk menumpuk alat kesehatan yang kian sulit didapatkan oleh publik, namun juga dalam bentuk penyelundupan produk hukum secara diam-diam, guna melegitimasi suatu peristiwa atau aktor, agar memiliki dasar yang solid secara legal formal.
ADVERTISEMENT
Pertama tentu semua masih ingat, ketika covid merebak di mana-mana, ketika kita semua berjuang hidup-mati dalam balutan keringat, darah, dan air mata, dikarenakan putera-puteri terbaik Ibu Pertiwi pamit pergi satu persatu dikarenakan gugur di medan laga, dalam bergulat dengan Covid, justru elit di negeri ini, secara ajaib, mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di tahun 2020 yang lalu. Benar-benar kejutan. Sangat tak disangka dan diduga.
Kontan saja Gerakan Sipil merespons dengan api amarah yang luar biasa di jalan-jalan utama Ibu Kota. Teriakan-teriakan kritis yang terdengar sumbang itu, berjejal memenuhi jagad sosial media dunia. Semua sumpah-serapah terbaik, hingga berbagai macam aksi dan postingan sindiran yang paling tajam, dimuntahkan kepada Pemerintah dan DPR. Namun sepertinya amukan tersebut ditanggapi biasa saja oleh Pemerintah dan DPR. Mereka hanya berhenti sebentar untuk kemudian berlalu begitu saja. Kembali melanjutkan hidup yang tetap nikmat, meskipun dunia tengah berada di tepi jurang neraka.
ADVERTISEMENT
Kedua adalah aksi meme dari BEM UI yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. Di dalam meme tersebut, Presiden dijuluki dengan gelar, “the king of lip service”. Sebuah sindiran yang mencengangkan kita semua. Jidat Ade Armando nampak berkerut ketika melihat tingkah-polah kreatif anak didiknya itu. Namun bukan itu poinnya. Titik krusialnya adalah ketika selang beberapa waktu postingan itu dirilis, pengurus BEM UI langsung mendapat Surat Panggilan dari Rektorat UI, khususnya bidang kemahasiswaan. Menurut keterangan dari BEM UI, mereka dinasihati untuk tidak mengulangi perbuatan membikin meme tersebut. Sebab dianggap melanggar peraturan dan norma.
Keruan saja publik segera tertawa terpingkal-pingkal dengan perilaku Rektorat UI yang lebih mencerminkan seolah sebagai institusi yang di bawah ketiak Kekuasaan. Topik mengenai kebebasan berpendapat, menyatakan pikiran, dan naluri kritisisme terhadap kekuasaan yang harus dipupuk sejak dini di bangku kuliah, menjadi bahasan yang trending di jadah maya. Seolah, publik hendak memberikan pengajaran ulang kepada Kampus UI bahwa Perguruan Tinggi itu, haruslah menjadi corong dari masyarakat, bukan sebaliknya, bertindak menjadi watch dog-nya penguasa.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dan ini yang paling ajaib. Presiden, baru saja menandatangani PP Nomor 75 Tahun 2021, itu ditandatangani Jokowi pada 2 Juli 2021 dan diundangkan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly pada 2 Juli 2021. PP tentang Statuta UI terbaru itu, mengubah ketentuan yang sebelumnya melarang Rektor melakukan rangkap jabatan publik (pasal 35), yang kemudian menjadi pasal 39 dengan ketentuan dibolehkan melakukan rangkap jabatan. Keruan saja ini menjadi kegilaan selanjutnya yang diciptakan oleh Penguasa melalui alat-alat kekuasaannya.
Memang berbarengan dengan pemanggilan Pengurus BEM UI oleh Rektorat, sebagaimana yang disinggung di atas, Netizen secara kompak meneriakkan agar Rektor UI segera mundur dari jabatannya, disebabkan telah melanggar ketentuan Statuta UI yang melarang Rektor melakukan rangkap jabatan. Berbagai sindiran dan kritik yang diluncurkan oleh semua kalangan masyarakat, mulai dari aktivis mahasiswa, akademisi, hingga Alumni UI sendiri, bertubi-tubi menghiasi tajuk utama berita nasional pada waktu itu, namun, semuanya berlalu begitu saja, Rektor UI pada akhirnya meninggalkan ijtihadnya untuk tetap ‘mengabdi di UI’, sekaligus di BUMN terkemuka nasional. Per 22 Juli 2021, Sang Rektor telah menanggalkan jabatannya di BUMN dan lebih memilih UI sebagai bagian dari masa depannya.
ADVERTISEMENT

Kegilaan dan Kekuasaan

Disini kita melihat sebuah adegan telanjang bulat-bulat dari Penguasa, yang mencoba menunjukkan siapa diri mereka yang sesungguhnya dihadapan kita yang Kawula Alit ini. Dengan lancangnya, tangan kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk membelai dan mengayomi rakyat ini, justru digunakan untuk melecuti satu demi satu luka borok rakyat yang menganga dan berbau anyir dikarenakan hampir kalah tanpa perlawanan dihantam oleh berbagai kenyataan yang sulit dan pahit ini.
Hukum yang seharusnya menjadi sumber lahir dan terbitnya sinar fajar keadilan, malah melahirkan duka dan nestapa bagi rakyat. Namun bagi kawula Elit yang memiliki akses terhadap kekuasaan, hukum justru berupa titah raja yang bagaimana isi dan substansinya, bisa diganti sesuai pesanan dan kehendak penikmat Istana.
ADVERTISEMENT
Selznick dan Nonet (1978) sudah memperingatkan kita semua adanya potensi hukum diintervensi oleh kekuasaan, sehingga fungsi, definisi, dan substansinya, bisa dibajak oleh Penguasa, dan digunakan untuk mentorpedo semua elemen yang berpotensi merintangi jalan tol kekuasaan, dan juga bisa digunakan untuk semakin mengukuhkan otot-otot kekuasaan yang jumawa. Itulah yang kemudian, oleh Selznick dan Nonet disebut dengan “hukum represif”. Suatu produk hukum yang dibuat dalam kerangka tukar-menukar kepentingan kelompok elit penguasa, dan ditujukan untuk memberikan keuntungan material dengan adanya produk hukum tersebut.
Kita hanya bisa berbaik sangka saja, bahwa PP No. 75 Tahun 2021 itu tidak diniatkan untuk memberikan jalan pintas bagi “Orang-orang Presiden” agar bisa memeluk semua jabatan yang disediakan oleh Negara. Namun, justru dibuatkan, sebagai sarana untuk membentuk karakter kepribadian yang unggul, dan jabatan Rektor UI serta di BUMN tersebut, sebagai sarana untuk menguji terbentuknya kepribadian unggul yang berbasiskan kepada ‘revolusi mental’ sebagaimana yang sering didengungkan melalui microphone kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Saya juga malah teringat dengan konsepsinya seorang filsuf modern dari Perancis, Michael Foucault (1961), yang secara lebih spesifik menginisiasi penelitian mengenai perilaku kekuasaan yang terlampau berlebih-lebihan di dalam menggunakan kewenangannya, sehingga menimbulkan korban represi yang tak sedikit.
Dalam istilah Foucault, hal itu disebut dengan “kegilaan” atau “madness” dalam terminologi bakunya. Menurut Foucault, kegilaan adalah gejala yang dibentuk oleh kelompok elit di suatu masyarakat. Kelompok elit ini bisa dalam wujud pemerintah, intelektual, agamawan, dan lainnya. Kelompok elit ini menggunakan istilah “gila” sebagai senjata untuk menyingkirkan kelompok yang berseberangan agenda dan kepentingan dengan mereka semua. Ketika seseorang dikatakan “gila”, maka ia akan disingkirkan hingga terpojok, dan kemudian khalayak umum ikut orkestra buatan elit tersebut dengan ikut-ikutan mengatainya “gila”.
ADVERTISEMENT
Itu jugalah yang sempat kita lihat di dalam realitas bernegara kita hari-hari ini. Ketika mereka yang kritis dan bersuara nyaring, justru ditorpedo oleh buzzer kekuasaan sebagai kelompok yang “gila” sebab dianggap kekurangan vitamin ‘sopan santun’ dan vitamin ‘tenggang rasa’. Sebab, menurut logika kekuasaan, hanya nasihat yang mencerminkan kedua vitamin itulah, yang layak dikonsumsi oleh kekuasaan, dan menyehatkan tubuh dan syaraf kekuasaan.
Terlepas dari itu semua, kita tentu tidak menginginkan perilaku kekuasaan hari ini seperti yang ditesiskan oleh Foucault. Namun, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk saling mengingatkan dan menasehati agar kekuasaan tidak digunakan dengan itikad-itikad yang tidak bersesuaian dengan etika-etika kehidupan kita bersama.
Yang secara spesifik, kita bingkai dalam falsafah Pancasila. Utamanya “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Keadilan yang luhur, yang hanya mungkin lahir dari tangan-tangan Penguasa yang tidak memiliki penyakit jiwa dan kehendak korup terhadap kewenangannya yang besar, juga keberadaban yang hanya mungkin muncul jika kekuasaan dijalankan dengan bertanggung jawab dan penuh kehati-hatian, disebabkan kita semua tahu bahwa kuasa itu memiliki banyak jebakannya. []
ADVERTISEMENT
*Oleh: Alip D. Pratama (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Center for Democracy and Civilization Studies, CDCS—Sumsel)
Kampus Universitas Indonesia, Depok. Foto: Universitas Indonesia