Matinya Kepakaran

Alip Dian Pratama
Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sriwijaya Palembang
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2020 21:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Matinya Kepakaran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok”—Tom Nichols, The Death of Expertise.
ADVERTISEMENT
Di tengah gegap gempita perkembangan dan kemajuan media sosial dan dunia internet, netizen, bak menjadi sebuah raja yang tak terkalahkan. Melalui fasilitas platform canggih tersebut, seseorang, tiba-tiba saja bisa menjadi seorang yang amat-sangat terkenal secepat kilat, baik itu karena prestasinya, maupun karena kebodohannya. Beberapa waktu yang lalu, ada seorang dokter yang ‘mengaku’ bergelar Profesor, mendeklarasikan telah menemukan obat dari virus pandemic Covid-19. Sang Dokter itu bukan berasal dari Tiongkok atau Amerika, bukan. Tapi benar-benar berasal dari negeri kita sendiri.
Di tengah perdebatan dan silang pendapat mengenai asal-usul dari virus pandemic ini, tiba-tiba saja, Indonesia mengejutkan dunia. Salah seorang ‘pakar’ tersebut, melalui fasilitas yang disediakan oleh seorang youtuber sekaligus penyanyi terkenal di Indonesia, dalam sebuah dialog akrab di malam hari dan suasana yang redup-redam, membincangi tentang virus yang telah meluluh-lantakkan tatanan mapan kehidupan umat manusia yang telah terpelihara sekian ratus tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Klaim ‘sang pakar’ tersebut tak main-main. Dia sesumbar, bahwa melalui racikan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi Pertiwi ini, virus mematikan tersebut bisa dilawan. Tentu saja, karena yang berbicara adalah orang yang mendaku sebagai pemegang otoritas di bidang kesehatan dan hal-hal yang berkaitan dengan virus tersebut, netizen yang menonton dialog di channel youtube milik sang youtuber sekaligus penyanyi itu banyak yang menaruh asa teramat besar terhadap penemuan ‘jitu’ tersebut.
Seolah-olah, di dalam benak kita, kita benar-benar telah lebih baik, dibandingkan Tiongkok, Amerika, dan Negara manapun di dunia ini. Sebab kita telah menemukan obat tersebut. dan itu warga Negara kita. Asli produk lokal!
Berita ini seolah mampu menghapus lelucon yang pernah dideklarasikan oleh Menteri kita tercinta. Yang mengenakan kalung dengan judul, “kalung anti covid-19”. Keruan saja tingkah-polah para pejabat kita tersebut menjadi sebuah hiburan, di tengah kerasnya kehidupan yang kita rasakan, dan getirnya masa depan, setelah pandemic ini datang tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Namun benarkah kita hanya perlu yakin dan tenang saja dengan klaim sang dokter tersebut?
Nyatanya tidak. Organisasi profesi kedokteran, segera mengkritisi tayangan dialog dan klaim dari sang dokter pengaku penemu obat covid-19 tersebut. bahkan, belakangan muncul video dengan judul, “Reaksi Ahli Biologi Molekuler” yang bergelar P.hD di Amerika terhadap video dialog dari sang dokter penemu obat covid-19 tadi. Organisasi profesi kedokteran, bahkan meragukan gelar akademik sang penemu virus tersebut. dan per-hari ini, jagat maya di Indonesia, riuh-gaduh membahas tentang kebenaran dan kesejatian dari video dialog yang berbicara tentang penemuan obat covid-19 tersebut. lebih gawatnya lagi, muncul pula wacana untuk mempidanakan sang penemu dan youtuber yang memfasilitasi dialog tersebut, dengan tuduhan penyebaran informasi palsu/menyesatkan.
ADVERTISEMENT
WAJAH KEDUNGUAN KITA SEMUA
Era digital dan terus majunya dunia internet, membuat siapapun bisa menjadi apapun yang mereka inginkan, dan merdeka mengemukakan apa saja, dan dengan memanfaatkan kebebasan tersebut, ditambah dengan unsur popularitas yang dimiliki oleh para public figure yang terkenal entah karena konten yang mereka unggah di Youtube, atau Instagram, atau Facebook, ataupun platform lainnya, membuat semuanya bergerak dengan sangat cepat dan massif.
Percakapan mengenai kedunguan kita yang terlalu mudah mempercayai mereka yang pada dasarnya sama sekali tidak memiliki basis otoritas untuk membincangi suatu ‘bidang studi’ tertentu, pada akhirnya berujung pada ketidakpedulian kita terhadap peran para pakar ataupun para akademisi yang sesungguhnya, memiliki otoritas dan keahlian dalam membincangi suatu bidang studi tertentu; ambil contoh mengenai virus covid-19 ini.
ADVERTISEMENT
Bisa saja karena tabiat masyarakat modern, yang dibutakan oleh kecanggihan gawainya, dengan sentuhan sepersekian detik jempol di layar gawai, mampu menghubungkan kita dengan arus berita berskala massif, sehingga di dalam arus besar tersebut, berserakan semua informasi mengenai suatu tema atau topic tertentu, dan tak ayal, membuat kita menjadi terlalu gampang mempercayai apa yang disajikan oleh internet melalui layar gawai kita, dibandingkan terlebih dahulu memunculkan sikap skeptic di dalam diri kita, sehingga sedari awal membaca arus informasi yang deras dan massif tersebut, secara spontan kita dalam posisi kritis terhadap semua hal yang muncul di dalamnya.
Atau memang menjadi pakar, dan mendaku diri kita sendiri sebagai pakar, dengan hanya bermodalkan pembacaan kita yang dirasa gemuk dari berbagai macam portal-portal berita yang tidak jelas kredibilitasnya, atau juga karena kita baru saja terguncang dan teraduk-aduk emosinya disebabkan baru saja membaca sebuah status panjang di layar gawai kita yang dikirimkan di sebuah grup pertemanan di aplikasi whatsapp kita, sehingga, disaat itu juga kemudian kita tidak dapat menahan diri untuk berkomentar dan mentransformasi diri kita bak pakar yang amat-sangat paham mengenai suatu problematika bidang tertentu yang lagi hangat diperbincangkan. Seolah, jika terlambat barang sebentar saja kita ikut berkomentar, itu akan menjadi sebuah kerugian besar bagi arus peradaban umat manusia yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Dan gejala itu sejatinya bukan monopoli netizen kita saja. Para netizen yang berasal dari Negara-negara maju juga sebenarnya seperti kita. Mudah menyandarkan pendapat terhadap seseorang yang sebenarnya tidak memiliki basis otoritas yang kredibel untuk dijadikan referensi, dan mudah pula terpancing untuk berkomentar di luar batas keahlian diri sendiri.
Gejala ini tidak hanya menghinggap rakyat jelata seperti kita sebenarnya. Para elit politik pun, tak pelak bisa tergelincir ke dalam kubangan kedunguan tersebut. ambil contoh dagelan yang dipertontonkan oleh Menteri kita tercinta yang mengklaim dengan menggunakan ‘kalung sakti’ tadi, covid-19 akan minggat. Nyatanya, produk ajaib sang Menteri belumlah teruji secara klinis, akademis, dan aneka standarisasi lainnya. Namun, secara brutal, sudah diumumkan dikhalayak luas dan didaulat sebagai kalung sakti mandraguna.
ADVERTISEMENT
Tapi tenang saja, yang pandai melawak sebenarnya bukan elit kita saja. Presiden Amerika, Donald Trump, sosok pria paling berpengaruh dan kuat di jagad ini, bahkan kerap berkomentar yang aneh-aneh, dan sering menyudutkan para akademisi dan pakar di negaranya, dengan berbagai macam komentar minor mengenai covid-19. Dan sebagai akibat dari ketidakpercayaan sang Presiden kepada kelompok pakar ini, akhirnya angka penyebaran covid-19 di Amerika termasuk yang terparah di dunia.
Dan masalah menjadi kian pelik, ketika para pakar, yang sebagaimana kita ketahui, telah menghabiskan umur terbaik mereka di bidang yang secara tekun mereka geluti bertahun-tahun lamanya, seolah kehilangan relevansinya di era digital saat ini. Semua orang asyik berebut menjadi pakar, bahkan untuk suatu bidang yang masa studinya itu bisa sampai bilangan decade, namun oleh sepak terjang para netizen dan kita semua yang kenyang menggunakan riset bermetodekan baca grup whatsapp dan status milik influencer, semua hal yang telah digeluti oleh sang pakar berdekade-dekade itu, sama sekali tidak berarti.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, jika gejala ini terus dibiarkan, apalagi jika gejala ini telah terdeteksi pula menyebar ke dalam Istana, maka seharusnya kita perlu waspada dan khawatir. Bukan tidak mungkin, produk kebijakan strategis Negara kita ini, lahir, dikarenakan sang elit, baru saja terinspirasi dan tergugah emosionalitasnya, setelah menonton film serial di Netflix, atau baru saja menonton dialog podcast dari seorang youtuber ternama di Indonesia, sehingga, produk kebijakan tersebut, sama sekali tidak berbasiskan pendekatan-pendekatan saintifik di dalamnya, disebabkan, alpanya peran para pakar, di dalam urusan berbangsa dan bernegara kita. Jika sudah begitu, mari kita bersiap-siap melatih diri kita untuk terbiasa mandiri di segala urusan, untuk sekedar berjaga-jaga, kalau-kalau kapal bernama Indonesia ini akan karam, setelah nakhkodanya, kehilangan kepercayaan terhadap kru-kru yang berpengalaman dan terampil berhadap-hadapan dengan badai dan cuaca ekstrem di samudera kehidupan.
ADVERTISEMENT
“Keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik: kita menjauhi pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mithos yang disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik” –Tom Nichols[]