Politik Dinasti; Jalan Singkat Menuju Kekuasaan

Alip Dian Pratama
Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sriwijaya Palembang
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2020 6:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar diambil dari warthogs inc
zoom-in-whitePerbesar
gambar diambil dari warthogs inc
ADVERTISEMENT
Pasca mengukuhkan keterpilihannya untuk kali kedua sebagai Presiden di Republik ini, Jokowi terlihat tidak mau menghela nafas barang sejenak. Ditahun 2020 ini, ketika kita masih diliputi dengan persoalan Covid-19 yang memberikan efek yang sangat destruktif bagi dimensi ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya bagi kehidupan kita, justru sang “pemimpin sederhana” ini tengah asyik beradu strategi dipapan catur politik pilkada serentak yang akan dihelat pada akhir tahun nanti ini.
ADVERTISEMENT
Diketahui dari pemberitaan di berbagai media, setidaknya, ada anak kandungnya, mantunya, dan iparnya, yang sudah sangat siap sedia mengarungi kompetisi politik di negeri ini. Yang mendapatkan sorotan cukup eksklusif tentu sang anak; Gibran. Entah kebetulan atau tidak, sosok Gibran diramal tidak akan menemui hambatan yang berarti dalam rangka duduk menuju kursi Walikota Solo. Sebab, garansi tiket dari Megawati sebagai Ketum PDI Perjuangan, dan penguasaan lebih dari separuh kursi di parlemen Solo, secara matematis, Gibran akan menjadi satu-satunya calon yang lolos verifikasi KPU, dan kemungkinan ‘hanya’ akan melawan kotak kosong.
Rekam jejak sang anak sulung kontan ditelisik oleh netizen. Kira-kira, sebagai anak presiden yang tengah menjabat, dan dikenal sebagai pribadi sederhana yang datang dari keluarga “bukan patron utama” di kancah politik nasional, dan pernah menggaransi bahwa anak-anaknya, selama ia menjabat, tidak akan maju dalam perhelatan Politik, tentu menjadi menarik untuk didiskusikan ke muka publik.
ADVERTISEMENT
Dan memang si sulung tidak memiliki rekam jejak yang jelas di dunia politik. Sebagaimana ayahnya dulu ketika pertama kali masuk ke dunia politik, yang hanya bermodalkan pengalaman mengelola bisnis skala lokal di Solo, namun memiliki koneksi yang sangat harmonis dengan actor-aktor politik kuat di republik ini, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, begitupun takdir hidup sang sulung ini. Dia juga hanyalah seorang pebisnis yang buta tentang realitas politik, namun karena memiliki koneksi bagus, dan figure kuat Ayahnya yang Presiden aktif, maka semua syarat-syarat dasar politisi sebagaimana yang dirangkum oleh Aristoteles, seperti; memiliki kapasitas, kemampuan mengkoordinir, wibawa, berfikir ke depan, dan bermoral, semuanya seperti menjadi tidak relevan di hadapan takdir baik milik si sulung ini.
ADVERTISEMENT
Masalah Etik
Menurut Arthur Bragança dan Rio Juan Rios dalam tulisannya, “Political Dynasties and the Quality of Government”, Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dynasti politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada system sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut. Dinasti politik yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka dinasti politik dapat berarti negatif. Istilah lain yang sepadan dengan pengertian dinasti politik adalah tren politik kekerabatan.
ADVERTISEMENT
Sementara, menurut Akbar Faisal, dari Nagari Institute, Pada Pemilu 2019, dinasti politik pun meningkat. Ini terbukti dari riset Nagara Institute bahwa sedikitnya 99 orang anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik. Sementara pada Pemilu 2014 terdapat 51 kasus dan Pemilu 2009 ada 27 kasus. Politik dinasti telah diakui menjadi ancaman bagi demokrasi. Praktik ini membelokkan angan-angan demokrasi: menciptakan oligarki, nepotitisme, menjauhkan meritokrasi, dan rentan melahirkan perkara rasuah. Meski demikian, praktik ini makin subur di Indonesia. Menurut Nagara Institue, dari 541 wilayah meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang menggelar pilkada sepanjang tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah atau 14,78 persen terpapar dinasti politik (kepala daerah terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik). Banten menempati urutan pertama provinsi yang paling banyak terpapar (55,56 persen).
ADVERTISEMENT
Memang di Indonesia ini, urusan politik dinasti, secara legal formal, tidak ada pengaturannya secara gamblang. Sebab, bersandar pada konstitusi di pasal 28 mengenai HAM,maka di situ jelas bahwa hak politik itu adalah hak milik semua warga Negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Negara wajib melindungi hak yang fundamental tersebut. akan tetapi, berlaku pula sebuah adagium seperti ini, “semua hal yang tidak diatur atau belum diatur di dalam undang-undang, maka hal tersebut masuk ke wilayah etika-moral”.
Menjadi persoalan di sini ketika seorang pejabat publik yang tengah menjabat, dengan kewenangan dan otoritas yang sangat massif sebagai seorang Presiden dalam sebuah Negara yang menganut sistem presidensial, tiba-tiba memberikan restu kepada kerabatnya (karena politik dinasti juga dikenal dengan istilah politik kekerabatan), yang dalam hal ini anak kandungnya, untuk terjun ke dunia politik dan berpotensi menikmati privilese sebagai seorang yang memiliki akses, dan hubungan yang sangat intim dengan pusat kekuasaan di republik ini.
ADVERTISEMENT
Sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan esensial yang disebabkan dengan adanya fenomena tersebut; bagaimanakah independensi lembaga penyelenggara pemilu, jika yang ikut berkompetisi nantinya adalah seorang warga Negara yang memiliki basis hubungan yang intim dengan Istana? Apakah wajar, seorang Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, member restu kepada anak kandungnya—ditengah masa jabatannya yang dipenuhi tantangan besar dalam skala global, sehingga berpotensi membuat fokus dan perhatian sang ayah akan terdistraksi kepada urusan pemenangan sang putra sulungnya?
Semua pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, tentunya baru permulaan. Sebab, jika sang anak, sang menantu, dan sang ipar tadi, kesemuanya terpilih, bukan tidak mungkin akan ada kali berikutnya, ketika anak bungsu, atau besan, dan lainnya, ikut pula memberikan tekanan dan tuntutan kepada Presiden Jokowi untuk mendapatkan giliran selanjutnya di masa yang akan datang. Sehingga, bukannya menjadi seorang negarawan yang memberikan contoh dan teladan serta ‘legacy’ yang baik bagi negeri, justru kemudian Sang Presiden malah disibukkan dengan agenda pembentukan fondasi jangka panjang sebagai ‘keluarga elit’ baru di republik ini yang memiliki pengaruh signifikan dalam percaturan politik nasional, sebagaimana nama-nama keluarga sebelumnya yang sudah lebih dahulu muncul dan membentangkan sayap pengaruhnya di republik ini, seperti keluarga Soekarno, Yudhoyono, atau juga ‘keluarga cendana’ milik Soeharto. []
ADVERTISEMENT