Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Soekarno dan Soeharto, Otoritarianisme Masa Lalu
6 Juli 2021 10:52 WIB
·
waktu baca 9 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:48 WIB
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Otoritarianisme merupakan masa lalu di Indonesia. Mulai dari pemerintahan Presiden Soekarno di masa demokrasi terpimpin, yang kemudian kita kenal dengan sebutan orde lama, hingga masa pemerintahan Soeharto pada demokrasi Pancasila dan kemudian kita sebut dengan istilah Orde Baru, kedua rezim tersebut memiliki kesamaan: kedua rezim tersebut mengalami surplus kekuasaan pada diri eksekutif dan minus kontrol yang seharusnya dilakukan oleh kelompok oposisi, dikarenakan kelompok oposisi kehilangan relevansinya di hadapan kedua rezim tersebut.
ADVERTISEMENT
Demokrasi menjadi hal yang sangat bernilai semasa kita hidup di kedua rezim pemerintahan tersebut. adanya kebebasan sipil, jalannya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh kelompok oposisi, hadirnya Insan pers yang independen di dalam melakukan fungsi controlling, hingga tingginya komitmen yang dilakukan oleh pemerintah terhadap aturan-aturan hukum yang demokratis semua itu menjadi hal yang sangat istimewa pada kedua masa pemerintahan tersebut.
Kebebasan berkumpul dan berserikat yang menjadi identitas yang seharusnya melekat pada kelompok sipil, pun juga menjadi hal yang sangat langka pada kedua rezim pemerintahan tersebut, sehingga pada masa tersebut iklim demokrasi benar-benar menjadi hal yang amat sangat diimpi-impikan oleh masyarakat pada waktu itu.
Padahal sebenarnya, kedua presiden tersebut baik Soekarno maupun Soeharto merupakan presiden yang dipilih secara sangat demokratis oleh para elite politik pada masa itu. Namun, karena besarnya Obsesi kekuasaan yang melekat pada kedua aktor tersebut serta rendahnya kesadaran budaya berdemokrasi di kalangan kelompok intelektual pada masa itu, membuat kedua aktor politik tersebut justru bertransformasi menjadi figur pemimpin yang kuat.
ADVERTISEMENT
Dan, transformasi tersebut semakin menemukan relevansinya, ketika kita mendapati suatu fakta bahwa kedua rezim pemerintahan tersebut menjalankan roda pemerintahannya dengan amat sangat keras dan brutal khususnya terhadap seluruh lawan-lawan politiknya.
Keadaan menjadi semakin parah, ketika kita juga mendapati bahwa orang-orang di sekeliling kedua pemimpin tersebut merupakan tipikal orang-orang yang sangat berhati-hati dalam menyampaikan kritik dan nasihat terhadap kedua presiden tersebut.
Bahkan keadaan menjadi semakin runyam, ketika lingkaran dalam presiden melakukan pembiaran yang sangat terang benderang yang berujung pada semakin teguhnya posisi sang pemimpin tersebut di dalam konteks pemerintahan di Republik Indonesia pada waktu itu.
Dalam konteks hubungan sipil dan militer, kedua rezim pemerintahan tersebut juga membiarkan kelompok militer memasuki Lini politik dan pemerintahan, sehingga terjadilah simbiosis mutualisme antara kelompok sipil eksekutif di satu sisi, dan juga kelompok militer yang pragmatis di sisi lain yang lain.
ADVERTISEMENT
Militer pada kedua rezim tersebut bertansformasi menjadi alat pengawas terhadap Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh kelompok sipil di Republik ini. terlebih lagi pada masa pemerintahan presiden Soeharto, fungsi militer khususnya Angkatan Darat menjadi sangat krusial, sehingga Angkatan Darat menjadi tulang punggung kekuasaan presiden Soeharto selama 32 tahun terakhir.
Dalam konteks penegakan HAM ke-2 presiden tersebut juga memiliki masalah yang serupa. Baik Soekarno maupun Soeharto, memiliki reputasi yang amat sangat buruk terhadap komitmen mereka dalam penegakan HAM. Banyaknya kelompok oposisi yang kemudian dipenjara tanpa melalui proses persidangan yang sesuai dengan asas-asas equality before the law, utamanya kalau kita merujuk pada kasus pelanggaran HAM pasca terjadinya peristiwa G30S PKI, mulai saat itu masalah mengenai HAM menjadi sesuatu yang tidak pernah selesai dijawab dan didiskusikan secara terang benderang di Republik ini.
ADVERTISEMENT
Kelompok pers juga tidak luput mengalami pembredelan dan juga pengawasan yang sangat disiplin oleh rezim pemerintahan pada waktu itu. beberapa Insan pers bahkan mesti bolak-balik masuk penjara, dan juga beberapa di antaranya mengalami interferensi yang sangat luar biasa ketika memutuskan untuk memuat suatu berita tertentu yang berkenaan dengan hal-hal yang personal pada diri Presiden pada waktu itu.
Kritik yang dilancarkan oleh Bung Hatta bahkan juga oleh kelompok Dewan Dakwah Islam Indonesia terhadap Presiden Soekarno dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manikebu terhadap rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang diinisiasi langsung oleh ibu Tien Soeharto berujung pada pemenjaraan kedua kelompok tersebut pada masa kedua Rezim tersebut.
Suasana kebebasan kampu spun mengalami penyumbatan yang sangat signifikan. Kelompok dosen yang kritis, baik melalui karya penelitiannya serta aktifismenya dalam dunia pergerakan, biasanya akan mendapatkan intervensi yang konstan dari penguasaan melalui pejabat di lingkungan Kampus, bahkan yang paling buruk, dosen yang kritis tersebut kemudian diberhentikan dari institusi Perguruan Tinggi tempat dia bernaung.
ADVERTISEMENT
Kasus yang terjadi pada Arief Budiman, atau juga Ariel Heryanto, mengafirmasi hal tersebut. Perlakuan yang sama juga dialami oleh aktivis mahasiswa. Mereka yang kritis, dan yang terlibat secara langsung pada pengorganisiran aksi turun ke jalan mengkritik Penguasa, biasanya mendapatkan tekanan dari pejabat Kampus, hingga berujung pada pemenjaraan tanpa melalui proses hukum yang transparan dan prudence.
Kajian tentang otoritarianisme sudah dimulai sekitar menjelang perang dunia kedua dan sesudahnya. Erich Fromm (1960) memahami otoritarianisme sebagai suatu karakter sosial yakni kanalisasi dorongandorongan eksistensial untuk menjalin relasi dengan sesama secara tidak produktif. Bentuk ideal relasi antar manusia adalah cinta, sedang otoritarianisme adalah antitesisnya, yaitu dominasi-submisi. Orangorang otoritarian memandang realitas secara sempit sebagai tempat perebutan kekuasaan. Ada yang di atas dan ada yang di bawah, dan tidak ada solidaritas antar manusia (Fromm, 1960).
ADVERTISEMENT
Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, & Sanford (1950) serta Altemeyer (2006) memandang otoritarianisme sebagai salah satu bentuk kepribadian. Mereka mendefinisikan otoritarianisme sebagai kecenderungan kepribadian untuk tunduk dan taat pada otoritas maupun kelompok baik yang termanifestasikan dalam pribadi-pribadi orang yang berkuasa (otoritarian submisif) maupun nilai-nilai normatif (konvensionalisme) serta kecenderungan untuk bersikap dan bertindak agresif terhadap orang atau kelompok orang yang dianggap berbeda dan menentang nilai-nilai masyarakat (otoritarian agresif). Adorno et al. (1950) dengan menggunakan hipotesis psikoanalitik menambahkan beberapa karakter kognitif dan afektif seperti pikiran stereotip kaku, keyakinan pada gejala-gejala supranatural, sikap membenci kelemah-lembutan dan kemanusiaan, identifikasi diri pada kekuasaan dan gambaran dunia yang berbahaya.
Skala F yang disusun oleh Adorno et al (1950) mencakup kepribadian dasar otoritarianisme maupun karakteristik kognitif-afektif tersebut. Altemeyer (2006) menyederhanakan skala F dengan menyusun skala Right Wing Authoritarianism yang mempertahankan tiga karakter inti otoritarianisme (otoritarianisme submisif, agresif dan konvensional). Studi-studi tentang otoritarianisme banyak dipakai untuk menjelaskan keterkaitan kepribadian dengan prasangka maupun kebencian (Faturochman, 1993).
ADVERTISEMENT
ERA SOEKARNO
Sejarah masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) di Indonesia terkait erat dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sistem politik dan pemerintahan ini bersifat terpusat yang membuat kekuasaan Presiden Sukarno menjadi amat kuat. Dikutip dari Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (2001) karya Mahfud M.D, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi:
1. Pembubaran konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Tidak berlakunya UUDS 1950.
4. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai berakhirnya Demokrasi Liberal dan digantikan dengan Demokrasi Terpimpin. Dikutip dari Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (2001) karya Mahfud M.D, berikut ini isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Pembubaran konstituante. Berlakunya kembali UUD 1945. Tidak berlakunya UUDS 1950. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai berakhirnya Demokrasi Liberal dan digantikan dengan Demokrasi Terpimpin.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, Demokrasi Terpimpin sebagai suatu sistem pemerintahan dilakukan berdasarkan UUD 1945. Namun, pada praktiknya tidak demikian. Demokrasi Terpimpin justru mengarah pada pemusatan kekuasaan dalam satu tangan, tidak mengindahkan quorum dan oposisi, serta tidak menghendaki pemungutan suara.
DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan dan diganti dengan DPR Gotong Royong yang anggota-anggotanya dipilih dan diangkat sendiri oleh presiden. Begitu pula dengan pembentukan dan penyusunan lembaga-lembaga negara tertinggi lainnya seperti MPRS dan DPAS.
Dengan demikian, dikutip dari tulisan bertajuk "Rantjangan Pendjelasan Pelengkap Undang-Undang Dasar 1945" yang terhimpun dalam Buletin MPRS (1967), pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyeleweng dari ketentuan UUD 1945. Pada pelaksanaannya, justru terjadi beberapa pelanggaran terhadap UUD 1945 dan pemerintah cenderung menjadi sentralistik.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Endah Murniaseh di artikel "Sejarah Sistem Demokrasi Terpimpin Sukarno di Indonesia 1959-1965", Demokrasi Terpimpin melakukan beberapa penyelewengan yang sangat luar biasa menabrak sendi-sendi demokrasi, di antaranya;
1. Mengaburnya Sistem Kepartaian, dengan masuknya ABRI sebagai bagian dari entitas politik pada waktu itu;
2. Melemahnya Lembaga legislatif, sebab pasca dilantiknya DPR Gotong-Royong, praktis lembaga tersebut menjadi “stempel penguasa”, dan menjadi tidak efektif di dalam melakukan fungsi pengawasan;
3. HAM menjadi sangat tidak diapresiasi, melalui penyingkiran beberapa lawan politik yang berbeda pendapat terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin Soekarno;
4. Terkoyaknya kebebasan pers, melalui pelarangan penerbitan surat kabar milik Masjumi dan PSI;
5. Dan juga otonomi daerah yang sangat terbatas, sehingga kekuasaan Pusat menjadi sangat dominan.
ADVERTISEMENT
ERA SOEHARTO
Pemilu pertama era Orde Baru yang digelar pada 1971 diiringi sejumlah aksi pembenaman kekuatan politik sisa Orde Lama. Soeharto, lewat Operasi Khusus yang dipimpin Ali Moertopo, mengintervensi Partai Nasional Indonesia (PNI). Intelektual Merle Calvin Ricklefs (2008) dalam tulisannya, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”, mencatat, meski kalangan anti-Sukarno di militer dan kelompok Islam menginginkan PNI dibubarkan, Soeharto masih mencemaskan apa yang ia sebut sebagai fanatisme Islam, sehingga ia menganggap PNI bisa menjadi penyeimbangnya. Karena itu Soeharto tidak melarang partai berlambang banteng tersebut, melainkan hanya membersihkannya.
Sedangkan suara Islam modernis yang menghendaki kembali ke gelanggang politik setelah Masyumi dibubarkan ditampung lewat pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang dikontrol ketat oleh pemerintah. Dalam catatan Ricklefs, sejak Pemilu 1971, Orde Baru lewat Ali Moertopo, Amir Mahmud (Menteri Dalam Negeri), dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menyaring kandidat semua partai dan mendiskualifikasi sekitar 20 persen. Lanjut Ricklefs, Para perwira militer dan pejabat-pejabat yang turun ke desa diwajibkan menarik suara [untuk Golkar] dalam jumlah yang sudah ditentukan. Intimidasi disebarluaskan.
ADVERTISEMENT
MELINTAS ZAMAN
Rezim Soekarno—dengan segala ketidaksimpatisannya terhadap nilai demokrasi-setidaknya berhasil memahatkan beberapa warisan pencapaian yang tidak sederhana, di dalam menentukan arus deras sejarah indonesia di masa depan, di antaranya; Soekarno berhasil membangun integrasi nasional yang cukup mapan, setelah sekian lama terpecah-belah dan tercabik-cabik dikarenakan penjajahan yang berkepanjangan, dan semangat primordialisme yang justru tidak mampu mendorong progresivitas menuju kemerdekaan.
Secara politik internasional, Soekarno juga mampu membangun bergaining position yang sangat luar biasa; inisiasinya untuk mendirikan Gerakan Non Blok dan menyulap Indonesia menjadi pemimpin Asia-Afrika, atau juga kemampuan diplomasinya di dalam berselancar di antara Blok Soviet dan Amerika, yang berujung pada pembebasan Irian Barat, masih sangat diingat oleh kelompok pemikir strategis dunia pada waktu itu sebagai salah satu pencapaian yang gemilang yang mampu dilakukan oleh negara yang baru saja merdeka, terhadap negara bekas penjajahnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian Soeharto pun, meskipun kita mengetahui dengan baik juga bahwa komitmennya terhadap demokrasi bukanlah sesuatu yang menjadi prioritas utamanya, namun, dengan kebijakan pembangunannya, Soeharto berhasil membangun fondasi insfrastruktur indonesia yang stabil dan juga masih terasa dampaknya hingga saat ini.
Meskipun begitu, keduanya memiliki kemiripan yang terang-benderang; pencapaian tersebut, dibangun di atas mundurnya kebebasan sipil dan terpasungnya inisiasi kelompok oposisi dalam berpartisipasi terhadap pembangunan republik ini. []