Konten dari Pengguna

Tentang Kelompok Intelektual dan Kekuasaan

Alip Dian Pratama
Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sriwijaya Palembang
15 September 2021 19:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar diambil dari kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
gambar diambil dari kumparan.com
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah negara yang memiliki kelas intelektual independen, dan masyarakatnya mempunyai pemahaman budaya demokrasi yang tinggi, serta dilengkapi oleh elite politik yang menjalankan tradisi etika yang tinggi, praktik persekongkolan antara kelas intelektual dan elite politik akan sangat sulit sekali terjadi. Bukan hanya karena masing-masing memiliki moralitas dan sistem bernegara yang sangat ketat dan kuat, tetapi juga masyarakat akan sangat efektif sekali dalam memainkan peran sebagai kelompok pengawas keduanya.
ADVERTISEMENT
Apalagi, ditunjang dengan fenomena media sosial yang begitu mengubah lanskap kehidupan sosial kita secara fundamental, maka, pergerakan-pergerakan dengan memanfaatkan platform media sosial tersebut, sangat mampu membuat kelas intelektual dan kelas elite berhati-hati dan menaikkan sensitivitasnya di dalam memahami aspirasi publik yang berupa gelembung-gelembung yang kerap muncul dan viral di dalam dunia maya tersebut.
Berbanding terbalik dengan negara yang disebutkan di atas, realitas sosial yang terjadi di negeri kita merupakan kebalikan dari semua yang dideskripsikan pada paragraf sebelumnya. Dewasa ini, kita sangat mudah sekali menunjuk hidung siapa-siapa saja kelas intelektual yang mencondongkan keberpihakannya dengan kepentingan elite politik.
Bukan semata karena kelas intelektual mengharapkan hadiah berupa kue-kue kekuasaan, namun juga elite politik memerlukan jasa mereka guna memberikan legitimasi untuk semua produk kebijakan yang diproduksi oleh mereka, sehingga legitimasi dari kelas intelektual itu, diharapkan mampu meyakinkan publik untuk tidak mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat.
ADVERTISEMENT
Makanya, Antonio Gramsci, pemikir sekaligus filsuf kenamaan Italia, pernah mengklasifikasikan kelas intelektual menjadi dua kelompok, yang satu, dengan sebutan intelektual organik, yakni kelompok intelektual yang memilih independen dan bersikap terbuka dengan kemungkinan kritik terhadap semua perilaku kekuasaan, serta menjamin keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang berada pada posisi terdesak oleh kekuasaan, sementara yang satunya lagi, adalah intelektual tradisional, yang memilih bercengkrama dengan kekuasaan secara akrab, dan memihak secara pragmatis kelompok elite politik yang dianggap bisa memberikan dampak benefit kepada dirinya.
Maka, sebenarnya, kelompok intelektual di negeri ini, yang secara sadar beroposisi dengan masyarakat, dengan berpihak kepada elite politik, disebabkan karena jaminan benefit tertentu yang akan dia dapatkan sebagai akibat dari jasa yang dia tawarkan, bisa kita klasifikasikan sebagai kelompok intelektual tradisional.
ADVERTISEMENT
Sebuah kelompok yang oleh Gramsci, dikritik sebagai representasi dari matinya nurani dan gelapnya moral yang dimiliki oleh kelompok intelektual tersebut, disebabkan kecondongan mereka terhadap sumber-sumber material yang memberikan nilai keuntungan besar untuk keberlanjutan kehidupan mereka yang lebih terjamin.
Kelompok intelektual tradisional ini, kalaupun kemudian diberikan kesempatan untuk memimpin suatu jabatan publik tertentu yang memiliki fungsional spesifik terhadap kehidupan masyarakat luas, akan selalu mendesain garis kebijakannya selaras dengan kepentingan elite politik yang telah berjasa menaikkan taraf sosial dirinya dengan kursi kekuasaan yang kerap dipandang mengandung privilese tertentu di hadapan manusia-manusia feodal lainnya yang acap kali berseliweran di sekitar kekuasaan.
Sementara itu, kelompok intelektual organik adalah kebalikan dari cerminan kelompok intelektual tradisional. Idealisme sebagai kelas yang merepresentasikan keberpihakan pada rakyat yang sering mengalami ketertindasan oleh kekuasaan, menjadi garis yang tegas yang mewarnai moralitas dan afiliasi mereka dalam memandang realitas sosial politik dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan terhadap rakyat ini, bukan saja kepada kelompok rakyat yang hanya memiliki kekuatan finansial yang kecil, dengan struktur sosial yang berada pada garis marginal, namun juga berpihak kepada kelompok rakyat yang berfinansial kuat dan menduduki struktur sosial yang elit, jika memang kelompok ini juga merupakan pihak-pihak yang selalu mengalami persekusi dan juga kerugian oleh kekuasaan.
Besarnya kewenangan dan otoritas yang dimiliki oleh kekuasaan, dengan potensi yang besar untuk terjadinya penyimpangan dan penyelewengan dengan menggunakan alat-alat kekuasaan, pada dasarnya menjadi dasar mengapa kelas intelektual harus secara sadar beroposisi terhadap kekuasaan.
Maka pada dasarnya, kelompok intelektual ini bisa memiliki dua pilihan terhadap kekuasaan, pertama, berada di dalam kekuasaan itu sendiri, dengan memerankan diri sebagai individu yang menunjukkan standar moral dan etika yang tinggi di dalam mengoperasionalkan kekuasaan, agar tidak melenceng dari rel yang berpihak kepada kepentingan umum, serta berperan aktif di dalam menyempurnakan sistem ketatanegaraan guna menutup semua celah yang memungkinkan masuknya feodalisme, korupsi, kolusi dan nepotisme ke dalam kekuasaan, yang bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan pada diri kekuasaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Atau yang kedua, berada di luar kekuasaan, dengan menggalang dukungan publik guna turut serta mewujudkan sistem koreksi yang terukur dan presisi kepada kekuasaan, sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang karena kurangnya pengawasan dari elemen intelektual—yang dianggap mengerti persoalan-persoalan kekuasaan—serta elemen masyarakat yang dengan kesadaran pada bobot kuantitasnya, serta keberagaman basis sosial mereka, agar bertransformasi menjadi kelompok penekan terhadap kekuasaan yang oleh Lord Acton disebut sebagai, “tends to corrupt”.
Membangun kesadaran untuk terus-menerus waspada terhadap datangnya kekuasaan yang zalim, disebabkan minimnya kontrol dari kelas intelektual serta apatismenya masyarakat sipil, menurut Michael Foucault, dianggap sebagai prasyarat untuk terbentuknya sistem ketatanegaraan yang demokratis, sehingga potensi munculnya penindasan melalui tangan-tangan kekuasaan bisa dihindari dan, kehidupan bernegara akan semakin bergerak ke arah yang lebih baik, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al Farabi dalam tesisnya tentang “the ideal state”, yakni: negara yang memperjuangkan kemakmuran serta kesejahteraan warga negaranya. Segala kebijakan diarahkan untuk kepentingan rakyat. Bukan kepentingan golongan apalagi sampai kepentingan pribadi. []
ADVERTISEMENT
...
Oleh: Alip D. Pratama
(Penulis adalah Dosen Hukum dan juga Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Center for Democracy and Civilization Studies, CDCS, berbasis di Palembang, Sumatera Selatan)