UU Cipta Kerja dan Kehendak Rakyat

Alip Dian Pratama
Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sriwijaya Palembang
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2020 11:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alip Dian Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengunjuk rasa mengenakan masker dengan tulisan Buruh Bukan Budak saat mengikuti unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang telah disahkan oleh DPR RI di depan gedung DPRD Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/10).  Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjuk rasa mengenakan masker dengan tulisan Buruh Bukan Budak saat mengikuti unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang telah disahkan oleh DPR RI di depan gedung DPRD Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/10). Foto: Aji Styawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Awalnya adalah kehendak untuk menggerek pertumbuhan ekonomi nasional yang mentok dan mandek. Pertumbuhan ekonomi selama pemerintahan Presiden Jokowi begitu lamban dan macet. Selalu dikisaran 5 %. Target agar pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7%, jauh panggang dari api. Tapi, seperti yang dikatakan oleh Beliau, “jangan pula kita kufur nikmat”.
ADVERTISEMENT
Jadi, mau segagal apapun performa ekonomi kita, mau mandek bagaimanapun pertumbuhan ekonomi kita, salah satu kata kunci yang perlu kita miliki, sebagaimana ajaran Presiden tadi adalah, “jangan kufur nikmat”. Entah, apa pula yang melatari kalimat tersebut. Apakah mungkin, itu bentuk dari optimisme yang berlebih, namun dihempas oleh realitas politik, ekonomi, dan geopolitik global yang rumit dan kompleks, sehingga berujung pada kegalauan dikarenakan target yang membumbung tinggi tadi, justru sulit untuk digapai. Bahkan, pada tahun 2015 yang lalu, pertumbuhan kita pernah di angka 4,79 persen pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi tahun lalu, sebesar 5,17 persen.
Atau, mungkin pula kalimat ‘kufur nikmat’ tadi, merupakan bentuk kepasrahan total Presiden terhadap kondisi ekonomi kita hari ini. Dari pada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin yang benderang?
ADVERTISEMENT
Di tengah realitas pandemi yang meniupkan aroma ketidakpastian yang menjalar, rupanya kalimat “kufur nikmat” tadi itu memiliki sebuah tafsiran lain yang mengejutkan; beliau tentu kecewa dengan performa ekonomi kita, entah bagian mana dari kementerian bidang perekonomian, pada kabinet Presiden jokowi yang salah, namun, kekecewaan tersebut rupanya tidak mampu pula membumi-hanguskan optimismenya untuk memperbaiki pencapaian ekonominya yang mogok.
Di masa pandemi yang semua serba sulit dan menghimpit, sebuah regulasi baru telah disahkan. Judulnya beken; omnibus law. Sebagaimana yang kita pahami, istilah omnibus law ini, pada dasarnya bukanlah istilah hukum populer bagi mazhab hukum kita yang menganut mazhab eropa kontinental. Sebab dalam sejarahnya, istilah ini lebih dikenal oleh negara yang menerapkan mazhab hukum anglo saxon. Melalui UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur dan hierarki di dalam tata perundang-undangan kita juga sudah diatur dengan amat sangat jelas dan rigid, namun, tiba-tiba wacana omnibus law ini menggelinding liar. Sehingga, sifat dari omnibus law ini yang mencoba untuk menjadi payung besar bersama, terhadap beberapa UU yang dianggap saling bertolak belakang dan saling menegasikan, akan disinergisasi dan diharmonikan melalui UU ini. Namun, dalam bahasa pasarnya, UU ini adalah UU sapu jagat.
ADVERTISEMENT
Salah satu manuver Presiden adalah UU Cipta Kerja. Prinsipnya, dengan adanya UU ini, Presiden mencoba ingin menjembatani antara kehendak investor asing, dan kehendak pertumbuhan ekonomi dari Beliau tadi. Dalam kacamata beliau, sepertinya keengganan investor asing masuk ke indonesia dan menanamkan modalnya, ditenggarai karena proses regulasi, izin birokrasi, dan proses produksi, distribusi di negara kita ini tidak pasti dan tidak ramah investor.
Apalagi kita mendapatkan Info Bank Dunia kepada Presiden Jokowi terkait 33 perusahaan China yang hengkang dari negaranya, dan ternyata sebagian besar lebih memilih berinvestasi di negara-negara ASEAN lain ketimbang Indonesia, membuka selubung gelap betapa ruwetnya upaya membangun iklim investasi yang menarik. Dari 33 perusahaan, 23 perusahaan memilih Vietnam dan 10 lainnya memlih Malaysia, Thailand dan Kamboja.
ADVERTISEMENT
Kepentingan Ekonomi Semata
Pengesahan RUU Cipta Kerja pada beberapa waktu yang lalu, berujung panas. Ada dua fraksi, Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang menolak pengesahan tersebut. Yang lainnya, menyetujui dengan bulat.
Persetujuan DPR, inisiasi Pemerintah yang spartan mendorong agar produk legislasi tersebut bisa terus-menerus dibahas dan pada akhirnya disahkan, pada dasarnya merupakan hasil dari konfigurasi politik kita yang buram dan durjana.
Bergabungnya oposisi besar, Gerindra, dan dilantiknya Prabowo, menjadi Menteri Pertahanan, yang awalnya direpresentasikan sebagai ikon oposisi utama di republik ini, praktis melumpuhkkan oposisi politik di parlemen.
Hanya menyisakan demokrat, yang terkadang mengambil sikap ambigu, dan PKS yang seperti terisolir dengan manuver-manuvernya sendiri. Lengkap sudah penderitaan rakyat.
ADVERTISEMENT
Munculnya gelombang demonstrasi, mulai dari elemen buruh, pemuda, dan mahasiswa yang secara tegas menolak pengesahan UU Cipta Kerja tersebut tentu menjadi sebuah alarm darurat bagi Pemerintahan Jokowi.
Rupanya, meskipun pengendalian terhadap parlemen sudah di dalam genggaman tangan, dan dibuktikan melalui terwujudnya pengesahan mengenai beberapa UU yang kontroversial seperti UU KPK, Perppu Covid-19, hingga UU Cipta Kerja, namun, moralitas kelompok buruh, pemuda, dan mahasiswa yang merasakan imbas negatif dari adanya UU Cipta Kerja, menunjukkan bahwa pengendalian politik yang amat sempurna oleh Presiden Jokowi, masih belum cukup.
Produk hukum UU Cipta Kerja ini seperti seorang anak yang tidak diinginkan kelahirannya oleh rakyat, namun justru dinanti-nantikan kehadiran dan tumbuh-kembangnya oleh para elit politik dan pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Hal seperti ini seperti mengingatkan kita dengan teori hukum yang ditulis oleh Philipe Nonet dan Phillip Selznick di dalam bukunya, 1978. “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law”. Produk legislasi lebih mencerminkan kemauan penguasa daripada kehendak rakyat.
Kekuasaan dan hukum, praktis menjadi dua entitas yang menjalin diri dengan sangat menyatu —di mana hukum dibuat dan disahkan oleh kesadaran kekuasaan sebagai anak sulung— yang senantiasa berusaha menerobos ke celah-celah yang mudah direkayasa sehingga hukum lebih dirasakan sebagai alat penguasa, ketimbang sebagai kontrol kekuasaan.
Sebab dalam UU Cipta Kerja, menurut Eros Djarot—seorang budayawan indonesia, dalam artikelnya yang berjudul “DPR & Istana Tabuh Genderang Perang”, lebih banyak pasal yang dinilai hanya menguntungkan para pemilik modal, termasuk dan utamanya modal asing.
ADVERTISEMENT
Secara umum Undang-Undang Cipta Kerja sepenuhnya berangkat dari kepentingan ekonomi an sich (semata). Tanpa menempatkan kepentingan buruh atas nama kemanusiaan, dan masalah lingkungan yang didegradasi sebagai hal yang menjadi tidak dianggap penting dan strategis lagi.
Hukum yang Represif?
Agenda Sidang Paripurna DPR dalam rangka mengesahkan UU Cipta Kerja yang semula diketahui umum akan dilangsungkan pada 8 Oktober 2020 mendatang, secara mendadak sontak palu pengesahan diketuk pada malam hari 5 Oktober 2020. Maka UU Cipta Kerja pun sah lah kini.
Pihak yang tak patuh untuk mengikuti setiap aturan pada pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja ini, dengan sendirinya sah untuk dinyatakan sebagai tindakan melawan hukum. Sanksi hukum pun dibenarkan untuk dijatuhkan pada si pelaku.
ADVERTISEMENT
Menurut Nonet dan Selznick, Tentang sebab terjadinya produksi hukum yang tidak demokratis, diduga selain macetnya kontrol publik (eksternal) baik pers maupun lembaga-lembaga kontrol lainnya, terdapat sejumlah faktor penentu dalam sistem produksi hukum yang memang tidak demokratis.
Pertama, Pemerintahan Jokowi hari ini terlalu kuat secara politik, sebab, keberhasilannya di dalam menggandeng Gerindra dan PAN, praktis membuat setiap agenda politik Pemerintah yang memerlukan persetujuan Parlemen, akan dengan mudah disepakati secara mayoritas.
Kedua, Pemerintahan kali ini juga dibekali dengan beberapa perangkat hukum yang justru pada dasarnya membuat mereka menjadi lebih dominan, salah satunya adalah UU ITE, yang pada beberapa kasus tertentu, membuat gerakan sipil seperti jera guna melancarkan kritisismenya.
Ketiga, sebagai akibatnya, pembahasan RUU di DPR pun lebih sering berkutat pada persoalan redakslonal dengan kurang menggugat substansi apalagi semangat di balik paket RUU itu.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, menurut S. Brodjo Soedjono (2000), dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis”, proses legalisasi kekuasaan penguasa tersebut menjadi serba meliputi (embracing), ketika mesin administrasi pemerintahan, alhasil, bukan saja terjadi inflasi kebijakan publik yang sarat KKN, tetapi juga hakikat pemerintah sebagai pelaksana kehendak rakyat—yang idealnya setiap saat siap mempertanggungjawabkan segala kebijakan—dengan mudah berbalik sebagai penguasa yang mendikte rakyat.'
Oleh karena itu, kerap kali apa yang disebut hukum, bukan berisi tentang apa yang dipandang perlu oleh rakyat untuk diatur, melainkan apa yang menurut pemerintah perlu untuk mengatur, bahkan menekan rakyat.
Karenanya, perjuangan guna mencabut UU Cipta Kerja, akan berlangsung panjang dan dipenuhi tantangan, dan salah satu cara guna melawan UU Cipta Kerja ini bisa dengan cara melakukan proses uji judicial review kepada Mahkamah Konstitusi mengenai UU ini, atau mungkin dikarenakan determinasi rakyat yang terus-menerus menekan Pemerintah, dan melakukan mogok massal secara kolektif, justru membuat Pemerintah kemudian berada pada posisi terjepit, dan akhirnya mau menganulir pemberlakuan dari UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Kata kuncinya adalah bagaimana gelaran aksi tersebut harus lebih kuat secara psikologis dan dibandingkan Pemerintahan dan Elit politik yang selama ini memainkan sandiwara penuh tawa. []
----------------------------------------------------------------------
Oleh: Alip Dian Pratama, SH., MH. (Dosen Hukum Universitas Kader Bangsa, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Center for Democracy and Civilization Studies, CDCS)