Empat Kuntilanak Dan Dua Bidadari

Aliq Nurmawati
Makhluk paling bahagia di dunia
Konten dari Pengguna
17 Mei 2018 3:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aliq Nurmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kedatanganku disambut oleh derasnya air yang mengucur dari langit.
ADVERTISEMENT
Dan hanya ujung kepalaku-lah, yang terselamatkan dari basahnya.
Tepatnya sembilan belas bulan yang lalu.
Setelah mesin bersayap yang menamainya Air Asia itu mengantarkanku ke pulau Bauhinia ini.
Diri masih bertanya-tanya tentang arti sambutan hujan deras yang tadi.
Mungkinkah firasat buruk?
Atau justru sebaliknya.
"Ah, mending aku abaikan saja tentang apa itu arti firasat. Sekarang saatnya fokus dengan satu hal. Kerja!"
Sekilas bisikan hati, untuk diriku sendiri. Diantara kemerucuknya perut yang kelaparan.
Jalanku semakin lambat, sedangkan langkahnya Si staf agen yang menjemputku bertambah kenceng.
Ingin teriak, tapi nyali ciut.
ADVERTISEMENT
Ingat utang.
Iya, utang. Hutang biayaku untuk proses kembali kesini.
Terpaksa, aku harus jadi penipu diri sementara.
Berusaha tetap pasang muka semanis madu. Di keadaan hati sedang kecut.
***
Sesampainya di Agen.
Belum juga sempat menaruh koper.
Pemilik agen sudah bersiap bengusirku dengan caranya yang halus.
Mempersilahkanku mandi, sembari mengangkat gagang telpon untuk mengabari calon majikanku bahwa aku telah tiba dengan selamat.
ADVERTISEMENT
Belum juga ketemu handuk dan perlengkapan mandiku. Tapi, staf agen sudah menyuruhku;
"cepat beresi barangmu say! Majikanmu udah nunggu."
Sepuluh menit kemudian.
Seseorang dengan sepatu hitam basah, yang mungkin berumuran setengah abad lewat duapuluh tahunan. Menyambutku dengan seutas senyuman.
Lalu, aku pun berusaha menyuguhkan muka yang lebih manis dari yang tadi. Walau perutku masih dengan rasa yang sama. Perih.
Kelaparanku sudah stadium akhir.
Mungkin sudah saatnya aku harus jujur pada mereka.
Bahwa usus-usus diperutku sungguh ingin disuapi.
Belum sempat ku uraikan kalimat yang telah diujung lidah. Mereka justru mempersilahkanku untuk makan dulu sebelum meninggalkan agen.
ADVERTISEMENT
Mataku seketika membulat. Disusul bibirku mengucap syukur dengan volume tinggi.
Semua kepala menolehku, dengan diiringi tanda tanya melalui bahasa tubuh mereka masing-masing.
Hanya Mbak staf agen yang paham. Lalu dia menertawakanku.
***
Sepotong burger ayam, seonggok stik kentang, lengkap dengan secangkir kopi hitam.
Tersaji didepanku.
"Menu ternikmat yang pernah ku nikmati."
Batinku mengucap lirih.
Ah, ini pasti efek aku yang kelaparan.
Belum juga selesai mesin penghalus dalam perutku menggiling makanan dengan sempurna.
ADVERTISEMENT
Tapi, staf agen sudah memberi isyarat agar aku cepat berkemas.
Selalu ku anggukan kepala dengan teriring senyum tipis.
Seseorang yang dari tadi menungguku masih juga ditempat yang sama.
Pemilik agen, dan dua orang stafnya juga masih dengan kesibukannya. Pun, dengan air hujan diluar sana. Masih juga lebat, dan bertambah deras.
Tapi semua itu tak akan menjadi alasan mereka untuk melarangku berangkat ke rumah majikan.
Detik ini juga, aku dan seseorang yang berumur setengah abad lewat dua puluh tahun tadi membelah hujan dengan diantar oleh Mass Transit Railway (MTR).
Dua puluh menit kemudian.
ADVERTISEMENT
Sampailah di stasiun MTR Northpoint. Di exit B4. Naik 20 anak tangga, belok kiri. Kurang lebih duapuluhdua langkah. Bertemulah apartment Fair View Court. Dan menaiki duapuluh anak tangga lagi. Dilantai 13 B. Disitulah tempat tinggal majikanku.
Bel ku tombol. Pintu kayu terbuka, menyusul pintu besi yang sudah mulai berkarat.
Munculah dua makhluk aneh dari balik pintu.
Yang satu berambut putih bertubuh mungil. Satunya lagi, nyaris tak berambut. Bertubuh jangkung, dan tinggal tulang dengan kulit.
Perkenalan singkat kita mulai;
"Leihou, O hai. Aliq."
"Leihou-leihou, O hai lei ko lopan. Hai kemto sin, geda ye otei anti sin kaicuk ha.."
"Meng pak sai."
ADVERTISEMENT
Sambil mataku menyisir tiap sudut ruangan.
Lalu, segelas air hangat pun mendarat didepan ku.
Dipersilahkannya aku masuk kamar.
Seketika itu darahku langsung mendidih.
Aku merasa dibohongi oleh pihak agen.
Karena katanya aku ada kamar tidur. Tapi ternyata kamar itu ruangannya jadi satu sama majikan.
Belum sampai darahku mendidih utuh, seorang perempuan bertubuh jangkung tadi memanggilku. Mempersilahkanku menyantap menu dinner.
Aku, menelan ludah.
Dan hatiku berbisik;
"Mengapa mereka begitu menghargaiku?"
Tanpa membuatnya menunggu. Aku langsung menolak halus.
Karena memang burger dan stik kentang tadi masih mengganjal diperutku.
Mereka membalas dengan senyum ramah, yang membuat darahku gagal mendidih lagi.
ADVERTISEMENT
***
Satu tahun kemudian.
Kebaikan dua orang yang seatap denganku itu tak juga surut. Semakin baik dan bertambah baik.
Marahku yang karena tidak punya ruangan pribadi itu sudah semakin tipis.
Terganti dengan puji syukur.
Mereka menganggapku seperti keluarganya sendiri.
Aku bertambah nyaman dirumah ini.
Walau masih sering kali kisah satu sepuluh tahun yang lalu itu menghantuiku.
Saat itu aku pertama kalinya menginjakan kaki di kota Bauhinia ini. Tapi aku diperlakukan sangat tidak adil oleh majikanku.
ADVERTISEMENT
Mereka memperkerjakanku semaunya sendiri. Mengebiri hak-hakku sesuka hatinya.
Mulai memperkerjakanku lebih dari satu rumah, libur yang tidak tentu. Dan masih ada hobinya yang selalu mencari-cari kesalahanku.
Hari-hariku dulu selalu sedih, air mata adalah teman setiaku. Mau mengundurkan diri tidak mungkin. Melanjutkan kontrak kerja tidak sanggup. Dilema akut berkepanjangan menyerangku.
Saat itu, aku hanya punya pasrah demi satu kata cukup. Mencukupi kebutuhan hidupku dan Si buah hati.
Akhirnya empat kontrak ku selesaikan.
Dan, mereka menangisi kepergianku.
Bahkan iming-iming gaji 10 juta perbulan, pernah mereka suguhkan supaya aku tetap bertahan.
Tapi, mana mungkin aku kuat hidup dengan ke empat kuntilanak itu?
Tahukah kamu, siapa empat kuntilanak yang ku maksudkan?
ADVERTISEMENT
Kuntilanak nomor satu adalah majikanku, yang menganggapku adalah musuhnya. Tiap kali bertatap muka selalu pasang wajah sinis. Tanpa ku tahu apa masalahnya. Selain itu, tidak pernah sekali pun Ia, puas dengan apa pun yang ku kerjakan. Entah itu soal belanja yang kemahalan lah. Masakan yang keasinan lah, dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang dia tuduhkan semua padaku. Seolah aku ini adalah sumber dari setiap kesalahan.
Sedangkan kuntilanak nomor dua itu Ibunya majikan. Dia memang kadang baik orangnya, tapi kalau sudah datang sifat buruknya sungguh membuatku ingin berlari sejauh mungkin. Karena dia selalu menuduhku mencuri barang-barangnya yang hilang. Mulai dari celana dalam, hingga makanannya. Tak jarang juga uangnya. Tapi hal itu akan cepat berlalu begitu saja dari ingatannya. Toh, memang apa yang Ia tuduhkan tidak pernah ku perbuat. Awalnya ya ku maklumi karena memang usianya hampir seabad. Tetapi lama-lama kesabaranku menipis juga. Apalagi kalau kambuh penyakit bangun tengah malamnya. Teriak-teriak dan lalu mengucap sumpah serapah;
ADVERTISEMENT
" O siong sei a! Mo yung a!"
Dia selalu ingin mati lebih cepat, katanya hidupnya sudah tidak berguna.
Pertama kali mendengarnya aku ngeri. Takut kalau dia bakalan nekat.
Lompat jendela atau melakukan hal lain yang membahayakannya.
Ah, lambat laun semakin apal,
"ya tak anggap dongeng tengah malam aja."
Lalu, kuntilanak nomor tiga. Adalah adiknya majikan, dia suka banget ikut-ikutan mengamukku tanpa tahu apa penyebabnya. Pernah suatu ketika saat dia memarahiku, ku marahi balik. Karena saking jengkelku. Dan dia pun diam seketika itu. Karena memang dia tidak seharusnya bersikap seperti itu kepadaku.
Dan kuntilanak ke empat; anak perempuannya Si Bos. Yang paling doyan menyuruhku kesana, kemari. Mengerjakan yang tidak sepatutnya ku kerjakan. Ia sepertinya tidak pernah rela jika melihatku istirahat.
ADVERTISEMENT
***
Sampai bulan ke sembilan belas ini, belum pernah sekali pun mereka bicara kasar padaku.
Pernah suatu hari aku sungguh lalai. Kunci rumah yang ku bawa tertancap di pintu besi luar semalaman.
Aku hanya bisa pasrah waktu itu. Karena aku sangat sadar bahwa hal itu terjadi murni karena kesalahanku.
Tapi apa yang terjadi?
Mereka tak sedikit pun memarahiku.
Justru melontarkan lelucon yang sungguh konyol menurutku;
"Namanya juga lupa, mau diapakan lagi?
Toh dibawah sana ada security 24 jam."
Aku jadi gagal fokus. Dan hanya mampu _nyengir_. Masih belum bisa percaya dengan apa yang sedang ku saksikan barusan.
ADVERTISEMENT
Aku sering merasa jadi anak angkat mereka. Anak angkat yang digaji. Difasilitasi dan dihargai.
Mungkinkah ini adalah bonus dari-Nya?
Setelah aku lulus melewati cobaan di rumah empat kuntilanak itu? (*)