Tan Pau Fan

Aliq Nurmawati
Makhluk paling bahagia di dunia
Konten dari Pengguna
17 Mei 2018 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aliq Nurmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gadget adalah benda paling dekat, dengan raga para Pekerja Migrant Indonesia (PMI) di negeri seribu bidadari ini. Termasuk aku.
ADVERTISEMENT
Karena memang multi fungsi, selain bisa jadi bioskob mini berjalan, juga jadi sumbernya informasi.
Mulai dari berita hoax hingga cerita hati.
Dan bertepatan sekali waktu itu, saat temanku memposting cerita hatinya yang sedang galau, gegara di putus kontrak kerjanya yang mendadak.
Teman yang satunya posting informasi JOB.
Bukankah pucuk dicinta ulam pun tiba?
Berhubung kepo sudah jadi hobiku, ya tak kepoin dua-duanya.
Proses kepoku;
"Ndri, Elo serius tuh, yang post tentang JOB? Kalau iya, Gue ada teman baru saja di PHK dadakan. Buat dia aja ya?"
"Ah, Elo kirain Gue sumber hoax apa? Ya serius lah.
ADVERTISEMENT
Tapi ada syaratnya tuh, harus fasih bahasa kantonis! Emang teman Elo bisa?"
"Alah, lihat saja nanti deh. Pokoknya sekarang. Situnya serius dulu, baru melangkah ke steep berikutnya."
Akhirnya percakapan kami pun, mulai tercium aroma keberhasilannya. Dan Si Andri, telah membuat janji dengan pemilik kontrak kerja.
***
Bus dengan nomor 2X bertujuan SaiWanHo, mengantarkan kami bertiga. Setelah menyeberangi simpang empat di kota CouseWaybay, dan menembus sedikit belokan di Tin Hau. Lalu lurus tanpa ada belokan, perempatan pun penyebarangan.
ADVERTISEMENT
Lebih kurangnya 7-10 menit, sampailah ditempat tujuan.
Andri masih sibuk dengan gadgetnya sedang aku dan temanku yang sedang galau tadi, hanya tolah-toleh bak kepala kepompong yang menunggu sayapnya tumbuh.
Selang beberapa detik kemudian. Andri mengabarkan;
"Kita nanti ke selatan terminal bus itu, lalu menyeberang. Dan setelah melihat 7Eleven, kita lurus saja. Kemudian belok kiri. Jika sudah menemukan sederet apartment kita masuk di pintu pertama dari arah kita ini. Dilantai 1E. Nah, disitulah mereka tinggal. Paham?"
Kedua kepala kepompong ini hanya mampu mengangguk lagi dan lagi.
" Ampun deh, kan kita jalan bareng, kok pakai dijelaskan sebegitunya. Dikiranya kita bego banget apa iya?"
ADVERTISEMENT
Gerutuku, dengan angin.
***
"Ngek, ngok. Ngek, ngok." Suara bel rumah beton, dari balik pintu kayu yang dibaluri dengan cat warna gelap dob.
Daun pintu terbuka, munculah sesosok pria yang berusia sekitar seperempatan abad. Dengan diikuti, bocah laki-laki. Berwajah bulat, putih, imud dan bola mata cokelat serta terbalut t-shirt bermotif alien.
Bokongnya yang membulat karena terbungkus pampers semakin menambah kelucuannya.
Kami bertiga dipersilahkan masuk, sekaligus dipersilahkan mencari tempat duduk sendiri-sendiri. Karena tiap sudut ruangan telah penuh dengan entah apa itu.
ADVERTISEMENT
Banyak tumpukan kardus sepatu dan sandal, dan mainan si kecil berserakan dimana-mana. Hingga aku tidak paham dengan apa yang ku lihat saat ini. Ini gudang atau ruang tamu?
Diantara carut marutnya pertanyaan yang membenturi isi dalam kepalaku.
Munculah seorang wanita paruh baya. Yang jalannya agak sedikit terseok.
"Goi, hai ngo lalai a."
Begitu Si tuan rumah memperkenalkannya.
Sementara, Andri dan temanku yang galau bermain dengan bocah imud tadi. Aku menelusup ke dapur. Bukan kepo lagi tujuanku untuk saat ini, tapi daripada BT diruang tamu karena tidak kebagian tempat duduk.
Akhirnya aku berbincang panjang kali panjang dengan wanita paruh baya tadi.
Kita begitu cepat akrab, candaan dan obrolan mengalir begitu saja.
ADVERTISEMENT
Hingga pujian dari ruang tamu pun, mendarat di telingaku.
"Taiyatji kin, lei tei kemsuk keh. Emdong, lei canhai yau siong haito pong sau?"
Suara vibraku langsung melengking saat itu juga.
"Emhai ngo, wo... hai goi a." Sambil ku tunjuk kepala Si galau.
Dan Si tuan rumah melongo. Lalu tertawa kecil, untuk menutupi keraguannya.
Kami pun berpamitan. Dengan ucapan sampai jumpa nanti.
"Kok, sampai jumpa nanti. Memangnya kita akan bertemu lagi?"
Ungkapan lirih dalam dadaku.
Dan untuk pertemuan kali ini kita bertiga pulang dengan tangan kosong.
Si galau terlihat makin galau.
Dan Andri berusaha menyuntikan energi positif kepadanya.
ADVERTISEMENT
Dengan memberi janji bahwa paling lambat tiga hari, dan paling cepat nanti malam akan memberi kabar baik tentang pertemuan tadi.
Si galau tersenyum adem.
***
Seminggu kemudian. Andri mencariku dan memberi kabar yang membingungkan.
Katanya majikan yang minggu lalu kita temui memilih aku untuk bekerja dengannya.
"Wah, ini sangat tidak mungkin Ndri. Gua masih ada ikatan kontrak. Lagian kan, yang butuh pekerjaan Si galau bukan gua. Kok, milih gua. Gimana sih?"
ADVERTISEMENT
"Eh, eh. Elo ini. Gua mah, kagak tahu apa-apa. Orang gua cuma jembatan untuk kalian kok. Keputusan kan mereka yang punya. Ya sudah kalau begitu itu Si Bos tak kasih nomor HPmu ya... biar semuanya jelas."
Percakapan pun kulanjutkan dengannya. Ku jelaskan tentang yang sesungguhnya terjadi. Bahwasanya yang butuh majikan bukan aku, tapi temanku.
Tapi, ternyata penjelasanku percumah. Majikan itu dan semua keluarganya termasuk bocah imud tadi lebih memilihku. Dengan alasan kecocokan, serta katanya aku fasih dalam berbahasa kantonis. Dan memang mereka telah lama mencari pekerja hampir setahun hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Belum juga ada yang cocok, kecuali aku.
Akhirnya perjanjian kerja pun ku iyakan. Dengan syarat harus menunggu hingga kontrakku finis.
***
Setengah tahun kemudian.
Ku masuki lagi pintu hitam dob itu. Dengan tujuan yang berbeda dengan enam bulan yang lalu. Saat ini untuk memomong Si kecil dengan pundi-pundi dolar.
Di rumah baru ini ku temukan bahagia. Dimana selalu ada gelak tawa dari Si kecil, pun juga cerita-cerita menggemaskan darinya.
Bocah ini terlalu cerdas. Diusiannya yang masih dua setengah tahun telah menguasai tiga bahasa. Dengan dilengkapi keaktifannya yang berlebih.
ADVERTISEMENT
Pokoknya kalau bukan bibirnya yang bersuara, ya tangannya yang bergerak. Selalu begitu dan terus begitu. Membuat aku dan neneknya kewalahan memomongnya.
Tapi meski demikian tanpanya kita kesepian.
Sangat terasa saat Ia sedang tidur. Rumah ini seperti tak berpenghuni.
Papa-mamanya juga jarang dirumah karena pekerjaannya.
***
Akhirnya Senja pun dicabut malam, dan gelap membungkus keadaan. Disitulah saat yang selalu kami nantikan, dimana semua orang berkumpul untuk menyantap menu dinner.
Si imud pasti yang paling sibuk sendiri. Karena jatah makanannya sudah habis duluan.
ADVERTISEMENT
Kesibukannya adalah minta suap sana-sini.
Ingin lauk ini dan sayur itu.
Makan nasi adalah moment indah baginya. Karena memang dia dilatih untuk tidak ngemil jajanan layaknya bocah lainnya.
Jadi makannya pun, mudah.
Dan menu favoritnya adalah tanpaufan.
Menu itu berasal dari disneyland. Yang mereka kunjungi beberapa pekan lalu.
Setiap kali ku buatkan menu itu Ia selalu bersorak kegirangan.
Dan, akan melahapnya dengan cepat. Kemudian dia memujiku berulang kali.
" Aliq Ce-ce chui tak, houhoumei a. O hou cungyi goi a."
"Hamei can kah?!" Sahutan Mamanya.
"Kem, lei hoi em hoisam a?" Papanya pun, tak ketinggalan.
"Hoisam!"
ADVERTISEMENT
Aku seperti diputarkan film keluarga bahagia, yang menggemaskan.
Senyum ini sungguh terlahir dari lubuk hati yang terdalam.
***
Lima bulan kemudian.
Si kecil mulai sekolah. Kesibukanku pun jadi bertambah. Yaitu antar jemput dia. Walau tidak setiap hari, bergantian dengan papanya.
Makin besar dia bertambah pintar.
Bobotnya pun, bertambah banyak. Aku hampir tidak kuat menggendongnya.
Dan jika sudah datang bandelnya, dia akan pura-pura tidur jika Ia lihat bus sudah hampir sampai depan rumah.
ADVERTISEMENT
Jadi mau tidak mau aku harus menggendongnya.
Setelah sampai didepan pintu rumah dia akan meloncat kegirangan.
Tapi, hal itu membuat nenek marah. Lalu melaporkannya pada kedua orang tuanya.
Dan aku kena imbasnya juga.
"Bukan karena gendongnya yang tidak kusukai, tapi karena dia berbohong itu yang akan membuatnya terbiasa."
Begitu mamanya menjelaskan padaku.
Saat itu juga dia, disuruh minta maaf dan tidak akan mengulanginya.
Namanya juga anak kecil, mana mungkin akan nurut begitu saja.
Nakalnya semakin menjadi, dia tetap memaksaku menggendongnya tiap pulang sekolah.
Dan sebelum ku ancam, untuk ku laporkan pada ke dua orang tuanya. Dia justru sudah mengancamku duluan. Agar aku tidak melaporkannya.
ADVERTISEMENT
Aku jadi bingung.
Niat hati ingin menggendongnya tiap kali pulang sekolah. Apalah daya bahuku ringkih.
Belum lagi ketika musim dingin tiba, dan dibarengi guyuran hujan, ototku semakin tak berdaya. Aku sungguh tidak kuat menggendongnya.
Mau menjelaskan hal ini kepada orang tuanya sangat tidak mungkin.
Karena tugasku adalah memomongnya.
Dan, apa yang ku takutkan hampir jadi kenyataan.
Aku hampir terjatuh saat dia melompat menubrukku.
Beruntung tidak sampai tersungkur.
Tanpa berpikir panjang akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan ini.
Walau hatiku masih berat untuk meninggalkan Si kecil dan seisi rumah ini.
Aku terlanjur sayang sama mereka.
Tepatnya tanggal 14 februari 2016 surat pengunduran diriku ku berikan.
ADVERTISEMENT
Saat itulah Nyonya menangisiku. Karena ternyata mereka pun, punya rasa yang sama sepertiku.
Dan aku tetap pada keputusanku. Karena aku tahu betul bahwa hanya aku satu yang sesungguh-sungguhnya mengerti keadaanku.
Koper warna biru laut itu mengiringi langkahku keluar dari rumah kebahagiaan ini.
Dan, bocah kecil serta kenangan bersama mereka masih lekat didadaku hingga detik ini.
Ada satu pesan mereka untukku;
"Jika kamu nanti kembali ke HongKong kami akan selalu ada ruang untukmu."
Semua itu membuatku semakin menangis.
Dan Tanpaufan tinggallah jadi menu kenangan. (*)
HongKong, 18/05/18
Catatan:
▪Tan Pau Fan:
Nasi putih yang dibungkus dengan telur dadar.
ADVERTISEMENT
▪Taiyatji kin, leitei kemsuk keh. Emdong, lei canhai yau siong haito pongsau?:
Baru pertama bertemu, kalian sudah akrab sekali. Jangan-jangan, kamu memang ingin bekerja disini?
▪Emhai ngo, wo... hai goi a:
Bukan aku, lo... Tapi, dia.
▪Aliq Ce-ce chui tak, houhoumei a. O hou cungyi goi a:
Mbak Aliq kalau masak, enak sekali. Aku suka banget sama dia.
▪Hamei cankah?:
Apakah benar begitu?
▪ Kem, lei hoi em hoisam a?:
Terus, kamu bahagia nggak?
▪Hoisam!: Bahagia!